Pascapenembakan, Warga Bangkal Belum Dilibatkan dalam Penyelesaian Konflik
Konflik di Bangkal, Kabupaten Seruyan bagaikan bom waktu selama pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang berkonflik dalam upaya penyelesaian.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, kian gerah dengan konflik berkepanjangan tanpa solusi. Mereka tidak dilibatkan dalam penyelesaian masalah, bahkan merasa dibayangi kriminalisasi setelah pemanggilan dari aparat.
Sebelumnya, warga Desa Bangkal berunjuk rasa 23 hari, menuntut kebun plasma ke salah satu perusahaan perkebunan sawit di desa tersebut. Lahan seluas 1.175 hektar yang berada di luar hak guna usaha (HGU) yang selama ini digarap perusahaan diminta dikembalikan ke masyarakat.
Konflik pun kian runcing ketika aparat keamanan mencoba membubarkan peserta unjuk rasa hingga akhirnya ricuh dan menimbulkan korban jiwa. Gijik (35), salah satu warga Bangkal, tewas ditembak, di mana sampai saat ini pelaku penembakan masih berkeliaran.
Pascapenembakan, warga tidak dilibatkan dalam penyelesaian masalah, khususnya persoalan kebun plasma. James Watt (50), warga Desa Bangkal, mengatakan, upaya mediasi hanya dilakukan antara pihak perusahaan dan perangkat desa, tanpa melibatkan warga.
Upaya itu pun belum ada titik temu. Perusahaan menawarkan luasan lahan yang lebih kecil meskipun warga tahu jika lahan 1.175 hektar itu berada di luar HGU dan perusahaan bertahun-tahun menggarap lahan tersebut.
Menurut James, hal itu merupakan pelanggaran yang seharusnya bisa diselesaikan lebih dahulu oleh aparat. Namun, dengan kejadian tewasnya Gijik, tuntutan warga berubah menjadi pencabutan izin perusahaan. Warga sudah gerah terhadap persoalan yang timbul sejak perusahaan masuk ke wilayah desa.
”Selama ini tawaran ke warga itu, kan, yang 443 hektar, itu kami sudah tolak. Sampai saat ini tidak pernah pemerintah melibatkan masyarakat yang menolak dalam upaya penyelesaian konflik ini,” kata James.
Respons pemerintah daerah yang mendesak perusahaan menyediakan kebun untuk masyarakat, menurut James, sudah terlambat lantaran korban sudah jatuh. ”Tuntutannya kalau yang 1.175 hektar itu tidak dikembalikan, ya, cabut saja izinnya,” kata James.
Hal serupa juga disampaikan Piter (59), keluarga Gijik. Menurut dia, konflik di desanya menjadi panjang dan meruncing lantaran pemerintah daerah dan perusahaan hanya mengajak bicara aparat desa tanpa melibatkan warga. Padahal, tuntutan ini datangnya dari warga, bukan dari pemerintah desa.
Selama ini, lanjut Piter, masyarakat Desa Bangkal mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah desa yang ia nilai tidak berpihak kepada tuntutan masyarakat. Ia berharap pemerintah daerah atau tingkatan aparatur negara yang lebih tinggi untuk bertemu langsung dengan warga tanpa perantara.
Di saat konflik dengan perusahaan belum selesai dan pelaku penembakan belum ditangkap, warga dibayangi dengan proses hukum. ”Kami hanya ingin keadilan untuk keluarga korban dan untuk warga desa,” katanya.
Bom waktu
Manajer Advokasi dan Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Janang P Firman mengungkapkan, warga butuh kepastian dari sikap dan dukungan pemerintah. Apalagi, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran saat berkunjung ke Bangkal berjanji menyelesaikan konflik itu dalam waktu satu minggu, tetapi sampai saat ini titik terang itu belum tiba.
”Masyarakat yang dari awal menolak dan menuntut kewajiban perusahaan malah tidak dilibatkan dalam upaya penyelesaian masalah. Hal ini bakal menjadi bom waktu, apalagi di sisi yang lain mereka dibayangi kriminalisasi,” ujar Janang.
Janang menjelaskan, sampai saat ini sudah 35 orang dipanggil aparat kepolisian untuk diperiksa dengan status sebagai saksi. Bukan mencari penembak Gijik, polisi justru memeriksa warga dengan pasal terkait gangguan keamanan, seperti penggunaan senjata tajam saat unjuk rasa, kerusuhan, dan mengganggu aparat yang sedang bertugas.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rizky Badjuri menjelaskan, pihaknya sedang menunggu Pemerintah Kabupaten Seruyan bersama perusahaan dan masyarakat untuk membentuk koperasi. Dari hasil mediasi dengan perusahaan, jumlah anggota koperasi itu mencapai 627 orang.
”Pembentukan koperasi itu masih dalam tahap penyesuaian di lapangan,” ujar Rizky.
Sebelumnya, Rizky menjelaskan, setelah melakukan kajian, lahan seluas 1.175 hektar yang berada di luar HGU itu bukan merupakan satu hamparan, melainkan terpisah. Lahan yang terpisah itu dibagi dengan status kawasan yang berbeda-beda. Terdapat 443 hektar kawasan yang sudah ditanami sawit perusahaan itu berada di lahan areal penggunaan lain (APL), sedangkan sisanya, 732 hektar, merupakan hutan produksi konversi (HPK) yang secara bertahap akan dijadikan kebun plasma untuk masyarakat melalui koperasi.
Rizky menambahkan, pihaknya akan mengusahakan lahan seluas 443 hektar itu untuk diberikan ke masyarakat dalam bentuk koperasi sehingga penerima manfaat adalah anggota koperasi.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi mengungkapkan, lahan seluas 443 hektar yang ditawarkan pemerintah tidak akan menjadi solusi untuk masyarakat karena itu bukan tuntutan ataupun tujuan dari warga.
”Ini justru jadi masalah baru. Lahan 443 ha itu nanti akan diberikan ke koperasi dalam bentuk uang untuk tiap anggota yang dari pengamatan kami tidak lebih dari Rp 300.000 per bulan,” kata Habibi.
Habibi menjelaskan, kebun plasma atau kebun sawit untuk masyarakat tidak bisa menggunakan skema koperasi atau ganti uang. Kebun itu harus dikembalikan ke masyarakat sehingga pengelolaannya diberikan ke masyarakat.
Kompas sudah berupaya menghubungi Kutut Wibowo dari Bagian Legal PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), perusahaan perkebunan sawit yang bermasalah dengan warga Desa Bangkal, tetapi tidak ada jawaban.
Pada Rabu sore, di sela-sela kegiatan Deklarasi Pemilu Damai Polda Kalteng bersama rekan media, Kompas juga meminta tanggapan Kepala Polda Kalteng Inspektur Jenderal Djoko Poerwanto terkait penyelesaian konflik di Bangkal. Namun, ia enggan berkomentar.