Pringgasela dalam Senampan Kekayaan Pangan Lokal
Masyarakat Pringgasela Selatan bangga menampilkan pangan lokal mereka.
Ketika daerah lain ramai diserbu makanan modern, desa di kaki Gunung Rinjani ini masih kokoh dengan olahan lokalnya. Desa bernama Pringgasela Selatan itu dengan bangga memperkenalkan pangan lokal sebagai kekayaan budayanya.
Keriuhan ibu-ibu PKK memecah ketenangan sore di Kampung Gubuk Lauq, Pringgasela Selatan, di Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Rumah ibu Kepala Desa Siti Wijayanti kedatangan para kader PKK desa. Sore itu, mereka bergotong royong membuat jajan pasar.
Beraneka ragam bahan pangan disediakan untuk membuatcerorot, jagung urap, klepon ubi, orog-orog, bantal, dan jajanan lawas lain khas Pringgasela Selatan.
Cerorot adalah jajan pasar yang sangat populer di Desa Pringgasela Selatan. Jajan pasar ini terbuat dari tepung beras, sedikit kanji yang dicampur santan dan air gula merah. Kue ini dibalut dengan uliran daun kelapa. Di tempat lain, cerorot biasa dikenal dengan kue clorot atau jelurut. Untuk memakannya, tinggal puntir ujung cerorot di telapak tangan dan kue itu pun akan keluar dari wadahnya.
Baca juga: Ketika Pringgasela Selatan Bangkit dari Tidur
Ibu-ibu itu membuat pula orog-orog, kudapan yang berasal dari singkong kukus tumbuk yang dicampur dengan gula dan parutan kelapa. Rasanya gurih sekaligus manis. Selain orog-orog, juga ada klepon ubi ungu. Klepon ini mirip dengan klepon kebanyakan, tetapi terbuat dari ubi ungu. Rasanya tak kalah legit. Keseluruhan jajanan itu disuguhkan untuk menyambut para tamu yang datang ke Pringgasela Selatan dalam acara festival Dongdala (pelangi) pada Desember lalu.
Tanah subur
Dikaruniai tanah yang subur dan air jernih yang melimpah, Pringgasela Selatan termasuk Kecamatan Pringgasela mandiri di bidang pangan. Warga tidak pernah risau dengan harga cabai yang kini berharga mahal di kota-kota besar, atau kekeringan seperti daerah lain. Sejauh mata memandang, hijau sawah, jernihnya air dan rimbunnya kebun mendominasi pemandangan mata.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, produksi padi dalam waktu satu tahun di Kecamatan Pringgasela (termasuk desa Pringgasela Selatan) bisa mencapai 14.000 ton lebih. Ubi kayu mencapai 1.700 ton. Adapun jagung mencapai 200 ton. Area persawahan di hampir semua desa di kecamatan itu ditanam hingga tiga kali setahun. Belum lagi potensi perkebunan.
Hasil kebun dan sawah yang melimpah itu mengisi pasar-pasar tradisional, baik berupa barang mentah atau sudah dalam bentuk makanan siap santap. Di Perempatan Tugu, di tengah desa Pringgasela Selatan, setiap pagi hingga sore banyak berjajar penjual makanan tradisional. Ada jajan pasar, buah-buahan lokal, serta makanan khas kampung tersebut.
Baca juga: Menghadirkan Kembali Harmoni Kelnang Nunggal yang Lama Hilang
Dalam kios-kios itu buah lokal mendominasi. Ada manggis, pisang, nanas, alpukat, rambutan, juga durian. Karena diambil dari kebun sendiri, harganya sangat terjangkau. Durian lokal, misalnya, bisa didapatkan dengan harga Rp 25.000 per buah. ”Bahkan, ada yang harganya hanya 5.000 per buah,” kata Sri Hartini, warga Gubuk Lauq, Pringgasela Selatan.
Pringgasela Selatan identik dengan makanan tradisional. Kedai LHC yang jadi favorit warga untuk berbelanja makanan, misalnya, menjual berkeranjang-keranjang jajanan tradisional. Keranjang-keranjang itu penuh dengan aneka jajan pasar.
Harganya pun ramah di kantong, mulai dari Rp 1.000 per makanan. Pada pagi hari, jajanan penuh mengisi etalase, menjelang siang sudah mulai berkurang dan ludes terjual di sore hari. Begitu seterusnya siklus jual beli makanan tradisional di kedai itu.
Kuliner lokal bahkan menembus ke penginapan-penginapan favorit wisatawan mancanegara. Aranka Tempasan, sebuah penginapan bernuansa alam di Pringgasela, adalah salah satu yang setia menawarkan kuliner lokal.
Barry Perdana Putra, pemilik Aranka Guest House, selalu memperkenalkan kuliner lokal untuk tamunya dari mancanegara. Pertengahan Desember lalu, Barry membawa beberapa turis asing ke tempatnya sebelum berkeliling desa menikmati sawah dan berbelanja tenun.
Mereka dijamu dengan lumpia, singkong goreng, pisang goreng, serta suguhan teh serai, wedang jahe, teh bunga telang, hingga pinacolada yang dibuat dari pangan lokal pringgasela.
Iqbal, pekerja di tempat penginapan itu, mengambil sendiri serai yang ditanam di dekat pagar untuk diramu menjadi campuran teh. Mereka juga memetik telang di taman untuk diseduh. Ketika semua tersaji, Barry di hadapan para tamunya memperkenalkan kuliner lokal itu. ”Semua yang terhidang di sini diambil dari sini juga,” katanya.
Mia Lee (30), tamu asal Australia terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya. Ini pertama kali ia datang ke Lombok dan mencicip teh serai dengan kudapan singkong goreng serta lumpia. ”Saya rasa petualangan di kaki Rinjani dimulai dari gorengan ini,” katanya.
Bangga
Warga Pringgasela Selatan sebenarnya bisa saja menyajikan makanan modern, sebut saja brownies atau bolu yang berbahan terigu, tetapi mereka memilih menyajikan makanan tradisional berbahan lokal, seperti beras dan jagung karena murah, mudah didapat, dan yang terpenting bisa membawa rasa bangga.
Kebanggaan itu terpantik saat Desa Pringgasela Selatan dinobatkan menjadi Desa Budaya oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2022. Desa ini berdaya karena salah satunya bisa menguatkan pangan lokal.
Saat itulah nama Pringgasela Selatan menjadi terkenal. Padahal, sebelumnya, desa ini sulit ditemukan di berbagai tulisan dan liputan, bahkan di Wikipedia sekalipun. ”Ternyata kebiasaan kami sehari-hari yang menyuguhkan makanan lokal bagi tamu adalah penyebabnya. Kami kira itu biasa, tetapi ternyata dinilai istimewa,” kata Kepala Desa Pringgasela Selatan Baihaki Habil.
Kecintaan warga desa kepada alam dan pangan lokal sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala. Warga di sana sangat kental dengan tradisi menenun. Salah satu filosofi yang terawetkan dalam motif tenun adalah hubungan antara manusia dan alam. Hubungan ini yang mungkin secara tidak langsung menghidupkan kearifan lokal, termasuk di bidang pangan, di desa mereka.
”Kami juga terhubung erat dengan alam, dalam tenun kami ada kisah Sri Menanti, tentang seorang putri yang menanti jodohnya. Sri juga berarti padi dan lambang kesuburan,” kata Sri Hartanti yang juga mengelola sekolah tenun di desa itu.
Semua yang terhidang di sini diambil dari sini juga.
Sebagai wujud syukur, setiap kali panen, warga zaman dulu merayakannya dengan Nyiru Jaja Bejakongan atau pesta hasil bumi. Para lelaki dan perempuan berdandan dengan kain terbaiknya untuk mengikuti pawai dengan membawa nyiru atau nampan berisi hasil bumi dan berbagai makanan tradisional. Makanan itu pun disantap bersama di persawahan sambil melihat atraksi belanjakan atau tarung Mua Thai ala Pringgasela di tengah sawah.
Baca juga: Sek..sek.. Kami Hidup dan Berguru dari Tenun
Kini, tradisi itu dihidupkan kembali. Pertengahan Desember lalu, pawai Nyiru Jaja digelar. Selain hasil bumi, berbagai pangan lokal disajikan, termasuk makanan yang dibuat para ibu-ibu.
Ratusan anak muda juga diajak kembali belajar membuat bungkus makanan dari janur, baik itu cerorot atau ketupat. Subroto, warga yang setiap hari bergelut dengan janur, mengatakan, janur tidak bisa dipisahkan dari pangan lokal karena salah satu fungsinya adalah sebagai pembungkus makanan.
Oleh karena itu, ia tidak menolak ketika beberapa anak muda yang tergabung dalam daya warga mengajaknya menyebarkan kembali seni merangkai janur. ”Ini bagus karena janur itu alami. Untuk pembungkus makanan, janur lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan plastik. Janur juga cantik saat digunakan sebagai hiasan pernikahan,” katanya.
Saat puncak Festival Dongdala atau Festival Pelangi pada 20 Desember lalu, pesta rakyat benar-benar meriah dengan makanan rakyat. Kelapa muda, kue bantal, cerorot, lopis, ikan mas bakar khas Pringgasela, juga buah durian mengalir tanpa henti menjadi hidangan makan. Tamu bersukacita, begitu pula warganya. Berbagai kudapan yang dihidangkan pun dinikmati bersama.
Begitulah, pangan lokal terjaga di Pringgasela Selatan. Tak hanya karena dukungan kesuburan tanahnya, tetapi juga pilihan warga atas makanan yang mereka sajikan. Dengan menyajikan kekayaan lokal di nampan mereka, desa ini telah mandiri dalam pangan.