Racikan Berbahaya Merenggut Nyawa di Subang
Minuman keras oplosan yang dikonsumsi para korban mengandung bahan yang berbahaya jika dikonsumsi tubuh. Meskipun murah, kandungan berbahaya ini membuat para penikmatnya menantang maut.
Belasan orang di Kabupaten Subang, Jawa Barat, meregang nyawa setelah menenggak minuman keras oplosan di pengujung Oktober 2023. Hasrat untuk mabuk bersama dengan minuman murah ini ternyata diganjar dengan kematian yang meresahkan masyarakat.
Pasangan Deni (37) dan Wiwin (23) mengalami hari yang buruk di momen pernikahan mereka di Kampung Cipulus, Desa Sagalaherang Kaler, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Beberapa rekan Deni, mempelai pria yang berasal dari Kecamatan Jalancagak, Subang, menghadiri acara syukuran pernikahan mereka, Sabtu (28/10/2023).
Namun, saat teman-temannya tiba di rumah, Deni melihat gelagat mereka akan mengonsumsi minuman keras. Khawatir nanti berdampak keributan, dia pun meminta teman-temannya untuk mengonsumsi miras tersebut di tempat lain.
Baca juga: Miras Oplosan Tewaskan 13 Warga Subang, Diduga Campuran Alkohol Murni hingga Pewangi
Ternyata, peringatan itu menjadi komunikasi terakhir Deni kepada Dadang (22) dan Yusuf (26) yang turut dalam rombongan tersebut. Keesokan harinya, dua sahabat Deni ini tewas karena intoksikasi atau keracunan alkohol.
Berdasarkan data dari Kepolisian Resor Subang, jumlah korban tewas akibat keracunan alkohol di akhir pekan itu mencapai 13 orang. Mereka berasal dari berbagai lokasi dan sebagian besar dilarikan ke rumah sakit dalam rentang 28-30 Oktober 2023.
”Kira-kira pukul 13.00, datang rombongan sekitar 10 orang. Mungkin mereka ingin ikut merayakan pernikahan saya kecil-kecilan. Tapi, melihat mereka lagi minum (miras), saya minta mereka untuk minum di tempat lain. Soalnya tidak enak, ini di kampung istri,” ujar Deni saat ditemui di Cipulus, Selasa (31/10/2023).
Karena itu, dia bersikukuh kepada rombongan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) yang hadir di kediaman istrinya. Dengan wajah murung di bawah alam kelabu Selasa sore itu, dia menjelaskan kepada petugas terkait posisi rekan-rekannya ketika mengonsumsi miras sebelum beranjak pergi.
”Bukan kami yang menyediakan miras. Mereka membawa sendiri dan tiba-tiba datang. Saya lihat ada yang membawa minuman di dalam plastik dan biasanya itu minuman keras,” ujarnya.
Deni tidak menampik kebiasaannya minum miras bersama teman-temannya itu. Hampir setiap akhir pekan mereka berkumpul dan mengonsumsi minuman oplosan sambil bercengkerama bersama.
Mereka cukup merogoh kocek tidak sampai Rp 50,000 untuk mabuk-mabukan. Jumlah ini tentu jauh lebih murah daripada minuman beralkohol bermerek yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
”Mereka itu teman-teman nongkrong. Saya akui, saya sering ikut. Biasanya nyari oplosan karena murah. Tapi, melihat teman saya meninggal karena oplosan, terus langsung heboh seperti ini, saya kapok,” kata Deni murung.
Racikan berbahaya
Minuman beralkohol itu menjadi murah karena merupakan racikan dari bahan-bahan yang seharusnya tidak layak dikonsumsi. Mulai dari alkohol murni, minuman suplemen, hingga zat pewarna dan pewangi.
Kepala Subbidang Toksikologi Lingkungan Puslabfor Polri Komisaris Faizal Rachmad menyatakan, pihaknya telah mengantongi sejumlah alat bukti, mulai dari tempat kejadian perkara (TKP) hingga sampel cairan tubuh para korban. Di tempat kejadian, para petugas memang menemukan bungkusan suplemen minuman dan botol alkohol yang diduga untuk meracik minuman oplosan itu.
Bukan kami yang menyediakan miras. Mereka membawa sendiri dan tiba-tiba datang. Saya lihat ada yang membawa minuman di dalam plastik dan biasanya itu minuman keras.
”Sampel-sampel tersebut akan diteliti di Puslabfor untuk memastikan bahan berbahaya seperti apa yang menyebabkan kematian korban. Kami sudah mengumpulkan sampel darah, urine, dan cairan lambung para korban. Di TKP, kami juga menemukan sisa-sisa cairan yang diduga alkohol dan bahan berbahaya,” ujarnya.
TKP penjualan miras oplosan yang berada di Jalan Raya Cagak-Subang juga porak-poranda karena diamuk massa setelah korban berjatuhan. Para korban yang meninggal dan keracunan alkohol ini disinyalir membeli minuman yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Kepolisian Sektor Jalancagak Polres Subang tersebut.
Amuk massa mulai terlihat pada Minggu (29/10/2023) malam. Asep (39) yang saat itu hanya berjarak sekitar 20 meter dari tempat kejadian, melihat massa mulai berkerumun sekitar pukul 23.00. Lautan manusia yang berjalan dari arah selatan membuat dia waswas karena warung makannya tepat di seberang toko miras tersebut.
”Waktu saya mau tutup warung, tiba-tiba dari arah polsek ada rombongan orang. Ratusan lebih sepertinya, sampai-sampai jalanan macet. Semua pada teriak, rusuh,” ujarnya.
Menurut Asep, kekhawatiran itu seperti puncak dari kekesalan warga. Selama berjualan lebih dari tiga tahun di sana, dia melihat warung yang dikelola oleh NN dan R yang kini menjadi tersangka. Keduanya ditangkap polisi di Kampung Tanjungsari, Kecamatan Jalancagak, pada Senin pukul 14.00.
”Yang ikut beli minuman di sana banyak. Tua-muda ada di sana. Warungnya buka sampai pagi. Dulu sempat digeruduk warga, tapi berjualan lagi,” kata Asep.
Kepala Polres Subang Ajun Komisaris Besar Ariek Indra Sentanu menyatakan, kedua pelaku dijerat Pasal 204 Kitab Hukum Undang-undang Hukum Pidana juncto Pasal 140 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juncto Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku terancam pidana penjara maksimal 15 tahun.
Petugas juga telah menyita sejumlah barang bukti, antara lain 3 jeriken minuman keras jenis ciu dan 14 dus yang masing-masing berisi 12 botol kosong. Selain itu, satu plastik berisi bahan kimia sodium, dua botol berisi minuman berwarna kuning, dan satu kantong plastik berisi segel botol juga ditemukan di sana.
Kemiskinan
Sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Ari Ganjar Herdiansah, berpendapat, para konsumen miras oplosan kerap ditemui berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mereka ingin mabuk-mabukan dengan sensasi tinggi, tetapi dengan uang yang pas-pasan sehingga beralih mencari harga yang lebih murah.
”Warga yang mengonsumsi miras oplosan biasanya berasal dari kalangan menengah bawah di daerah rural. Mereka tidak teredukasi dengan baik tentang bahaya miras oplosan dan kontrol sosialnya lemah. Apalagi, mabuk-mabukan itu membuat kecanduan, sementara miras yang terjangkau di pasaran tidak memenuhi dosisnya,” papar Ari.
Baca juga: Metanol, Bahan Campuran Miras Oplosan yang Mematikan
Konsumsi miras oplosan ini juga berpotensi pada gangguan ketertiban karena biasanya dikonsumsi secara berkelompok. Menurut Ari, aktivitas minum bersama itu dilakukan untuk mempererat solidaritas, ikatan sosial, dan mengurangi biaya karena patungan.
”Adanya aktivitas sosial di sana penting bagi mereka. Ada juga alasan ekonomi karena mereka patungan untuk mendapatkan miras oplosan tersebut,” ujar Ari.
Karena itu, lanjut Ari, seluruh pihak perlu melakukan kontrol sosial untuk mengurangi potensi warga yang mengonsumsi miras oplosan. Dia juga berharap aparat kewilayahan memperketat pengawasan dan mengidentifikasi warga yang kerap mengonsumsi minuman keras. Semua itu dilakukan untuk menciptakan ketertiban lingkungan.
Jika tidak, ada banyak warga yang dirugikan karena menikmati cairan yang tidak layak untuk dikonsumsi itu. Jangan sampai hanya karena ingin mabuk-mabukan sesaat tapi berujung pada meregang nyawa selamanya.