Ziarah ke Goa Maria Cisantana, Kesejukan dari Gunung Ciremai
Goa Maria Fatima Sawer Rahmat, tempat ziarah umat Katolik jadi potret toleransi dan kedamaian bagi warga berbeda agama .
Goa Maria Fatima Sawer Rahmat di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, selalu menghadirkan kesejukan bagi siapa saja. Selain berada di kaki Gunung Ciremai, tempat ziarah umat Katolik ini juga menjadi potret toleransi warga berbeda agama.
Gerimis siang itu, Rabu (6/12/2023), tidak menghentikan langkah Eivria (29) dan Virtania (25) untuk berkunjung ke Goa Maria di Cisantana. Tanpa payung dan jas hujan, kaki mereka yang beralas sepatu kets terus menyusuri jalur setapak. Tetesan air dari pohon ikut membasahi jalan.
Di sana, warga Jakarta ini tidak lagi mendengar riuh suara klakson atau menghirup polusi dari kendaraan. Kedua perempuan ini hanya mendapati hawa sejuk dan nyanyian tonggeret, sejenis serangga. Suasana inilah yang mengiringi mereka seraya menapaki tangga demi tangga ke Goa Maria.
Baca juga: Sekeping Surga dari Cigugur
Mereka berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer. Sepanjang jalur yang menanjak itu, terdapat 14 tempat pemberhentian Jalan Salib yang ditandai dengan relief berwarna abu-abu. Relief itu mengisahkan penderitaan serta perjuangan Yesus Kristus sebelum, ketika, dan sesudah disalib.
Mulai dari Yesus dijatuhi hukuman mati, memanggul salib, terjatuh, disalib, hingga dimakamkan. Beberapa kali, Eivria dan Virtania berhenti di jalan selebar 3 meter itu. Setelah berjalan sekitar setengah jam, mereka akhirnya sampai di puncak Goa Maria.
Di kawasan dengan ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut itu, terdapat patung Bunda Maria setinggi lebih dari 2 meter. Patung putih itu berada di dalam goa. Pengunjung dilarang naik ke goa yang dinaungi pohon beringin besar. Di bawahnya berderet lilin-lilin.
Sayangnya, Eivria tidak bisa berdoa tepat di hadapan patung Bunda Maria karena hujan mulai deras. Ia berteduh di saung dekat goa. Duduk bersila, ia menggenggam kedua tangannya sembari berdoa, sedangkan adik sepupunya, Virtania, menikmati hawa sejuk dengan kabut pegunungan.
Hujan juga merusak rencana penari balet ini untuk berfoto ria. ”Padahal, saya sudah bawa sepatu balet.Ha-ha-ha,” ucap Eivria sambil menunjukkan sepatu berwarna merah muda yang disimpan dalam tas jinjingnya bersama cairan antinyamuk dan minyak angin.
Ketika hujan perlahan reda, Eivria memilih duduk di atas bangku batu, tepat di depan patung Bunda Maria. Mahasiswa magister di salah satu kampus di Jakarta ini kembali bermunajat sambil menundukkan kepalanya yang berbalut mantila merah.
Jangan sampai agama dijadikan isu pemecah belah.
Ia berharap perayaan Natal tahun ini berjalan lancar dan membawa kedamaian bagi siapa saja. Apalagi, pada 14 Februari 2024 ada pemilihan umum. ”Jangan sampai agama dijadikan isu pemecah belah. Terus nanti ada orang yang ingin jadi hero (pahlawan),” ucapnya.
Baginya, Goa Maria Cisantana bisa menjadi potret persatuan bangsa. Meski jadi tujuan peziarah umat Katolik, goa itu juga terbuka bagi siapa saja. ”Ini kedua kali saya ke sini. Pertama kali itu, enam bulan lalu. Saya diantar teman dari Cirebon yang beragama Yahudi,” ucapnya tersenyum.
Kali ini, giliran ia yang mengajak Virtania, penganut Kristen Protestan. Meskipun berbeda agama, keduanya tetap saling menghormati. ”Saya baru pertama kali ke Goa Maria. Mungkin (kunjungan) ini lebih menghormati Bunda Maria,” ujar Tania, sapaan Virtania.
Baginya, perbedaan agama bukanlah penghalang untuk saling menghargai satu dengan lainnya. ”Kakak sepupu saya (agamanya) Katolik, Papa saya Muslim dari Palembang. Bukankah semua agama itu baik?” ujar Tania yang bisa menghafal sejumlah surat pendek dalam Al Quran.
Itu sebabnya, ketika diminta menemani Eivria, Tania tidak berpikir panjang. Dari Jakarta, keduanya menggunakan mobil pribadi, menyusuri jalan tol, dan keluar di Gerbang Tol Ciperna, Kabupaten Cirebon, Selasa (5/12). Mereka lalu menginap di hotel daerah Gronggong.
Mereka juga mencicipi empal gentong, kuliner khas Cirebon. Rabu siang, keduanya menuju Cisantana dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. ”Di sini (Goa Maria), saya bisa wisata rohani sekaligus healing (pemulihan diri),” ucap Tania sambil mengabadikan kabut di hutan.
Tidak hanya ziarah, pengunjung dapat pula berwisata di sekitar Goa Maria. Di Cisantana berjejer aneka kedai dan restoran yang menyajikan pemandangan gunung. Bahkan, ada yang memiliki kebun binatang mini. Jika ingin mendaki, warga bisa menuju Pos Palutungan.
Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Maria Putri Murni Sejati, Cisantana, Markus Muhidin, mengatakan, Goa Maria Cisantana memang merupakan destinasi wisata rohani. Namun, ia mengingatkan, agar pengunjung yang melintasi Jalan Salib dapat meresapi perjuangan Yesus.
Ribuan peziarah
Goa Maria Cisantana, kata Markus, mulai dirintis tahun 1988. ”Tempat ini dulu bisa dikatakan hutan, cukup angker juga. Lalu, ada seorang pastor dari Belanda, M Kuppens OSC, ingin membuat Goa Maria agar warga tidak perlu jauh-jauh berziarah ke Jawa,” ucapnya.
Uskup Bandung saat itu, Mgr Alexander Djajasiswaja Pr, juga menyetujui rencana tersebut. Warga setempat pun membangun Goa Maria sekitar dua tahun.
Pada 21 Juli 1990, Kardinal Tomko dari Italia meresmikan tempat itu. Awalnya, Goa Maria tersebut menjadi tempat warga untuk berdoa.
Seiring berjalannya waktu, tempat itu tidak hanya dikunjungi sekitar 1.000 pemeluk Katolik di Cisantana, tetapi juga ribuan peziarah dari luar, seperti Jakarta, Bandung, hingga Lampung. Ketika Jumat Agung dan wafatnya Isa Almasih, pengunjungnya bisa berlipat hingga mencapai 3.000 orang per hari.
Menurut Markus, untuk berziarah ke tempat ini, pengunjung tak hanya menyiapkan niat, tetapi juga fisik. Apalagi, lokasinya di kaki Ciremai, gunung tertinggi di Jabar (3.078 mdpl). Peziarah, misalnya, perlu membawa air minum, topi, serta payung atau jas hujan. Jangan khawatir, terdapat toilet menjelang Goa Maria.
Menurut dia, siapa pun boleh datang ke sana meski bukan umat Katolik. Pertengahan September lalu, misalnya, Forum Moderasi Beragama Madrasah Aliyah Negeri 2 Kuningan berkunjung ke sana. ”Desa kami juga menjadi Kampung Moderasi Beragama,” ucap Markus.
Penghargaan dari Kementerian Agama itu menjadi salah satu bukti indahnya toleransi di sana. Sudah lazim jika satu keluarga memiliki agama yang berbeda. ”Dua paman saya Muslim. Nama belakang saya ’Muhidin’ itu dari pak kiai. Bapak saya dulu membantu kiai,” ujar Markus.
Akhir tahun lalu, rombongan acara Seminar Agama-Agama atau SAA ke-37 juga mendatangi Goa Maria Cisantana. Forum yang digelar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) itu diikuti peserta yang merupakan tokoh lintas agama dan kepercayaan, aktivis, hingga mahasiswa.
Mereka pun sempat ke Pondok Pesantren Daarul Mukhlisin. ”Saya kira, Tuhan sedang berbahagia melihat kita kompak dan jauh dari perselisihan. Lima meter dari Goa Maria itu tanah pesantren. Jadi, bukan berdampingan lagi, tapi nempel,” ucap KH Yayat Hidayat, pengasuh ponpes.
Tidak jauh dari sana terdapat Paseban Tri Panca Tunggal, pusat aktivitas masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan. Penghayat Sunda Wiwitan memegang cara-ciri manusia dan bangsa, seperti cinta kasih; serta mengedepankan hubungan Tuhan, manusia, dan alam.
Meskipun berbeda agama dan kepercayaan, warga tetap hidup harmonis. Goa Maria menjadi buktinya. Tempat itu terasa sejuk tidak hanya karena pepohonan, tetapi juga praktik toleransi di dalamnya. Suasana inilah yang dibutuhkan warga.
Baca juga: Catatan dari Seminar Agama-agama, Pelajaran Keberagaman di Cigugur