Sembilan tahun menjadi warisan budaya tak benda, ulos bangkit sebagai wastra Nusantara berkualitas tinggi. Anak-anak muda muncul sebagai petenun. Pembelinya tak hanya untuk adat, tetapi industri mode hingga sosialita.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Setelah sembilan tahun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, ulos sebagai kain bernilai tinggi terus bangkit. Ekosistem produksi kain tradisional Batak ini berkembang, mulai dari petenun, pedagang, kolektor, hingga industri mode. Anak-anak muda mulai muncul sebagai petenun. Pembelinya tidak hanya untuk acara adat, tetapi juga industri mode, kolektor, hingga sosialita.
”Ulos itu sekarang sudah ada di hati masyarakat luas Indonesia, bukan hanya di hati orang Batak saja. Pasarnya terus berkembang dan semakin banyak petenun yang muncul,” kata perancang mode Torang Sitorus, Jumat (20/10/2023).
Ulos semakin menggeliat setelah semakin populer di pasar industri mode sebagai kain bernilai tinggi dalam beberapa tahun ini. Kain ulos dengan cepat diterima di Jakarta yang merupakan kiblat fashion Indonesia. Pasar yang membaik akhirnya menghidupkan kembali ekosistem kain ulos tenun yang sempat redup.
Kebangkitan pasar kain ulos ini antara lain terlihat di pameran The Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) di Jakarta Convention Center (JCC), awal Oktober lalu. Puluhan stan penjual ulos cukup diminati di pameran itu. ”Dulunya pasar kain tradisional di Inacraft itu hanya didominasi batik, kain tenun Nusa Tenggara Timur, dan tenun Palembang. Sekarang sudah puluhan penjual ulos di Inacraft dan sangat diminati pengunjung,” kata Torang.
Di Sarinah Jakarta, ulos juga cukup populer sebagai salah satu wastra Nusantara. Ulos yang paling diminati adalah ulos berkualitas tinggi yang diproduksi dengan cara ditenun secara manual, menggunakan pewarna alami, benang berkualitas, dan motif asli. Di Medan, kain ulos juga terus berkembang dan banyak galeri ulos yang bermunculan.
Menurut Torang, pasar utama kain ulos berkualitas tinggi adalah sosialita, kolektor kain, serta pengantin dan keluarganya di acara pernikahan masyarakat Batak. Ulos juga kian diminati di industri mode dalam negeri maupun luar negeri.
Meningkatnya pasar kain ulos tenun ini menggairahkan kembali para petenun. Semakin banyak petenun muda yang muncul khususnya di daerah Tarutung dan Muara (Kabupaten Tapanuli Utara) serta di Silaen (Toba). ”Setiap bulan saya menggelontorkan Rp 300 juta untuk membeli kain ulos dari petenun, naik tiga kali lipat dibanding beberapa tahun lalu,” kata Torang.
Sejak dulu, daerah itu merupakan pusat tenun ulos, tetapi sempat meredup karena hanya menyasar pemakai untuk keperluan adat masyarakat Batak saja. Kualitas ulos tenun juga terus menurun karena harus bersaing harga dengan ulos mesin sablon yang jauh lebih murah.
Para petenun akhirnya membagi dua bahan ulos tenun agar pengerjaannya lebih cepat. Setelah selesai ditenun baru disambung dengan cara dijahit. Motif ulos juga dibuat lebih sederhana dengan benang dan pewarna kualitas seadanya.
Tenun ulos kembali bangkit setelah kualitasnya diperbaiki dan masuk ke industri mode dan kolektor kain. Para petenun kembali lagi membuat ulos dalam satu lembar kain utuh. Mereka menggunakan benang katun berkualitas. Beberapa mulai menggunakan pewarna alami, sebagaimana kain ulos tradisional diwarnai.
Torang juga terus mengampanyekan partonun artisan yang memosisikan petenun sebagai artis. Nama mereka disematkan di setiap karya ulosnya. Dalam karya busana, nama petenun dan perancang busana juga ditempatkan dalam posisi sejajar. ”Menghargai petenun ulos adalah menjaga keberlanjutan ulos itu sendiri,” kata Torang.
Irawati Simorangkir (34), petenun ulos di Tarutung, mengatakan, para petenun semakin semangat dengan semakin dihargainya kain ulos. Saat menenun ulos kualitas seadanya, ulos hanya dihargai sekitar Rp 700.000 per lembar. ”Dengan menenun ulos berkualitas tinggi, saya bisa menjual ulos Rp 5 juta sampai Rp 7 juta per lembar yang bisa saya selesaikan dalam satu bulan,” kata Irawati.
Melihat pendapatan yang lumayan, semakin banyak anak muda yang belajar menenun ulos. Mereka juga menghidupkan kembali motif-motif ulos yang sudah lama terpendam. Para perancang mode dan toko ulos di Jakarta memesan ulos secara langsung kepada mereka.
Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas Huria Kristen Batak Protestan Nommensen Manguji Nababan mengatakan, peningkatan penggunaan ulos di berbagai ruang publik terjadi setelah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional pada 2014.
Diskusi, seminar, dan kajian akademik tentang ulos dalam aspek sejarah, filosofi dan proses pembuatannya terus dilakukan,” kata Manguji.
Hal yang patut disyukuri, kata Manguji, kain ulos berkualitas tinggi juga merambah ke industri mode sehingga menghidupkan kembali ekosistem produksi ulos mulai dari petenun, pedagang, hingga perancang mode.
Menghargai petenun ulos adalah menjaga keberlanjutan ulos itu sendiri.
Manguji mengingatkan, warisan budaya terbesar dari ulos adalah ketakbendaan yang meliputinya terutama daya cipta dan karsa para petenun ulos. Konsep dan gagasan seni para petenun ulos ini menciptakan motif dan corak yang menghasilkan ragam dan makna ulos. Beberapa motif ulos, yakni ulos antak-antak, bintang maratur, bolean, mangiring, pinunsaan, sibolang, ragi ambasang, ragi hotang, ragi pakko, tumtuman, tuturtutur, surisuri, hingga simarinjam.
Salah satu motif populer adalah ulos tumtuman berwarna putih, hitam, dan merah yang menawan. Jenis ini banyak digunakan untuk pakaian pengantin dan peragaan busana.
Dalam pemakaian sehari-hari, ulos sebagai pakaian disebut abit, ulos yang diselempangkan adalah sampe-sampe, ulos yang dililitkan di kepala disebut tali-tali, kain gendong disebut parompa. Ada lebih dari 170 nama jenis ulos Batak dengan nama turunan sekitar 750. Namun, banyak motif ulos yang kini telah terpendam karena tidak ditenun lagi.
”Ulos menyimpan narasi kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan dan menjadi bagian yang menyatu pada diri orang Batak sejak di kandungan sampai meninggal. Ulos sarat nilai spritual, kultural dan estetik,” kata Manguji.
Menghidupkan ekosistem ulos berkualitas, kata Manguji, akan menyelamatkan kekayaan budaya dari masifnya ulos yang diproduksi oleh mesin sablon. Ulos jenis ini kurang berkualitas, minus makna, estetika, dan filosofi. Namun, ulos sablon yang kini paling banyak digunakan dalam acara adat karena harganya jauh lebih murah.
Para pegiat budaya Batak pun merayakan Hari Ulos pada 17 Oktober dengan mengunjungi delapan kabupaten/kota di kawasan Danau Toba dalam acara Parade Ulos. Pemerintah diharapkan menetapkan secara resmi 17 Oktober sebagai Hari Ulos Nasional yang bertepatan dengan ditetapkannya ulos sebagai warisan budaya nasional.
Sudah sembilan tahun ulos ditetapkan menjadi warisan budaya nasional. Ulos sebagai kekayaan wastra Nusantara kian dicintai, dari sosialita hingga industri mode.