Menghadirkan Harmoni Klenang Nunggal yang Lama Hilang
Hilang lebih dari 25 tahun, kesenian Klenang Nunggal kembali mencuri perhatian di Pringgasela Selatan, Lombok Timur, NTB
Setelah hilang selama lebih dari seperempat abad, kesenian Klenang Nunggal kembali bangkit di Pringgasela Selatan. Gending-gending kesenian mampu menghadirkan harmoni. Tidak hanya sebagai potensi budaya, tetapi juga jalan menyejahterakan masyarakat desa.
Selepas shalat Isya berjemaah, sekitar pukul 20.00 Wita, Rabu (18/12/2023), warga Pancor Kopong Utara, Desa Pringgasela Selatan, pulang ke rumah masing-masing. Akan tetapi, mereka hanya sebentar di sana. Baik untuk sekadar makan malam dilanjutkan menyeruput kopi atau teh, hingga berkumpul dengan keluarga.
Lima belas menit kemudian, mereka keluar rumah lagi. Lalu menuju ke halaman kosong di sisi barat perkampungan itu. Malam itu, akan ada latihan Klenang Nunggal. Klenang adalah alat musik pukul mirip kenong di Jawa, tetapi hanya satu bilah.
Meski sekadar latihan, warga, baik perempuan maupun laki-laki dan anak-anak, ramai-ramai datang. Mereka sepertinya tidak mau melewatkan pertunjukan gratis itu.
Para pemain pun tiba satu per satu. Sebagian besar mengenakan kaus dan bawahan sarung. Tidak ketinggalan, sapuq atau ikat kepala khas pria Sasak atau suku asli Lombok.
Begitu tiba, mereka langsung mengambil klenang masing-masing. Lalu duduk membentuk lingkaran di bawah atap dari jaring paranet dengan enam tiang dari bambu. Di tengahnya, telah ada Amak Maisur (70) dengan dua gendang di depannya.
Setelah semua hadir dan siap, Amak Maisur memukul gendang satu kali. Lalu menunduk diikuti para pemain lain. Tak lama berselang, gendang kembali dipukul satu kali dan semua mengangkat kepala. Mereka berhasil melatih salam pembuka dengan lancar.
Amak Maisur kembali memukul gendang beberapa kali. Para pemain yang sudah hafal pukulan itu, langsung menyambut dengan pukulan pada klenang masing-masing. Dalam sekejap, kampung yang berada 45 kilometer timur Mataram, ibu kota NTB itu, semarak oleh harmoni nada dari gendang dan kuningan saat memainkan berbagai gending.
Baca Juga: Ketika Pringgasela Selatan Bangkit dari Tidur
Berbagai gending dimainkan berulang-ulang. Termasuk gending ”Kadal Nongaq” sebagai pembuka. Lagu ini termasuk akrab di masyarakat Sasak. Sehingga saat mendengarkan alunan nada Klenang Nunggal, mereka tidak hanya ikut menggerakkan badan. Akan tetapi, juga mendendangkan lagu tentang pentingnya mengikuti nasihat orangtua agar tidak celaka itu.
Mahapati
Amak Maisur dan 23 pemukul klenang, yang tergabung dalam kelompok Mahapati, malam itu tengah berlatih untuk tampil di Festival Dongdala 2023 di Pringgasela Selatan, 19-21 Desember 2023.
Festival Dongdala yang berarti pelangi adalah kegiatan yang digelar sejak 2021 di Pringgasela Selatan. Tujuannya untuk memperkenalkan keragaman potensi budaya desa di selatan Rinjani itu. Festival tersebut sekaligus salah satu bagian dari Pemajuan Kebudayaan Desa, program prioritas Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Klenang Nunggal adalah salah satu potensi budaya Pringgasela Selatan yang juga pertama kali muncul kembali pada 2021. Kemunculan itu, sekaligus menandai bangkitnya kembali kesenian itu setelah mati suri lebih dari seperempat abad atau 25 tahun.
Sebelumnya, sejak tahun 1990, Klenang Nunggal dimainkan sebagai hiburan pada berbagai acara adat Sasak. Seperti merarik (pernikahan), nyongkolan (parade mengantar mempelai wanita ke rumahnya), nyunatang (sunatan), hingga roah (zikiran).
Klenang Nunggal disebut muncul setelah kesenian musik rebana tidak dimainkan lagi. Sehingga sejumlah gending di Klenang Nunggal, berasal dari gending rebana. ”Rebana mulai ada tahun 1960-an. Tidak dimainkan lagi karena alatnya rusak dan banyak pemain yang meninggal,” kata Maisur yang masih ingat sekitar sembilan gending.
Amak Maisur yang merupakan salah satu sesepuh rebana sampai berpindah ke klenang nunggal mengatakan, terakhir memainkan klenang nunggal sekitar tahun 1997. Tetapi setelah itu, tidak dimainkan lagi. Penyebabnya sama dengan rebana, yakni karena rusak dan para pemainnya banyak yang meninggal.
Beruntung, Maisur berinisiatif menyimpan semua alat klenang nunggal. Terutama untuk kuningan-kuningan yang diketahui berkualitas tinggi. Ia menyimpannya dalam satu karung di gudang mushala kampung itu. ”Banyak yang datang untuk membeli. Bahkan, sampai ditawar Rp 6 juta saat itu. Tetapi, saya tidak mau jual karena yakin bahwa suatu hari nanti akan dimainkan lagi,” kata Maisur.
Baca Juga: ”Sek-sek”... Kami Hidup dan Berguru dari Tenun
Semesta rupanya mendukung harapan Maisur. Proses temu kenali pada program Pemajuan Kebudayaan Desa Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menemukan klenang nunggal.
Nizar Azhari (39) daya desa adalah tokoh penggerak pemajuan kebudayaan desa mengatakan, klenang nunggal ditampilkan pertama kali pada Festival Dongdala 2021. Antusiasme dirasakan masyarakat Pringgasela Selatan karena tidak menyangka kesenian itu, bisa mereka saksikan lagi.
Banyak yang datang untuk membeli. Bahkan sampai ditawar Rp 6 juta saat itu. Tetapi saya tidak mau jual karena yakin bahwa suatu hari nanti akan dimainkan lagi (Amak Maisur)
Menurut Nizar, klenang nunggal memang tidak serta merta bangkit lagi. Setelah menemukan alat musik tersebut disimpan Maisur, proses selanjutnya adalah memperbaikinya. Lalu dengan ingatan yang terbatas, mereka bersama-sama menggali gending-gending Klenang Nunggal dari Maisur dan pemain yang masih hidup.
Klenang nunggal memiliki 25 alat yang terdiri dari 23 bilah kuningan dan dua gendang. Oleh karena itu, proses temu kenali juga harus melatih para pemain selain Amak Maisur. Saat ini, formasi mereka sudah lengkap dengan total 27 anggota yang tergabung dalam kelompok Mahapati. Nama Mahapati diambil dari nama kelompok kesenian rebana sebelumnya.
Lihat juga: Kesenian Klenang Nunggal Pringgasela Selatan Bangkit Setelah Mati Suri
Tidak hanya itu, regenerasi juga dipandang perlu agar kesenian ini tidak mati suri lagi. Oleh karena itu, kelompok Mahapati juga mulai melibatkan anak muda.
Tomi Saputra (17), anggota paling muda mengatakan, selain karena kakeknya (Amak Maisur), ia juga tertarik dengan klenang nunggal. Oleh karena itu, Tomi yang kini masih duduk di bangku SMA, mengatakan akan terus ikut berlatih setiap dua kali seminggu.
“Ini keinginan sendiri. Sekarang mungkin masih pegang salah satu klenang. Tapi nanti ingin belajar gendang juga dari kakek. Memang sulit, tetapi saya terus belajar,” kata Tomi.
Setelah muncul kembali, klenang nunggal pelan-pelan meraih popularitasnya kembali. Mereka semakin kerap diundang. Tidak setiap ada Festival Dongdala, tetapi mulai juga ke acara-acara adat di desa dan luar desa.
Taufikurrahman, salah satu anggota Kelompok Mahapati mengatakan, setidaknya sudah lima kali sepanjang 2023 mereka tampil. Termasuk di Taman Budaya NTB di Kota Mataram. Dengan begitu, mereka punya tambahan pemasukan. Untuk sekali tampil di acara pesta, mereka dibayar Rp 500.000.
Pemerintah desa juga terus mendorong eksistensi klenang nunggal sebagai salah satu potensi budaya. Saat ini, menurut Nizar, mereka dalam perencanaan pembuatan arena terbuka untuk pementasan. Hal itu karena akan ada sanggar untuk klenang nunggal.
Munculnya kembali klenang nunggal telah menghadirkan kembali harmoni yang telah lama hilang di Pringgasela Selatan. Lewat semangat pemain dan pemerintah desa serta masyarakat, gending-gending nan indah bisa dinikmati sekaligus membawa harapan. Tidak hanya harapan pemajuan budaya, tetapi jalan menuju kesejahteraan.