Tata Kelola Tambang, Kunci Masa Depan Bumi Serumpun Sebalai
Perlu tata kelola pertambangan yang baik demi masa depan yang lebih baik di Bumi Serumpun Sebalai.
Pertambangan timah telah berlangsung 300 tahun di Provinsi Bangka Belitung. Selama itu pula ”emas putih” itu memberikan berkah sekaligus bencana. Diperlukan tata kelola tambang yang baik supaya masa depan provinsi kepulauan yang mekar dari Sumatera Selatan per 21 November 2000.
Menjelang kumandang azan Dzuhur, Rabu (15/11/2023), ratusan pelajar sekolah menengah atas mengular ke arah masjid berkubah perak. Masjid di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka, Provinsi Bangka-Belitung persis di sebelah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Maranatha
Seusai shalat, mereka asyik berfoto ria di bagian dalam dan luar masjid. Arsitektur masjid itu memberi kesan khusus. Bentuknya terinspirasi dari tudung saji khas Bangka dan dihiasi timah di bagian puncak. Itulah Masjid Agung Kubah Timah yang dibangun 16 September 2022 dan diresmikan 10 November 2023.
”Setelah ratusan tahun pertambangan timah di Bangka dan Belitung, mungkin baru kali ini ada bangunan yang dibuat dari timah. Saya rasa masjid ini bukan sekadar rumah ibadah, melainkan monumen jejak kejayaan timah di Bangka Belitung,” ujar M Syamsir, guru agama SMK Negeri 1 Pangkal Pinang yang membawa rombongan pelajar tersebut. Ia berharap masjid ini menjadi pengingat penguasa bahwa timah seharusnya bisa bermanfaat langsung untuk masyarakat setempat.
Baca juga: Membalikkan Deindustrialisasi.
Wali Kota Pangkal Pinang periode 2018-2023 Maulan Aklil alias Molen mengatakan, pertambangan timah memiliki manfaat besar untuk masyarakat dari segala ras, suku, dan agama. Untuk itu, Masjid Kubah Timah diletakkan di seberang Alun-alun Taman Merdeka Pangkalpinang dan di sebelah GPIB Maranatha. ”Masjid Kubah Timah diharapkan bisa menjadi monumen kejayaan timah Bangka Belitung sekaligus destinasi wisata dan lambang toleransi yang mengakar kuat di sini,” katanya.
Timah dan Bangka Belitung memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sampai-sampai, ada anekdot yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa Bangka ataupun Belitung bukanlah ”pulau timah”, melainkan timah yang menjadi pulau.
Masih bergantung timah
Sejak ditemukan di era Kesultanan Palembang Darussalam medio 1710, timah Bangka Belitung menjadi primadona baru setelah era rempah. ”Emas putih” itu membuat Bangka ataupun Belitung yang notabene pulau kecil disinggahi oleh beragam macam perahu dari seluruh Asia dan Eropa. Sempat di suatu masa antara abad ke-18 dan ke-19, Bangka menjadi pemasok timah terbesar di Asia dan menjadi salah satu daerah terkaya.
Baca juga : Lima Cukong Tambang Timah Ilegal di Pulau Singkep Dibekuk
Hingga ratusan tahun kemudian, timah yang sering kali dianggap akan habis nyatanya masih bisa terus dieksplorasi. Bahkan, timah tetap menjadi penopang utama atau fundamental perekonomian Bangka Belitung. Sebagai gambaran, menurut data Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pangkal Pinang per Mei 2022, peran sektor timah pada penerimaan pajak Pangkal Pinang sebesar 40 persen dan memengaruhi 60 persen dari sektor lainnya dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan data PT Timah Tbk, sejak 2016 hingga 2021, sektor pertambangan dan pengolahan timah masih menjadi sektor dominan dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB) di Bangka Belitung, dengan kisaran 27-33 persen. Bagi warga, timah adalah jalan pintas untuk meraih pendapatan karena relatif mudah didapatkan dan harga jualnya terbilang masih tinggi.
”Dulu, dengan hanya bermodal sekop dan pelimbang (alat pemisah pasir dan bijih timah), anak-anak sekolah dasar saja bisa ikut melimbang dan mendapatkan hasil menjual timah paling kecil Rp 600.000 per hari,” tutur Maryadi, Direktur Badan Usaha Milik Desa Nibung Jaya Abadi yang mengelola tempat wisata bekas tambang timah di Danau Kaolin, Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah.
Baca juga: Hilirisasi Hasil Tambang Timah Masih Lemah
Sekarang ini, lanjutnya, modal yang diperlukan lebih besar. Modal itu untuk beli mesin penyedot air. Hasilnya pun tidak sebesar dulu, tetapi tetap menjanjikan.
Bencana mengancam
Akan tetapi, di balik hasil timah yang menjanjikan, ada potensi bencana yang mengancam di masa depan, khususnya di Pulau Bangka. Hal itu akibat tata kelola tambang yang tidak berjalan sesuai aturan. Direktur Babel Resources Institute Teddy Marbinanda mengatakan, sejak keran izin pertambangan rakyat dibuka setelah terbitnya Undang-Undang Nomor Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pertambangan timah semakin masif.
Pertambangan merambah wilayah-wilayah yang tidak seharusnya ditambang. Itu terjadi di kawasan konservasi Gunung Mangkol (Bangka Tengah) dan Bukit Menumbing (Bangka Barat). Pertambangan menjalar tidak hanya di darat, tetapi juga ke laut, termasuk di wilayah tangkapan nelayan. ”Aktivitas pertambangan itu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada pihak yang memberikan akses,” ujar Teddy.
Tata kelola tambang yang buruk menimbulkan lubang bekas tambang yang tersebar hampir di seluruh wilayah Bangka. ”Itu karena pertambangan yang masif tidak diiringi dengan tanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan program pascatambang,” ucap Teddy.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung Ahmad Subhan Hafiz mengatakan, lubang-lubang tambang itu menjadi bukti kerusakan lingkungan yang parah. Dengan luas Bangka Belitung yang terbatas, ruang hidup otomatis semakin sempit karena nyaris semua wilayahnya sudah dirambah pertambangan.
Tak pelak, konflik antarsatwa dan manusia semakin sering terjadi. Sumber air bersih juga semakin terbatas karena banyak yang tercemar oleh limbah tambang. Ikan-ikan laut kian sulit didapat karena lokasi tangkapan nelayan tercemar. Belum lagi, bencana banjir bandang dan angin putih beliung lebih sering terjadi karena hutan gundul oleh pembukaan lokasi tambang.
”Kalau kami tegas, hentikan semua aktivitas pertambangan dan kembalikan fungsi lahan-lahan yang rusak. Semua aktivitas pertambangan saat ini adalah bom waktu bencana ekologis yang akan menghancurkan peradaban Bangka Belitung di masa depan,” kata Hafiz.
Baca juga: Danau Kaolin, dari Bekas Tambang ke Destinasi Wisata
Teddy menuturkan, tata kelola tambang yang buruk menimbulkan praktik-praktik ilegal yang turut berdampak negatif terhadap PT Timah selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Contohnya, volume ekspor PT Timah justru lebih kecil dibandingkan perusahaan swasta (private smelter), dengan rincian 19.825 metrik ton/MT untuk PT Timah dan 54.255 MT (private smelter) pada 2022 dan 8.307 MT untuk PT Timah dan 23.570 MT (private smelter) pada semester I-2023.
Padahal, PT Timah adalah pemilik konsesi izin usaha pertambangan (IUP) terbesar yang mencapai 472.000 hektar meliputi Bangka, Belitung, dan Karimun di Kepulauan Riau. Sebaliknya, perusahaan swasta rata-rata memiliki IUP di bawah 10.000 hektar.
”Tata kelola yang buruk itu diduga bagian dari perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada 2015-2022 yang kini sedang diperiksa Kejaksaan Agung,” kata Teddy.
Kepala Bidang Komunikasi Perusahaan PT Timah Anggi Budiman Siahaan menyampaikan, pihaknya berkomitmen melaksanakan penambangan berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip pengelolaan lingkungan. Namun, penambangan timah di Bangka Belitung tidak hanya dilakukan PT Timah, tetapi juga oleh pihak lain, termasuk yang tidak berizin.
Aktivitas penambangan tak berizin yang kian masif menimbulkan dampak negatif di berbagai aspek, seperti terganggunya lingkungan dan potensi meningkatkan angka kecelakaan kerja. Itu akibat mereka cenderung mengabaikan konsep penambangan yang baik dan benar.
”Menelisik lebih dalam, PT Timah sebagai pemilik konsesi yang cukup luas di Bangka Belitung terus mengalami kendala hingga penurunan produksi. Faktanya, dari hasil total ekspor timah Indonesia, PT Timah hanya menyumbang 15-20 persen,” terang Anggi.
Teddy berpendapat, ada semboyan Sanskerta yang menyatakan bhumi anthar ghatas sustha bhavanias atau ”selama bumi berputar tambang tetap jaya”. Maksudnya, pertambangan bukan sesuatu yang haram kalau dilakukan dengan tata kelola yang baik dan benar.
”Harus kita akui bahwa Bangka Belitung masih sulit lepas dari pertambangan timah, tetapi tidak ada pertambangan yang tidak merusak. Makanya, yang mesti diperhatikan bagaimana memastikan pertambangan itu bisa betul-betul memberikan manfaat dan dampak kerusakannya bisa diminimalisasi,” tutur Teddy.
Baca juga: Aturan Turunan Pemanfaatan Pasir Laut Disiapkan
Mantan Staf Khusus Gubernur Bangka Belitung Bidang Pertambangan dan Lingkungan Hidup Elligustina Rebuin mengatakan, pertambangan timah telah mendarah daging di Bangka Belitung. Oleh karena itu, sulit kalau pertambangan dihentikan tiba-tiba, terlebih tanpa menyiapkan kegiatan usaha pascatambang. ”Sekarang, yang kita bisa lakukan adalah melindungi kawasan penting untuk masyarakat, seperti lokasi tangkapan nelayan yang belum terjamah sambil menggerakkan reklamasi dan program pascatambang,” ujarnya.
Pejabat Gubernur Bangka Belitung Safrizal Zakaria Ali menuturkan, butuh upaya percepatan untuk memperbaiki tata kelola pertambangan timah dan menyiapkan program pascatambang yang konkret. Sejatinya, Bangka Belitung memiliki potensi besar selain sektor pertambangan, yakni di bidang pariwisata, pertanian, dan perikanan.
Dengan begitu, jika suatu saat nanti timah habis, Bangka Belitung sudah siap untuk mandiri dari tambang. Setidaknya, dengan pariwisata bahari, Belitung mulai dikenal sebagai ”Negeri Laskar Pelangi”, bukan lagi ”Negeri Timah” yang masih lekat dengan Bangka.