Menteri Kelautan dan Perikanan: Kuota Tangkapan demi Keberlanjutan
Kebijakan penangkapan terukur mulai 1 Januari 2024 diyakini dapat menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan nasional.
Penangkapan ikan berlebih atau overfishing menjadi salah satu tantangan utama pengelolaan wilayah kelautan di Tanah Air. Kekayaan hasil laut terancam semakin menyusut jika penangkapan ikan besar-besaran yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan tidak segera dikendalikan.
Pemerintah berencana menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota mulai awal 2024. Kebijakan ini ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan, mulai dari nelayan hingga pelaku industri perikanan.
Sejumlah nelayan menilai kebijakan dimaksud berpotensi merugikan mereka. Kebijakan yang terangkum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 itu dikhawatirkan semakin menyulitkan nelayan lokal bersaing dengan perusahaan ikan yang datang dari luar.
Selain itu, pemberian kuota tangkapan ikan juga berpotensi didominasi segelintir pemodal. Posisi nelayan kecil semakin terjepit. Kerawanan konflik dengan kapal-kapal industri besar pun kian terbuka.
Bagaimana upaya pemerintah menjaga keberlanjutan pengelolaan kelautan melalui kebijakan penangkapan berbasis kuota? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Jumat (20/10/2023).
Bagaimana kondisi penangkapan ikan di timur Indonesia?
Coba keluarkan command center. Ini semua live (sambil menampilkan layar yang menunjukkan kapal-kapal di perairan timur Indonesia). Bagaimana mau sehat kita? Bagaimana mau berkelanjutan? Ini dihadapkan pada satu sisi yang sifatnya harus menjaga lautan sehat dan berkelanjutan karena ini adalah kehidupan umat manusia. Tetapi, di sisi lain juga kehidupan masyarakat pesisir.
Kalau pesisir di timur, oke, yang mengerikan itu di pantai utara Jawa (pantura). Nelayan dari pantura melaut ke timur sehingga penangkapan kita tidak pernah efisien. Bayangkan dari Jawa isi bahan bakar, logistik, lalu pergi ke timur dalam dua sampai tiga minggu.
Lalu, menangkap ikan di sana, berputar-putar, kembali lagi. Sangat tidak efisien. Terus, bahan bakar yang dipakai adalah bahan bakar yang seharusnya menjadi haknya orang-orang yang ada di timur. Ini yang enggak pernah diteliti. Saya tahu persis kondisinya.
Apa yang dilakukan untuk mengatasi overfishing ?
Ini yang sedang menarik dibicarakan, penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota. Kalau mau lakukan benchmarking, seluruh dunia sudah melakukan ini.
PIT menerapkan kemerdekaan wilayah. Jadi, terjadi distribusi ekonomi, tidak lagi tersentralisasi di Jakarta atau Jawa karena dia bergerak, bergeser. Contohnya, kalau nelayan menangkap ikan di zona 3, dia harus stay di situ. Berangkat dari pelabuhan di zona 3 dan mendarat juga di sana. Dengan begitu, uang dan aktivitas ekonomi berputar di situ karena ada kebutuhan tenaga kerja, rumah, makan, apa pun. Itu tujuan dari PIT.
Bagaimana mekanisme penerapan PIT?
Sekarang sistem yang diterapkan itu praproduksi. Jadi, nelayan mendaftar, bayar, baru melaut mengambil sebebas-bebasnya. Dengan PIT, sistem itu diubah menjadi pascaproduksi. Nelayan tidak usah bayar di awal, tetapi melaut dulu. Ketika selesai, baru bayar sesuai hasil tangkapan.
Sekarang memang masih uji coba, 1 Januari 2024 baru akan kami terapkan. Jadi, saat ini belum berbasis kuota yang kami rilis. Nelayan dibebaskan untuk mengisi kuotanya sendiri. Setelah isi kuota sekian, kembali dari melaut dapat berapa, mereka harus bayar PNBP (pendapatan negara bukan pajak) sesuai hasil tangkapan. Tetapi, di depan harus bayar dulu 50 persennya. Ini mengajarkan untuk bertanggung jawab.
Ini juga dilakukan supaya data kita bisa benar. Sekarang ini, kan, kita hanya punya data dari BPS yang menurut saya akurasinya masih sekitar 40 persen. Kita tidak pernah tahu yang ditangkap oleh nelayan kecil selama ini berapa dan jenis apa. Sementara jenis ikan kita begitu banyak. Makanya, PIT berbasis kuota ini saya anggap sebagai dasar, versi satu, agar dalam kurun waktu tertentu, kita sudah bisa mendata berapa jumlah ikan sebenarnya.
Bagaimana Anda melihat respons nelayan?
Ada yang ketakutan kalau PIT kita jalankan. Mungkin karena belum paham karena aparat yang menjelaskannya belum clear.
Jadi, nelayan ada yang nakal. Misalnya, dia mengambil 20 ton, tetapi mengakunya dapat 2 ton. Modusnya ketahuan, mereka mematikan VMS ( vehicle monitoring system) saat menurunkan barang, setelah itu dihidupkan lagi. Padahal, dengan dipasangi VMS itu kami bisa tracking setiap kapal itu jalannya ke mana saja.
Nelayan merasa kebijakan pascaproduksi memberatkan karena harus membayar PNBP sekalipun hasil tangkapan merugi. Menurut Anda?
Sebenarnya gampang, dibalik saja. Dulu membayar di depan kenapa tidak pernah protes? Ada yang Rp 20 juta, Rp 100 juta, tergantung besaran kapal. Setelah itu, dia pulang bebas. Saya merasa ini tidak fair karena PNBP kita jelek banget, sementara pelabuhan rusak terus, tidak ada yang bisa dibangun.
Sekarang, nelayan waktu mau berangkat tidak bayar apa-apa. Kemudian, pulang melaut dapat berapa, ya wajar dong sejumlah itu dikalikan sekian persen, itu yang dibayar. Di situ nelayan bukan merasa rugi, tetapi untungnya berkurang karena sebelumnya bebas. Kalau membayar (jumlah ikan) hanya pada yang untung saja, namanya bukan PIT dong.
Bukankah itu semakin memberatkan nelayan yang hasil tangkapannya tak menentu?
Mereka (yang sudah membayar PNBP), kan, semua pengusaha. Nelayan aslinya itu ada di pinggiran dan miskin semua. Justru keprihatinan saya, jutaan nelayan ini yang harus kita pikirkan. Saya akan kasih tunjuk bagaimana menyejahterakan nelayan itu harus dengan intervensi pemerintah.
Ini contoh kampung nelayan Binyeri, Papua,yang sedang kami bangun. Nanti akan ada sentra kuliner, balai pelatihan, dermaga, dock kapal, cold storage, tandon air, pabrik es, kios sembako, IPAL, kantor koperasi. Ini model dengan intervensi Rp 21 miliar, syaratnya 80 persen penduduknya adalah nelayan.
Kenapa dibuat begini? Karena ekonomi dipicu produktivitas. Kami akan uji. Setelah semua infrastruktur dipenuhi, dampak produktivitasnya naik atau tidak. Kalau tidak naik, akan didiskusikan di balai pelatihan, apa yang terjadi. Kalaupun naik, bisa berapa kali lipat? Karena harapan saya peningkatan produktivitasnya bisa lima kali lipat.
Kebijakan PIT membuka keran bagi kapal asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia, benarkah?
Yang saya maksud kapal asing boleh, itu tetap owner-nya nelayan kita. Misalnya, nelayan dari pantura pindah ke timur, lalu butuh kapal asing yang mau dioperasikan. Karena kapal-kapal lokal yang dari kayu itu, kan, sudah tua, teknologinya sudah usang. Kalau mau beli kapal dari luar, ya boleh, yang penting owner-nya orang Indonesia.
Sejauh mana investasi asing dan pemberian kuota bagi perusahaan asing?
Investor asing itu kalau mau masuk hanya ke zona 1, 2, 3, sedangkan 4, 5, dan 6 tidak boleh. Sekarang (semuanya) saya utamakan untuk pelaku usaha Indonesia dulu. Tapi, pelaku usaha Indonesia (kerap) bilang, infrastrukturnya belum ada. Nah, ini cara berpikir. Kalau saya kasih ke asing, dia langsung mau ke sini. Tetapi, saya hold dulu karena nanti, kan, bisa ribut.
Selain PIT, adakah kebijakan lain yang Anda prioritaskan?
Ada lima kebijakan, melindungi laut dan sumber dayanya; penangkapan ikan secara terukur berbasis kuota; pengembangan perikanan budidaya di laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan; pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan pengendalian sampah plastik di laut.
Apa tujuan utama dari berbagai aturan itu?
Keberlanjutan. Ekosistem harus dibenahi. Kawasan konservasi tidak dirusak, tidak boleh disentuh, dan tidak boleh ada penangkapan apa pun di sana. Karena apa? Supaya populasi perikanan tetap terjaga dengan baik.
Ada hal-hal yang harus diperhatikan, seperti pemijahan, produksi oksigen, dan karbon. Ini harus dipertahankan. Namun, kemarin saya bertemu nelayan, mereka maunya tidak membayar apa pun, tapi bisa mengambil berapa saja. Jika itu dilakukan, liar, semua saling berantem.
Kalau itu dibiarkan, sumber daya perikanan kita akan habis, hancur semua. Tentu kita tidak mau seperti itu, makanya kita atur. Tujuannya supaya negara juga mendapatkan income untuk pembangunan.