Sejumlah pelaku industri kopi mengadakan Festival Kopi Purbalingga untuk mengangkat pamor kopi dari daerah itu. Selama ini, pemasaran kopi Purbalingga masih terbatas di lingkup lokal.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Para pelaku industri kopi di Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menggelar Festival Kopi Purbalingga, Kamis (30/11/2023). Festival tersebut diselenggarakan untuk mengangkat dan mempromosikan kopi Purbalingga.
Festival Kopi Purbalingga digelar di Gedung Kong Kwan, Purbalingga. Festival yang hanya digelar sehari itu diikuti 19 pelaku industri kopi.
”Festival kali ini diisi dengan kegiatan lomba cup tester dan bazar dari para pelaku industri kopi. Lomba diikuti oleh barista dan juga para penikmat kopi,” kata Ketua Panitia Festival Kopi Purbalingga Deni Arif Kurniawan, Kamis sore.
Deni memaparkan, festival tersebut juga menjadi ajang silaturahmi, bertukar gagasan, menjalin kolaborasi, serta berbagi pengalaman antarpelaku industri kopi. ”Diharapkan juga ada regenerasi barista-barista dari Purbalingga,” ujarnya.
Menurut Deni, festival itu digelar atas prakarsa komunitas pelaku industri kopi yang tergabung dalam Ruang Kopi Purbalingga. ”Ada sekitar 50 anggota di dalamnya. Mulai dari para petani, pemroses, barista, juga pemilik kafe,” ujar pemilik Kafe Kopi Kempus di Purbalingga itu.
Dalam bazar kopi di festival tersebut, dijual sejumlah kopi asal Purbalingga, seperti kopi Jingkang, kopi Gunung Malang, kopi Gunung Slamet, dan kopi Gunung Kelir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Purbalingga, produktivitas kopi di kabupaten itu pada tahun 2020 mencapai 292,01 ton, pada 2021 sebanyak 291 ton, dan pada 2022 sebesar 204,56 ton.
Aditya Alifiah (29), barista di Liberion Coffe & Roastery, mengatakan, festival ini juga menjadi sarana promosi kopi asal Purbalingga. Dia menyebut, salah satu tantangan kopi Purbalingga adalah pemasarannya masih lokal atau di sekitar Purbalingga dan Banyumas.
”Lewat festival ini, tadi ada beberapa orang yang datang dari luar kota, seperti Pekalongan, dan sudah bertukar nomor,” kata Aditya yang sudah dua tahun bekerja sebagai barista.
Aditya menambahkan, salah satu kopi unggulan di kafenya adalah kopi Gunung Slamet. ”Kopi Gunung Slamet ini ada yang robusta dan arabika. Kalau robusta cenderung pahit, fruity-nya kurang, tapi agak ke kacang-kacangan. Kalau arabika ini agak asam dan juga fruity,” tuturnya.
Kusnoto (41), petani kopi dari Desa Jingkang, Kecamatan Karangjambu, Purbalingga, mengatakan, di desanya ada sekitar 21 hektar lahan yang dipakai untuk menanam kopi. Dari tiap hektar lahan itu, bisa dipanen 3-4 kuintal kopi per tahun.
Festival tersebut juga menjadi ajang silaturahmi, bertukar gagasan, menjalin kolaborasi, serta berbagi pengalaman antarpelaku industri kopi.
”Rata-rata petani di sana menanam kopi dan kapulaga. Kalau kopi ini pemasaran lebih mudah karena ada pembeli yang datang. Harganya juga sedang tinggi, Rp 50.000 per kilogram,” kata Kusnoto yang juga memiliki produk Lingga Kopi.
Kusnoto menambahkan, apabila kopi hasil panen di desanya tidak terserap pasar, warga setempat juga memiliki kebiasaan minum kopi. ”Rata-rata per keluarga bisa mengonsumsi kopi sampai 3 kilogram per bulan. Jadi, petani kopi tidak khawatir kopinya tidak laku,” ujarnya.