Suami yang Bunuh dan Mutilasi Istri di Malang Tak Alami Gangguan Jiwa
Hasil asesmen psikologi menunjukkan, suami yang membunuh dan memutilasi istrinya di Kota Malang tidak mengalami gangguan jiwa. Perbuatan keji pelaku diduga telah direncanakan.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis, James L Tomatala (61), pelaku pembunuhan dan mutilasi terhadap istrinya di Kota Malang, Jawa Timur, tidak mengalami gangguan kejiwaan. Pembunuhan terhadap sang istri itu dilakukan James dalam kondisi sadar sehingga dia tahu akibat dari perbuatannya itu.
”Hasil asesmen psikologis, tidak ada dugaan yang bersangkutan mengalami gangguan kejiwaan. Apa yang dilakukan dalam keadaan sadar, tidak terpengaruh oleh gangguan psikologis,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Malang Kota Komisaris Danang Yudanto, Selasa (2/1/2024).
James membunuh sang istri, Ni Made Sutarini (55), akhir Desember 2023. Peristiwa tersebut terjadi di rumah pelaku di Kelurahan Bunulrejo, Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Setelah membunuh dan memutilasi istrinya, James menyerahkan diri ke polisi.
Danang memaparkan, polisi telah memeriksa tujuh saksi dalam kasus itu. Jenazah korban yang terpotong menjadi 10 bagian juga sudah diotopsi atas persetujuan keluarga. Polisi masih menunggu hasil otopsi dari Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang, guna mencari tahu apakah mutilasi itu dilakukan setelah korban meninggal atau masih hidup.
Danang menuturkan, James melakukan perbuatan keji itu karena merasa jengkel lantaran istrinya meninggalkan rumah sejak 5 Juli 2023 atau 5 bulan lebih 25 hari. Tersangka menduga ada orang ketiga, tetapi hal itu tidak bisa dibuktikan. Sebab, berdasarkan keterangan saksi, korban meninggalkan rumah, lalu menuju tempat kerabatnya di Bali.
Dari hasil penyelidikan polisi, pada Kamis (28/12/2023), pelaku mencari korban di tempat kerjanya di salah satu koperasi di Kota Malang. Namun, tersangka tidak menemukan korban. Setelah itu, pelaku mendapat informasi adanya acara gathering yang digelar tempat kerja korban pada Sabtu (30/12/2023).
James kemudian mencari istrinya di lokasi gathering di Taman Krida Budaya, Malang, dan menemukan korban berada di tempat itu. Pelaku lalu mengajak korban kembali ke rumah. ”Awalnya korban menolak. Namun, karena dipaksa akhirnya dia mengikuti pelaku pulang ke rumah,” katanya.
Hasil asesmen psikologis, tidak ada dugaan yang bersangkutan mengalami gangguan kejiwaan.
Akan tetapi, setelah sampai di rumah, pelaku justru membunuh dan memutilasi korban. Menurut Danang, pelaku awalnya memukul korban hingga terjatuh, lalu mencekik korban dengan tongkat, dan dilanjutkan dengan mutilasi. ”Pengakuan tersangka, dia memotong korban karena merasa jengkel. Pengakuan tersangka waktu itu seperti dirasuki setan,” ucapnya.
Danang menambahkan, berdasarkan keterangan saksi, pelaku sebelumnya pernah mengatakan akan menghabisi korban jika bertemu. Oleh warga sekitar, selama ini, pelaku memang dikenal temperamental dan ketika cekcok dengan keluarga sering melakukan kekerasan. Keluarga ini juga dikenal tertutup dan jarang bersosialisasi dengan orang.
Dari hasil penyelidikan polisi, diduga mutilasi itu sudah direncanakan. Pelaku telah menyiapkan beberapa kantong plastik ukuran besar yang baru saja dibeli. Barang itu diduga akan dipakai untuk menghilangkan jasad korban.
”Setelah memutilasi dia merasa kebingungan. Dia lalu menghubungi salah satu saksi untuk mengangkat perabot di dalam rumah. Namun, ketika saksi itu datang, yang ditunjukkan oleh tersangka adalah jasad korban yang sudah ada di dalam ember,” ucap Danang.
Menurut Danang, saksi yang menyaksikan jasad korban itu tidak ikut membantu pelaku. Lantaran ketakutan, dia lantas lari dan melapor. Oleh karena itu, saksi tersebut tidak dijerat dengan pasal pidana.
Sementara itu, tersangka dijerat Pasal 351 Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), subsider Pasal 338 KUHP, subsider Pasal 340 KUHP, subsider Pasal 44 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup atau hukuman mati.
Kriminolog Universitas Brawijaya, Malang, Prija Djatmika, mengatakan, mutilasi biasanya dilakukan karena dua motif. Pertama, untuk menghilangkan jejak agar pelaku selamat dari proses hukum. Kedua, mutilasi dilakukan karena dendam pelaku yang berlebihan sehingga dia melampiaskan dendamnya secara membabi buta dan sadis.
”Kasus di Malang ini lebih karena alasan kedua karena jenazah tidak dibuang terpencar dan potongan mutisasi tidak dibuang, malah ditaruh di rumah dan mengundang tetangga untuk masuk ke rumah. Itu hanya dilakukan oleh orang yang dendam dan punya kelainan jiwa,” kata Prija.
Kelainan jiwa yang dimaksud Prija adalah psikopat, bukan gila yang kehilangan akal sehat. Psikopat memiliki akal normal, tetapi punya kelainan berupa kecenderungan jiwa untuk berbuat sadis.
”Pasal 44 KUHP tidak bisa diterapkan dalam kasus ini. Pasal itu hanya bisa diterapkan untuk orang gila saja. Untuk Pasal 340 sudah benar. Ada pisau, kemudian pelaku menjemput korban ke rumah itu sudah direncanakan, by design. Dalam pembunuhan berencana ada waktu persiapan dan pelaksanaan perbuatan,” ungkap Prija.