PTUN Jayapura menolak gugatan masyarakat adat Awyu atas izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari. Putusan itu dinilai tak hormati prinsip hukum lingkungan dan hak masyarakat adat.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura menolak gugatan masyarakat adat Awyu atas izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Papua. Keluarnya izin dianggap mengabaikan prinsip hukum lingkungan dan hak masyarakat adat Awyu.
”Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia. Namun, saya tidak akan pernah mundur, saya akan terus maju karena itu yang tete-nene (kakek-nenek) leluhur wariskan. Hakim tidak melihat persoalan itu dan tidak memutuskan dengan seadil-adilnya,” kata Hendrikus Franky Woro, perwakilan masyarakat adat Awyu, atas putusan hakim PTUN Jayapura yang diterbitkan secara elektronik, Kamis (2/11/2023).
Selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus dan kuasa hukumnya menghadirkan 102 bukti surat, 6 orang saksi fakta, dan 3 orang saksi ahli. Mereka menggugat kejanggalan penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) serta pengabaian hak masyarakat adat.
Majelis hakim PTUN Jayapura yang dipimpin Merna Cinthia serta hakim anggota Yusup Klemen dan Donny Poja menolak gugatan yang telah diajukan sejak 13 Maret 2023 tersebut. Gugatan tersebut tentang kelayakan lingkungan hidup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit seluas 36.094 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.
Dalam putusan, majelis hakim menyebut tergugat telah menyertakan pengujian terhadap amdal oleh Tim Uji Kelayakan Lingkungan hidup, yakni Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua selaku Ketua Komisi Penilai Amdal (KPA). Hasilnya berupa surat rekomendasi Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua Nomor 660 Tahun 2021 tanggal 1 November 2021.
”Pengadilan tidak akan menguji lebih lanjut mengenai substansi dan prosedur dari rekomendasi kelayakan lingkungan hidup ataupun penilaian mengenai amdalnya karena bukan merupakan obyek sengketa yang diuji dalam perkara ini,” demikian disebutkan dalam putusan.
Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Selain itu, dalam putusan juga disebutkan, obyek sengketa terkait partisipasi bermakna masyarakat adat dianggap tidak relevan lagi. Hal itu karena telah terdapat surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel Nomor 30 Tahun 2018.
Kuasa hukum masyarakat adat Awyu, Tigor Hutapea, menilai, keputusan hakim keliru dan tidak memperhatikan prinsip hukum lingkungan dan hak masyarakat adat. Mengabaikan keterangan para saksi bahwa surat dukungan dari LMA Boven Digoel tidak merepresentasikan suara dari masyarakat adat Awyu. Apalagi, lembaga adat tersebut dinilai tidak memiliki kedudukan yang jelas dalam tatanan adat Awyu.
”LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” ujar Tigor.
Tim juga soroti keputusan hakim tidak mempertimbangkan potensi dampak lingkungan jika terjadi deforestasi. Sekar Banjaran Aji, kuasa hukum lainnya dari Greenpeace Indonesia, mengatakan, akan ada potensi emisi karbon yang lepas, setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030.
Sekar menyebut, majelis hakim mengabaikan fakta-fakta persidangan yang diajukan. ”Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup,” ujarnya.
Ketua Tim Penasihat Hukum PT Indo Asiana Lestari, William H Sinaga, mengajak semua pihak tunduk pada putusan PTUN. Terkait dengan kejanggalan amdal, kata William, seharusnya tidak perlu lagi dipermasalahkan. Dalam putusan, hakim telah menyatakan penerbitan izin tersebut telah melalui tahapan-tahapan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
”Secara garis besar, semua pihak telah diberi hak dan ruang untuk menempuh jalur hukum. Namun, pihak yang tidak puas bisa menempuh lagi jalur banding. Oleh karena itu, mari tunduk dan menghormati pada putusan yang dibuat,” ucapnya, Jumat, (3/11/2023).
Adapun Kepala Dinas Kehutanan Papua Jan Jap Ormuseray dan Kepala Dinas PMPTSP Papua Solaiyen Tabuni tidak memberikan respons saat coba dihubungi.
Selanjutnya, berdasarkan anggapan kejanggalan dan kekeliruan dalam putusan, para tim kuasa hukum akan mengajukan banding ke PTUN Makassar. Emanuel Gobay, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, juga berharap ada evaluasi hakim yang terlibat dalam putusan agar turut memperhatikan prinsip hukum lingkungan.