Pertautan Rasa dan Sejarah dari Tanah Buton
Jejak panjang kebudayaan Buton terekam lewat resep masakan. Rasa yang khas, dan karakter kelapa yang lekat, dijaga ketat lewat upacara adat yang menandai kekayaan budaya wilayah ini.
Selama berabad-abad, masakan di wilayah Kesultanan Buton terjaga dan diwariskan secara turun-temurun. Aroma khas kelapa, rasa asam dari berbagai tanaman, hadir dalam pesta dan perayaan adat serta keseharian. Kekayaan budaya ini berupaya terus dipertahankan di tengah berbagai tantangan.
Musdalifah (40) hilir mudik membawa peralatan masak di kedai miliknya, di area benteng Keraton Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara. Kompor dan nampan telah siap. Nosu atau alat lesung dari kuningan juga tersedia. Bumbu-bumbu dijejerkan.
Di siang yang gerah, Rabu (22/11/2023), ibu tiga anak yang lebih tenar dipanggil Mama Aldo ini mengeluarkan ayam yang telah dibakar setengah matang. Ayam ini adalah ayam kampung muda yang telah dibersihkan dan dipotong beberapa bagian.
”Namanya ayamNasu Wolio. Ini masakan yang wajib kalau ada acara adat. Tidak boleh tidak ada, dan ayamnya harus ayam kampung muda,” ujarnya.
Sepiring kecil asam dikeluarkan. Asam tersebut disebut asam keraton karena tumbuh di lingkungan benteng Keraton Buton. Rasa asamnya diyakini sedikit berbeda dari asam lainnya.
Selain asam, ia juga mengeluarkan sebuah toples plastik berisi bumbu utama. Serupa bumbu rahasia, ia menuangkan isinya secara perlahan. Bumbu ini adalah kelapa sangrai yang telah ditumbuk hingga mengeluarkan minyak. Bagi masyarakat Buton, bumbu ini dikenal dengan nama kalukui yi hole. Bumbu inilah yang memberi rasa gurih dan khas dalam masakan.
”Sudah ini bumbu utamanya. Kalau tidak ada, namanya bukan Nasu Wolio,” cerocos Mama Aldo sembari terus mencampurkan olahan kelapa ini dengan ayam. Asam juga dimasukkan.
Setelah merata, adonan ayam lalu dimasak setelah dicampur santan. Garam dan penyedap rasa dituangkan. Sebelum benar-benar mendidih, ia kembali memasukkan santan kental. Hingga setengah jam kemudian, wangi masakan menguar seiring gerimis yang jatuh di Kota Baubau.
Bau harum kelapa dan sedikit asam membuat masakan ini tidak begitu menyengat. Namun, saat disantap, gurih kelapa membaur dengan bumbu sederhana. Ayam kampung muda yang telah dibakar sebelum dimasak membawa nuansa rasa tersendiri. Dipadukan dengan kasuami, atau olahan ubi, rasa lapar terbayar tuntas.
Nasu Wolio adalah satu dari sejumlah masakan yang ia olah hari itu. Ia memasak sejumlah masakan sebagai bagian dalam dokumentasi Ekspedisi Pusaka Rasa Nusantara. Ekspedisi ini diinisiasi oleh Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia yang merupakan kerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui hibah Ambassador Fund for Cultural Preservation.
Baca juga: Berburu Resep Kuliner Tradisional hingga Pelosok Negeri
Sebelumnya, Mama Aldo membuat katapai. Olahan ini merupakan ikan tuna asap yang dimasak dengan santan. Bumbunya hanya memakai asam, serai, bawang merah, dan bawang putih. Satu yang tidak terlupa adalah kelapa sangrai yang ditumbuk atau kalukui yi hole.
Serupa juga dengan perangi kapohu. Ini adalah olahan jantung pisang yang dicacah lalu ditambahi garam, merica, jeruk nipis, juga dengan kaluku yi hole.
Salah satu masakan yang juga memakai kelapa parut adalah ikan dole. Olahan ini berasal dari daging ikan segar yang dicampur dengan kelapa sangrai. Setelah menyatu, dicampur sejumlah bumbu. Adonan lalu dibentuk segitiga, lalu dibalut dengan telur sebelum digoreng.
Kelapa sangrai serupa biang bumbu untuk berbagai masakan utama. Rasa kelapa yang khas dan hangus memberi ”nyawa” dalam makanan. Hampir setiap masakan, baik untuk upacara adat maupun yang diwariskan bergenerasi, memakai kelapa tersebut.
Menurut Mama Aldo, masakan ini adalah warisan yang diturunkan secara turun-temurun. Sejak kecil, ia mempelajari cara memasak dari nenek dan juga ibunya. Berbagai makanan ini rutin disajikan setiap tahun, terutama untuk berbagai kegiatan dan acara adat. Mulai dari perayaan sukacita, duka, hingga Maulid.
Jejak budaya
Bagi masyarakat Buton, makanan merupakan jejak budaya yang begitu berperan dalam sejarah wilayah ini. Memiliki rekam jejak yang panjang sebagai pertemuan berbagai bangsa, hingga berdirinya Kesultanan Buton, wilayah ini menyimpan kekayaan yang terus dijaga, salah satunya melalui makanan.
Imran Kudus, budayawan muda Buton, menceritakan, tanah Buton sejak lama merupakan lokasi strategis untuk jalur pelayaran. Tidak salah jika berbagai bangsa telah tiba di tanah ini sejak berabad-abad lalu. Pedagang dari China, Arab, Melayu, hingga Belanda hadir di tanah ini.
Baca juga: Jagung, Sagu, dan Ubi yang Mengarungi Samudra
”Nenek moyang orang Buton itu disebutkan dari tanah Semenanjung Melayu. Untuk kuliner, pengaruh Melayu ini salah satunya terlihat dari perlengkapan makan yang memakai talang. Setelahnya, ada pengaruh dari Tiongkok, Jawa, dan Arab. Dan pengaruh Arab sangat besar,” katanya.
Kelapa sangrai serupa biang bumbu untuk berbagai masakan utama. Rasa kelapa yang khas dan hangus memberi ”nyawa” dalam makanan. Hampir setiap masakan, baik untuk upacara adat maupun yang diwariskan bergenerasi, memakai kelapa tersebut.
Meski memiliki pengaruh dari banyak budaya, karakter rasa makanan di Buton memiliki ciri tersendiri, terutama rasa gurih dan asam. Rasa gurih didapatkan dari kelapa, dan asam dari berbagai jenis tanaman. Baik itu asam jawa, belimbing, daun kedondong hutan, maupun daun khas yang disebut kabulo.
Tidak hanya itu, sejumlah makanan disyaratkan secara ketat dalam upacara adat. Nasu wolio dan ikan dole adalah dua di antaranya. Makanan ini menjadi syarat untuk berbagai acara adat di lingkungan Keraton Buton.
Namun, tidak berhenti di situ, penyajian makanan juga memiliki tata cara. Susunan nasu wolio dan ikan dole, pisang dan ubi goreng, juga berbagai penganan kue manis akan berbeda saat upacara perayaan dengan upacara kedukaan. Begitu pula susunan untuk masyarakat umum dengan bangsawan.
Menurut Imran, selain sebagai tradisi, cara ini juga memiliki pesan tersirat agar makanan khas Buton juga selalu terjaga. Sebab, masakan seperti nasu wolio dan ikan dole wajib disajikan dalam hajatan tersebut. Secara tidak langsung, resep dan masakan juga harus selalu diwariskan ke generasi berikutnya.
”Meski resep itu tidak tertulis, pengetahuan akan masakan selalu diturunkan ke generasi berikutnya. Itu menjadi kekayaan bersama yang harus kita jaga,” ujar Imran yang membuat buku masakan khas Buton.
”Tantangan saat ini adalah mempertahankannya karena sudah sulit menemukan generasi muda yang tahu cara masaknya. Beberapa bumbu juga semakin sulit didapatkan,” katanya lagi..
Baca juga: Mengolah Kolope dari Umbi Beracun di Pulau Muna
Mama Aldo menambahkan, dari enam bersaudara dan sejumlah kerabat dekat di keluarganya, hanya ia yang bisa memasak berbagai olahan ini dengan lancar. Saudaranya yang lain tidak begitu mahir, bahkan juga tidak tahu.
Hingga saat ini, beberapa resep bahkan ia tidak tahu cara mengolahnya. Meski beberapa kali mencoba, rasanya belum bisa mendekati rasa masakan orangtuanya dahulu. Tidak hanya itu, ia juga khawatir beberapa bumbu masakan yang begitu sulit diperoleh saat ini.
”Ada namanya daun kabula, itu selain penambah rasa asam, juga bisa menetralkan rasa ikan. Sekarang saya sudah tidak pernah lihat lagi,” ujarnya.
Meilati Batubara, penggagas ekspedisi Pusaka Rasa Nusantara, menuturkan, dirinya sebelumnya tidak memiliki gambaran utuh terkait makanan di wilayah Buton dan Sulawesi Tenggara pada umumnya. Namun, melihat langsung proses memasak dan mencicipi berbagai masakan di Tanah Wolio, hal itu membuatnya merasakan pengalaman berbeda.
Secara karakter rasa, masakan di wilayah ini lebih gurih dan kental dengan rasa asam. Gurih dari kelapa sangrai mendominasi beberapa makanan. Bumbu yang digunakan sederhana dan mudah ditemukan di daerah sekitar.
”Ini yang ingin kami sampaikan kepada publik, bahwa resep tradisional itu begitu kaya di Indonesia, termasuk di Baubau. Tidak hanya sekadar mendokumentasikan makanan, tapi kami juga ingin memotret keberagaman dan kekayaan hayati kita,” tuturnya.
Asumsi awal, ia melanjutkan, resep-resep tradisional di banyak wilayah itu terancam hilang karena tidak diwariskannya masakan tersebut kepada anak-cucu. Akan tetapi, situasi yang dihadapi jauh lebih kompleks karena berhadapan dengan kondisi alam, perubahan iklim, dan persoalan lainnya.
Oleh sebab itu, hal ini penting untuk menjadi perhatian bersama karena berdampak sangat luas. ”Hilangnya resep dan bumbu masakan berarti menghilangkan tradisi hingga kebudayaan kita yang begitu kaya,” ucapnya.