Perjuangan Jatayu di Tengah Transisi Energi
Warga di Indramayu berjuang menolak PLTU karena khawatir akan merusak ruang hidup dan kesehatan mereka. Hal itu terjadi saat pemerintah berkomitmen mengalihkan energi kotor menjadi energi bersih melalui skema JETP.
Saat pemerintah menggembar-gemborkan transisi energi kotor ke bersih, warga yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu) berjuang menolak pembangkit listrik tenaga uap. Semuanya demi menjaga ruang hidup mereka.
Kehadiran PLTU 1 pada 2011 di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, telah meninggalkan jejak kekhawatiran bagi anggota Jatayu. Mulai dari ancaman pengurangan produksi tanaman hingga potensi kehilangan lahan pangan.
Ketua Jatayu Rodi masih ingat banyaknya pohon kelapa di kampungnya di Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol. Namun, sejak PLTU Indramayu 1 beroperasi, satu per satu pohon kelapa tumbang. Apakah kehadiran infrastruktur itu menjadi biang keladinya, ia tidak dapat memastikan.
”Kami tidak punya alat mengukur penyebabnya. Tapi, kelapa mati kering. Padahal, dulu, setiap bulan, ada dua sampai tiga mobil datang beli kelapa di sini,” ucapnya.
Siang itu, Kamis (12/10/2023), tidak tampak satu pohon kelapa pun sejauh mata memandang. Padahal, Mekarsari, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat pemerintahan Indramayu, merupakan wilayah pesisir dan tempat pohon kelapa tumbuh. Warga pun kini harus membeli kelapa.
Rodi juga mengeluhkan asap dari cerobong PLTU yang bisa berdampak pada kesehatan warga. Laporan tahunan PT PLN Nusantara Power mencatat, emisi gas rumah kaca PLTU Indramayu tahun lalu mencapai 6,12 juta ton karbon dioksida (CO2), naik dari 5,8 juta ton pada 2021.
Laman Tapio, platform yang fokus pada penurunan karbon, mengibaratkan satu ton karbon setara dengan emisi dari perjalanan pesawat satu arah dari Paris ke New York atau sebuah bola besar berisi karbon setinggi 10,7 meter.
Nelayan, kata Rodi, turut mengeluhkan penurunan hasil tangkapan rebon pasca-PLTU 1 beroperasi. Nelayan yang sebelumnya bisa meraup 70 kg rebon sehari kini maksimal hanya 20 kg. Rebon yang dulunya kemerahan atau disebut jembret kini warnanya memudar.
Kemunculan PLTU di Indramayu juga mengungkap kasus korupsi. Eks Bupati Indramayu 2000-2010, Irianto Mahfud Sidik Syafiuddin alias Yance, divonis 4 tahun penjara setelah terbukti korupsi dalam pembebasan lahan PLTU 1 dengan kerugian negara mencapai Rp 4,1 miliar.
Buruh tani juga kehilangan lahan garapan pasca-PLTU berdiri. Mereka pun kesulitan mencari lahan di luar desa karena sudah digarap warga lainnya. Biaya sewa lahan juga mahal, bisa belasan juta rupiah per hektar setahun. Belum lagi mereka harus bersaing dengan mesin.
”Kami hidup dari lahan itu. Kalau PLTU dibangun, ruang hidup kami hilang,” ucap bapak tiga anak ini.
Menurut dia, keahlian warga adalah bertani. Rodi pun meragukan hidup warga lebih sejahtera dengan kehadiran PLTU. Apalagi, sebagian besar petani hanya lulusan SD.
Banyak yang merasakan perjuangan Jatayu, lebih dari 100 keluarga penggarap di lahan itu. Kebanyakan orang di luar Jatayu, termasuk yang menjual tanahnya untuk PLTU.
Belum jelas
Rodi mengakui, lahan garapan itu bukan milik warga. ”Lahan itu sudah dibebaskan oleh negara dan kepemilikannya belum jelas. Bukankah tanah negara dipergunakan untuk kemakmuran rakyat? Rakyat di sini adalah kami, yang paling dekat dan menjaga sumber pangan itu,” ujarnya.
Berkat kegigihan mempertahankan lahan itu, warga akhirnya boleh mengolah sawah itu sejak 2016. ”Banyak yang merasakan perjuangan Jatayu, lebih dari 100 keluarga penggarap di lahan itu. Kebanyakan orang di luar Jatayu, termasuk yang menjual tanahnya untuk PLTU,” katanya.
Namun, ancaman tergusur dari lahan itu selalu ada. Itu sebabnya, pihaknya menggugat rencana pembangunan PLTU melalui unjuk rasa hingga gugatan ke pengadilan meski berujung gagal. Jatayu juga berjejaring dengan lembaga peduli lingkungan di Jepang, Friends of the Earth (FoE).
Baca juga: Praktik Tambang yang Baik, Kenapa Tidak?
Melalui dukungan FoE, Walhi Jabar, LBH Bandung, dan lembaga lainnya, perwakilan Jatayu dua kali terbang ke Jepang. Di sana, pihaknya meminta Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) agar mengurungkan rencananya mendanai pembangunan PLTU Indramayu 2.
Upaya ini membuahkan hasil. Pertengahan tahun lalu, dilansir dari laporan Reuters, Jepang menarik diri dalam pendanaan proyek itu. Selain mendapatkan kritik dari pegiat lingkungan, keputusan menghentikan pendanaan juga sebagai komitmen Jepang merespons perubahan iklim.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin mengatakan, strategi menyasar lembaga keuangan yang menghentikan rencana pembangunan PLTU merupakan pertama kali di Jabar. ”Di sisi lainnya, Jepang juga aware (sadar) dengan dampak lingkungan dari PLTU,” ucapnya.
Paling penting, menurut Wahyudin, adalah soliditas Jatayu yang masih kuat meskipun mendapat iming-iming keuntungan hingga ancaman. Perjuangan Jatayu pun, katanya, bisa menjadi contoh bagi warga terdampak proyek strategis nasional, seperti di Rempang, Batam, dan daerah lainnya.
Meski demikian, pembangunan PLTU Indramayu 2 masih bisa terjadi jika proyek itu masih tercatat dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL). Pihaknya pun mendesak pemerintah mengeluarkan PLTU 2 dari RUPTL dan menghentikan operasionalisasi PLTU 1.
Apalagi, pemerintah telah berkomitmen mengalihkan energi kotor menjadi energi bersih melalui skema Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (JETP) dan mekanisme transisi energi (ETM). Inisiatif itu muncul dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, November tahun lalu.
JETP ialah komitmen pendanaan senilai 21,5 miliar dollar AS atau Rp 333,8 triliun (dengan kurs Rp 15.527 per dollar AS) untuk transisi energi. Pendanaan itu akan fokus pada pembangunan transmisi, pengakhiran dini PLTU, akselerasi energi terbarukan, hingga peningkatan rantai pasok energi terbarukan.
Target terdekat dari program ini adalah pensiun dini PLTU 1 Cirebon berkapasitas 660 MW, sekitar 112 kilometer dari PLTU 1 Indramayu. Mengacu pada kesepakatan JETP, menurut Wahyudin, pemerintah seharusnya memastikan agar PLTU 2 Indramayu tidak berdiri dan segera mengakhiri operasionalisasi PLTU 1 di daerah itu.
”Kalau tetap membangun PLTU yang menghasilkan polusi, merampas ruang hidup rakyat, dan memicu konflik agraria, itu bukan energi bersih yang berkeadilan,” ucapnya. Pasokan listrik di Jawa Bali juga telah berlebih dengan cadangan daya terhadap beban puncak 44 persen (Kompas.id, 6/7/2023).
”Artinya, pembangunan PLTU di Jawa, terutama di Jabar, itu tidak dalam konteks memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi memasok industri. Seharusnya pemerintah fokus pada energi bersih dan berkeadilan,” ungkapnya.
Terkait pengoperasian PLTU 1 Indramayu, Senior Manager PT PLN Nusantara Power UP Indramayu Munif mengatakan, pihaknya telah menerapkan metode co-firing, yang mencampurkan batubara dan serbuk kayu dengan komposisi 1-2 persen.
Dari hasil pengukuran emisi gas buang dari metode itu, emisi Sox rata-rata sebesar 97,39 mg/Nm3. Angka ini lebih rendah dari batas baku mutu emisi yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni 550 mg/Nm3.
”Emisi NOx rata-rata sebesar 330,91 mg/Nm3 atau lebih rendah dari batas baku mutu emisi KLHK 550 mg/Nm3,” ujar Munif dalam keterangan tertulisnya.
Akan tetapi, Munif mengatakan, belum bisa berkomentar terkait rencana pembangunan PLTU 2 karena status proyeknya belum jelas. Menurut dia, semua informasi terkait PLTU 2 merupakan wewenang PT PLN di kantor pusat.
Saat ditanya Kompas terkait kelanjutan pembangunan PLTU Indramayu 2, Presiden Joko Widodo juga tidak menjawab tegas. ”Semua yang berkaitan dengan kebutuhan listrik secara nasional, kita dukung. Tetapi, sekarang ini kita mulai bergeser ke energi hijau,” ucap Presiden di sela-sela panen raya di Desa Karanglayung, Sukra, dekat PLTU 1, Jumat (13/10/2023).
Menurut Presiden, pemerintah memprioritaskan energi hijau, seperti pembangkit listrik tenaga surya, air, hingga panas bumi yang lebih ramah lingkungan. ”Kalau ada PLTU itu harus supercritical (technology). Semua standarnya itu ada saya kira, ada di Kementerian ESDM (Energi Sumber Daya Mineral), yang tahu semua,” ujar Presiden.
Supercritical technology merupakan teknologi yang dapat mengurangi emisi di PLTU. Namun, bahan bakarnya masih menggunakan batubara.
Saat keinginan dan mimpi besar bangsa memberikan energi yang ramah lingkungan diapungkan, Jatayu menjadi bagian kecilnya dengan tetap menolak PLTU. Anggota Jatayu cemas sumber pangan akan hilang jika tidak dijaga dari sekarang.
”Kami ini hanya menjaga sumber pangan. Kalau bukan kita, siapa lagi?” ucap Mistra (37), anggota Jatayu.
Baca juga: PLTU ”Off-grid” Belum Masuk dalam Target-target JETP
Mistra bahkan memberi anaknya nama Jatayu Arya Misyu. Saat lahir tahun 2018, sang ibu turut berjuang menolak PLTU 2 meski sejumlah warga menjadi korban kriminalisasi.
”Anak saya harus diajarin seperti orangtuanya yang mempertahankan ruang hidup,” ungkapnya.