Riuh Redam Suara Petani Lampung Menuntut Reforma Agraria
Puluhan tahun petani di Lampung bersuara menuntut program reforma agraria. Kapan suara mereka bakal didengar?
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
Hari Tani pada 24 September selalu dirayakan dengan unjuk rasa para petani Lampung menuntut penyelesaian sengketa lahan. Seperti yang dilakukan ratusan petani yang menempati kawasan Register 1 Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan.
Mereka menempuh perjalanan sejauh sekitar 100 kilometer untuk berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Lampung pada Selasa (26/9/2023). Para petani yang sehari-hari akrab dengan cangkul atau arit kali itu mengenggam pengeras suara. Mereka menuntut agar pemerintah melepaskan status kawasan hutan produksi di lahan seluas 948,3 hektar yang masuk dalam kawasan Register 1 Way Pisang.
Ketua Forum Masyarakat Register 1 Way Pisang Suyatno, Selasa (9/1/2024), menuturkan, para petani telah menanti penyelesaian konflik lahan selama puluhan tahun. Di sana sudah ada tujuh desa definitif yang masuk dalam lokasi prioritas reforma agraria. Mereka amat berharap negara menepati janji program reforma agraria dengan memberikan hak atas tanah kepada petani.
Selama kurun waktu 1992-2014, ada empat perusahaan yang pernah masuk dan berupaya mengelola kawasan Register 1 Way Pisang. Penguasaan lahan oleh perusahaan pemegang hak guna usaha itu memicu konflik dengan petani setempat.
Perjuangan petani di kawasan Register 1 Way Pisang untuk menuntut hak atas tanah didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan pada 17 Oktober 2014. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria juga semakin memberi harapan bagi warga yang telah puluhan tahun menempati kawasan itu.
Selama bertahun-tahun, petani yang tergabung dalam Forum Masyarakat Register 1 Way Pisang sudah bolak-balik ke berbagai kementerian untuk memperjuangkan pelepasan kawasan hutan. Tak hanya itu, mereka juga pernah berunjuk rasa, mulai di tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat demi menagih janji reforma agraria.
Namun, suara riuh petani yang menuntut hak penguasaan tanah itu tak kunjung didengar oleh pemerintah. Hingga kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya memberikan izin pengelolaan kawasan hutan di kawasan Register 1 Way Pisang.
Tujuh desa yang masuk dalam lokasi prioritas reforma agraria kondisinya sudah padat penduduk. Tak hanya rumah-rumah permanen, berbagai fasilitas, seperti sekolah, tempat ibadah, puskesmas, hingga pasar, juga sudah dibangun di sana. Jalan-jalan sudah diaspal mulus, beberapa titik bahkan telah dibeton.
Di desa-desa itu tak ada lagi pohon-pohon besar. Yang tampak hanya sawah dan kebun jagung, kelapa, pisang, dan tanaman buah lainnya. Kawasan yang disebut sebagai hutan register itu lebih terlihat sebagai desa-desa yang telah berkembang.
Konflik lahan di kawasan Register 1 Way Pisang hanyalah satu contoh dari banyak konflik serupa di Lampung. Berdasarkan catatan Walhi Lampung, rentetan konflik agraria yang terjadi di Lampung sering kali menimbulkan korban jiwa dari pihak petani.
Tak ada kemajuan signifikan dalam penyelesaian konflik agraria di Lampung. Sebaliknya, nasib petani kian terpinggirkan dan jauh dari sejahtera.
Pada 29 Januari 2023, Ansori, petani di Kabupaten Way Kanan, tewas ditembak polisi karena diduga mencuri sawit milik perusahaan. Kejadian itu lantas menyulut emosi warga yang kemudian merusak kantor milik perusahaan. Di Lampung Tengah, konflik serupa terjadi antara masyarakat di Kecamatan Anak Tuha dan perusahaan kelapa sawit.
Konflik agraria di Register 45, Kabupaten Mesuji, juga belum sepenuhnya dituntaskan. Padahal, sudah ada puluhan nyawa yang melayang akibat konflik agraria yang terjadi selama puluhan tahun di sana.
Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri berpendapat, semua konflik agraria itu berakar pada akses masyarakat yang minim terhadap lahan kelola. Di sisi lain, segelintir pemodal besar menguasai lahan teramat luas.
Ia menilai, tak ada kemajuan signifikan dalam penyelesaian konflik agraria di Lampung. Sebaliknya, nasib petani kian terpinggirkan dan jauh dari sejahtera.
”Konflik lahan, pupuk langka, dan harga produk pertanian yang sering kali anjlok adalah tiga persoalan pokok yang tidak pernah diselesaikan oleh negara. Persoalan-persoalan tersebut menempatkan petani pada situasi dan kondisi yang sulit untuk keluar dari jurang kemiskinan. Mereka tidak punya kepastian dalam mengelola lahan, rawan penggusuran, dan rentan dikriminalisasi,” kata Irfan, Selasa (16/1/2024).
Pengungkapan dan penyelesaian secara komprehensif atas konflik agraria mestinya mendesak dilakukan mengingat ada banyak kasus serupa di negeri ini. Bukan tak mungkin, konflik berdarah kembali terulang jika pemerintah membiarkan bara dalam konflik agraria ini. Sampai kapan petani harus berjuang untuk menuntut haknya?