Beragam inovasi lahir dari para produsen jamu di Desa Bokoharjo, Kabupaten Sleman. Lewat kreativitas, mereka berupaya membuat jamu tradisional tetap relevan dengan zaman.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Untuk mempertahankan eksistensi jamu tradisional, para pelaku usaha jamu di Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus berinovasi. Selain menginisiasi pemasaran secara daring, sebagian produsen jamu itu juga meracik jamu kekinian yang menyasar anak muda.
Inovasi itu, antara lain, dilakukan oleh Sri Slamet (68), warga Desa Bokoharjo yang merintis usaha jamu Bu Slamet sejak tahun 1971. Mengelola usaha jamu bersama lima anaknya, perempuan itu berhasil memanfaatkan momentum untuk mengembangkan usahanya.
Saat pandemi Covid-19 muncul sekitar tiga tahun lalu, Bu Slamet dan anak-anaknya membuat produk baru yang disebut sebagai ”empon-empon anti Corona”. Produk itu berupa kumpulan empon-empon yang antara lain terdiri dari temulawak dan jahe.
Produk itu kemudian laku keras karena banyak warga yang mengonsumsi minuman berbahan empon-empon untuk menjaga kesehatan saat pandemi. Bahkan, pembeli produk tersebut tak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga beberapa negara lain.
”Kami pun terkejut ketika menerima permintaan racikan empon-empon anti Corona dari Korea dan Malaysia,” ujar Drajat Wiranto (49), anak tertua Bu Slamet, saat ditemui di sela-sela Festival Sewu Baku Jamu di kompleks Candi Banyunibo, Desa Bokoharjo, Selasa (19/12/2023).
Drajat menuturkan, usaha jamu Bu Slamet kini telah memproduksi lebih dari 20 jenis jamu. Sebagian di antaranya berupa racikan empon-empon kering yang dikemas dalam paket kecil. Racikan empon-empon yang dijual secara daring itu disebut memiliki beragam manfaat untuk kesehatan.
Drajat menambahkan, inovasi juga dilakukan dalam proses produksi jamu. Menurutnya, sejak lima tahun lalu, produksi jamu Bu Slamet mulai menggunakan mesin penggiling mekanis berbahan batu. Mesin itu dibuat atas saran sejumlah mahasiswa yang menjalankan Kuliah Kerja Nyata di desanya.
Meski demikian, Bu Slamet juga masih berjualan jamu di Pasar Prambanan. Di pasar itu, kata Drajat, Bu Slamet membuat jamu dengan bahan-bahan segar yang telah digiling dan diperasnya sendiri. Bahkan, tak jarang Bu Slamet diminta oleh pembeli untuk mencekoki jamu ke anak-anak yang susah minum jamu.
Produsen jamu lain di Desa Bokoharjo, Sri Sudaryanti (56), juga berinovasi dengan memproduksi jamu menggunakan mesin penggiling. Mesin itu dipakai untuk menggiling rempah menjadi serat halus. Namun, untuk proses selanjutnya, Sri masih memilih cara tradisional, yakni memakai wajan besar yang dipanaskan di atas tungku kayu bakar.
Menurut Sri, proses memasak secara manual itu tidak bisa digantikan oleh mesin. ”Proses memasak ini dilakukan manual karena ada saatnya racikan rempah harus dimasak dengan api kecil dan ada kalanya menggunakan api besar. Semuanya harus diatur dengan pengamatan dan kesigapan tangan yang tidak bisa tergantikan oleh mesin,” katanya.
Kami pun terkejut ketika menerima permintaan racikan empon-empon anti Corona dari Korea dan Malaysia.
Sejak tahun 2002, Sri telah memproduksi jamu berupa empon-empon bubuk yang siap dikonsumsi dengan cara diseduh air panas. Hingga sekarang, dia sudah memproduksi tujuh jenis empon-empon bubuk, misalnya jahe, temulawak, dan kunir putih.
Selain lebih tahan lama, Sri menyebut, empon-empon bubuk itu juga lebih fleksibel karena bisa diracik dengan minuman lain. Hal itu pula yang dilakukan sejumlah pengelola restoran dan kafe yang menjadi pelanggan produk mereka.
”Di sejumlah kafe, telang atau jahe bubuk ternyata dicampurkan pada minuman, seperti kopi atau susu. Ini menambah nilai jual minuman yang ditawarkan,” kata Sri.
Ke depan, Sri berencana mengubah kemasan empon-empon yang diproduksinya menjadi lebih berwarna-warni sehingga bisa menarik perhatian. Dia juga berencana untuk mengemas empon-empon itu menjadi hamper atau bingkisan, lalu dititipkan untuk dijual di toko oleh-oleh.
”Mudah-mudahan produk herbal ini nantinya bisa dikenal sebagai oleh-oleh khas dari Bokoharjo,” ungkapnya.
Campuran jus
Sementara itu, Ony Triyono (42), warga Bokoharjo yang merintis usaha jamu sejak tahun 2022, memproduksi jamu kekinian yang menyasar kalangan anak muda. Dalam produk jamu dengan mereka BojoKamu itu, Ony mencampur jamu kunir asem dengan jus jambu.
Menurut Ony, campuran jus itu bisa menyamarkan bau dan cita rasa rempah yang kadang kurang disukai anak muda. ”Saya meracik agar jamu ini bisa dinikmati sebagai minuman segar yang dapat ditambah es batu,” katanya.
Untuk mempromosikan jamu itu, Ony kerap membagikan produk tersebut secara gratis dalam acara-acara di desa. Terkadang, dia juga membagikan jamu itu kepada sekelompok pemuda yang sedang nongkrong di desanya.
Ony memang membuat jamu yang menyasar kalangan muda karena dia menilai konsumsi minuman tradisional itu kian berkurang. Selain itu, jamu juga kian tak populer di kalangan generasi muda dan anak-anak.
Bahkan, Ony menyebut, banyak anak di Desa Bokoharjo yang tak lagi mengenal beragam jenis empon-empon. ”Saat dimintai tolong oleh ibunya mengambil bahan-bahan untuk memasak, anak-anak sekarang tidak tahu mana jahe, mana kunyit,” tutur lelaki yang juga merupakan pendamping kebudayaan desa dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi itu.
Padahal, kata Ony, Desa Bokoharjo dulu dikenal sebagai salah satu sentra produksi jamu di Sleman. Dia menyebut, pada zaman dulu ada sekitar 50 produsen jamu di desa itu. Namun, saat ini tinggal sekitar 20 usaha jamu yang tersisa di desa tersebut.
Kondisi itulah yang melatarbelakangi penyelenggaraan Festival Sewu Bakul Jamu di Bokoharjo pada 18-19 Desember 2023. Kegiatan yang didukung Kemendikbudristek itu diharapkan bisa memopulerkan lagi jamu tradisional, termasuk yang diproduksi warga Bokoharjo.
Setelah kegiatan ini, industri jamu di desa itu juga akan dikembangkan menjadi destinasi wisata. Dengan demikian, usaha jamu di Bokoharjo diharapkan bisa terus bertahan.