Kontras: Penyidikan Kasus Polisi Tembak Nelayan di Sultra Harus Independen
Kasus penembakan nelayan harus diselesaikan terbuka dan independen, menurut Kontras. Alasannya, dua nelayan meninggal dan ada dugaan pelanggaran HAM.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kasus penembakan nelayan oleh polisi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, didesak diselesaikan terbuka dan independen. Kasus ini telah menyebabkan dua orang meninggal dan diduga kuat disertai pelanggaran hak asasi manusia. Polisi kini menahan dua aparat yang diduga terlibat dalam kejadian itu.
”Proses hukum yang dilakukan tidak boleh terbatas hanya pada proses etik, tetapi juga secara pidana. Tidak terkecuali, atasan terduga pelaku yang ikut bertanggung jawab secara hukum,” kata Wakil Koordinator Bidang Eksternal di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy dihubungi dari Kendari, Senin (27/11/2023).
Tidak hanya itu, Rezaldy khawatir polisi tidak obyektif dalam proses penyidikan dan penyelidikan. Sebab, pelaku penembakan adalah anggota Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara.
Oleh sebab itu, ia mendesak ada tim independen yang dibentuk dalam proses hukum yang berjalan. Tujuannya, memastikan setiap langkah dan prosesnya tetap independen, terbuka, dan berdasarkan fakta.
”Kami juga meminta Komnas HAM mendalami kasus ini terkait adanya dugaan pelanggaran HAM. Kasus ini harus dibuka seterang-terangnya karena mengakibatkan korban jiwa dan muncul dugaan pelanggaran HAM,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menuturkan, pihaknya harus mengecek dahulu apakah kasus ini telah dilaporkan atau belum. Namun, secara umum, kasus ini harus ditangani terbuka dan memberikan keadilan terhadap korban.
Pada Jumat (24/11) dini hari, empat nelayan Desa Cempedak, Laonti, Konawe Selatan, ditembak aparat. Mereka adalah Maco (39), Putra (17), Ilham (17) alias Allu, dan Juswa alias Ucok (23). Masing-masing terkena satu tembakan di badan.
Maco meninggal setelah terkena tembakan di dada. Dia juga mengalami luka sayatan senjata tajam.
Dua hari berselang, Minggu (26/11), Putra yang menjalani perawatan hingga operasi pengangkatan proyektil meninggal di RS Bhayangkara Kendari. Jenazahnya dibawa pulang ke Pulau Cempedak untuk dimakamkan.
Sementara itu, Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sultra Komisaris Besar Mochammad Saleh menuturkan, hingga Senin siang pihaknya telah memeriksa sembilan saksi. Mereka adalah empat polisi, tiga warga, dan dua korban.
”Per hari ini, kami juga telah menahan Bripka R untuk diperiksa. Sebelumnya, Bripka A telah ditahan untuk pemeriksaan. Kasus ini kami akan proses cepat karena merupakan kasus yang menonjol,” katanya.
Terkait dengan prosedur menjalankan tugas, Saleh menambahkan, hal tersebut masih terus didalami dan diperiksa. Semua hal, mulai dari surat perintah, proses di lapangan, hingga terjadi penembakan, masih ditelusuri.
”Tidak ada yang kami tutupi, dan kami berkomitmen menyelesaikan kasus ini agar menjadi pembelajaran untuk semua. Jika terbukti melanggar, sanksi terberat adalah pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) untuk kasus etik,” katanya.
Direktur Polisi Perairan dan Udara Polda Sultra Kombes Faisal Florentinus Napitupulu menjelaskan, dua petugas yang diduga terlibat awalnya memeriksa informasi tentang pemboman ikan. Di sekitar Pulau Cempedak, mereka menemukan satu perahu berisi empat orang.
Menurut Faisal, saat Bripka A naik ke perahu tersebut terjadi perlawanan, baik menggunakan dayung maupun tangan kosong. Petugas lalu menembakkan senjata semiotomatis yang dibawa. Total ada tujuh tembakan.
”Dari perahu tersebut ditemukan sejumlah peralatan yang diduga digunakan untuk pencarian ikan secara ilegal,” katanya.
Sebelumnya, Herman Pambarako, perwakilan keluarga korban, pada Minggu malam mengungkapkan, kejadian ini menimbulkan banyak kejanggalan. Mulai dari kronologi kejadian hingga proses penyidikan yang berlangsung.
Alasannya, salah satu korban meninggal memiliki luka sabetan senjata tajam. Tidak hanya itu, dari informasi yang dihimpun, pelaku ada lebih kurang tiga orang.
”Karena itu, kami minta polisi transparan dan terbuka. Kami harapkan ada tim pencari fakta yang independen untuk mengungkap kasus ini,” katanya.