Penjualan karbon menjadi opsi yang menarik bagi masyarakat hukum adat mukim di Provinsi Aceh untuk memperoleh imbalan jasa menjaga lingkungan.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Tutupan hutan masih padat di dalam hutan adat milik Mukim Blang Birah, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, Rabu (15/11/2023).
BANDA ACEH, KOMPAS — Penetapan hutan adat memberikan harapan baru bagi masyarakat hukum adat mukim di Provinsi Aceh sebagai sumber ekonomi berkelanjutan. Pemanfaatan hasil bukan kayu, agroforestri, dan penjualan karbon dapat menjadi sumber ekonomi masa depan.
Sekretaris Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Zulfikar Amna, Senin (11/12/2023), mengatakan, selain pengakuan eksistensi, penetapan hutan adat mukim membuat masyarakat adat memiliki sandaran untuk pemenuhan ekonomi.
”Membiarkan hutan adat tetap lestari, tanpa mengelola, juga akan memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat adat mukim, yakni melalui penjualan karbon,” kata Zulfikar.
Zulfikar mengatakan, masyarakat adat sangat layak untuk menerima imbalan jasa menjaga hutan. Kelestarian hutan adat tidak hanya untuk mereka, tetapi juga berkontribusi terhadap pengendalian perubahan iklim dunia.
Selama ini, masyarakat adat mukim tidak mendapatkan imbalan jasa atas pengorbanan mereka menjaga hutan. Hal itu dikarenakan negara belum mengakui hak masyarakat adat menguasai hutan.
Pada Senin (18/9/2023), di Jakarta, Presiden Joko Widodo menyerahkan salinan surat penetapan 22.549 hektar hutan adat delapan mukim di Aceh. Delapan mukim itu tersebar di tiga kabupaten, yakni Bireuen, Pidie, dan Aceh Jaya.
Masyarakat hukum adat mukim merupakan kesatuan masyarakat yang terdiri atas beberapa desa. Mukim memiliki struktur pemerintahan dan perangkat hukum adat. Pemerintahan mukim merupakan warisan sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam.
Mukim dipimpin oleh seorang imum mukim dibantu perangkat adat, seperti pawang uteun (panglima adat hutan), keujruen blang (ketua adat persawahan), peutua seuneubok (ketua adat perkebunan), dan ketua adat lain sesuai dengan kearifan lokal masing-masing wilayah mukim.
Zulfikar mengatakan, keluarnya surat penetapan masyarakat adat memiliki kekuatan hukum untuk ikut berpartisipasi dalam pasar perdagangan karbon. ”Pemerintah harus memfasilitasi agar masyarakat hukum adat mukim dapat merasakan jasa imbalan menjaga hutan,” kata Zulfikar.
Oleh sebab itu, Zulfikar juga mendorong masyarakat adat mukim segera merancang rencana pengelolaan hutan. Hutan adat dapat dikelola menjadi lahan pertanian dengan konsep agroforestri, wisata alam, dan mengambil hasil hutan bukan kayu.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Abdul Hanan mengatakan, pihaknya akan mendampingi masyarakat adat dalam merencanakan dan mengelola hutan adat.
”Kami juga akan membantu bibit tanaman agroforestri. Saya berharap masyarakat adat mengelola hutannya dengan baik,” kata Hanan.
Agroforestri merupakan konsep mengelola hutan dengan menanami pohon bernilai ekonomi dan memiliki fungsi ekologi, seperti durian, jengkol, kemiri, dan alpukat.
Kepala Imum Mukim Panga Pasi, Kabupaten Aceh Jaya, Hamidi, mengatakan, dia tidak tahu tentang perdagangan karbon, tetapi jika dari menjaga hutan mendapatkan imbalan mereka semakin bersemangat. Selama ini mereka menjaga hutan tanpa pamrih.
”Kami harus menjaga hutan karena itu sumber air bagi pertanian,” kata Hamidi.
Hamidi mengatakan, dari 1.282 hektar hutan adat Mukim Panga Pasi, sebagian kecil telah telanjur dibuka untuk perkebunan warga. Namun, pascapenetapan pihaknya akan segera mengadakan musyawarah dengan perangkat desa di bawah mukim untuk menyusun rencana pengelolaan.
”Ada sebagian warga meminta dijadikan ladang gembala kerbau, tetapi semua itu akan diputuskan dalam rapat. Yang jelas kami tidak akan merusak hutan adat,” kata Hamidi.
Mukim dipimpin oleh seorang imum mukim dibantu perangkat adat, seperti pawang uteun (panglima adat hutan), keujruen blang (ketua adat persawahan), peutua seuneubok (ketua adat perkebunan), dan ketua adat lain sesuai dengan kearifan lokal masing-masing wilayah mukim.
Namun, yang terpenting ialah hutan adat menjadi sumber ekonomi warga pada masa depan. Saat lahan pertanian semakin mahal dan kondisi ekonomi yang sulit, maka masyarakat adat masih memiliki hutan tempat bergantung hidup.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto mengatakan, perdagangan karbon terbuka untuk semua entitas karbon, termasuk masyarakat. Akan tetapi, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Semua entitas karbon bisa mendaftar melalui sistem registrasi nasional (SRN) apabila semua persyaratan tersebut dapat dipenuhi.
Agus menyebut bahwa masyarakat adat yang memiliki izin hutan adat juga berhak mendapatkan manfaat dari pengelolaan emisi gas rumah kaca. Namun, sama halnya dengan entitas lain, mereka pun harus memenuhi persyaratan sehingga bisa menetapkan additionality dari baseline yang ditetapkan (Kompas.id, 10/11/2023).