Jagung, Sagu, dan Ubi yang Mengarungi Samudra
Pelaut Wakatobi dan Buton dikenal ulung mengarungi samudra selama bergenerasi. Tradisi bahari ini ditopang pangan lokal mereka, yaitu ubi, jagung, dan sagu yang bisa awet dibawa melaut.
Di siang yang terik di Desa Mantigola, Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Azis (38), mempersiapkan perahu miliknya. Dalam beberapa jam, ia akan segera melaut mencari ikan. Akhir Agustus, angin timur masih bertiup cukup kencang.
Azis tak mengingat persis lagi sejak kapan ia ikut melaut. Sebab, serupa anak-anak suku Bajo lain, mereka telah ikut melaut ketika masih sangat dini. Mulai dari berenang, mendayung sampan, hingga memanah ikan adalah keahlian dasar yang wajib dimiliki setiap anak.
Satu yang ia ingat, saat melaut bersama orangtua, ia selalu turut kebagian mempersiapkan berbagai bahan makanan. Saat melaut, mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan. Sagu, jagung, dan ubi adalah bahan yang wajib dibawa.
Olahan ubi adalah makanan awal. Soami atau disebut juga kasoami oleh orang di daratan Buton merupakan olahan ubi yang diparut lalu diperas. Hasil perasan dikukus dengan cetakan berbentuk tumpeng kecil. Hanya saja, kasoami yang dibawa dalam berlayar dibuat lebih beda.
Kemampuan bertahan di lautan selama berbulan-bulan didukung oleh bahan makanan yang juga bisa bertahan lama dalam berbagai bentuk.
Olahan yang sudah dikukus dipukul sampai keras. Setelah itu, kasoami diletakkan dalam wadah khusus untuk dibawa dalam pelayaran. Karena proses tersebut, makanan ini kerap disebut kasoami pepe atau kasoami yang dipukul.
Setelah olahan singkong atau ubi ludes, ia dan keluarga beralih ke sagu. Bahan ini biasanya diolah menjadi bubur yang disebut ledo. Olahan ini sangat sederhana karena hanya membutuhkan rebusan air, lalu saat mendidih sagu dimasukkan. Tentunya, sebagai lauk adalah ikan yang melimpah dari hasil tangkapan. Sering kali, sagu juga dibuat kapuru, dengan mamakai santan dan ikan yang dicampur dalam satu kuali.
Sementara itu, jagung merupakan bawaan wajib. Jagung tua dimasak lalu digiling menjadi halus. ”Kami bawa gilingan di perahu kalau sudah berencana tinggal lama di karang,” terang Azis.
Bahan pangan ini tentu tidak ditanam oleh orang Bajo. Sebab, mereka menetap di atas karang yang tidak ada lahan untuk bercocok tanam. Mereka membeli dari masyarakat sekitar di Kaledupa atau menukarnya dengan hasil laut.
Jagung dan ubi bisa ditemukan dengan mudah di wilayah Pulau Kaledupa, pulau lain di Wakatobi, bahkan juga di daerah lain. Untuk sagu, di wilayah Wakatobi, hanya ada di Pulau Kaledupa.
”Tapi sekarang sudah jarang yang bawa lengkap begitu. Karena sudah makan beras semua,” katanya.
Baca juga: Candu Beras dan Mi Instan di Kepulauan
La Nuru Dego (65), pelaut senior di Wangi-Wangi, juga masih mengingat jelas makanan yang ia bawa saat mulai melaut. Terlebih lagi, saat pertama ikut berlayar, pada 1971, kapal yang harusnya ke Maluku, terdampak di wilayah Papua Niugini akibat dihantam badai.
”Saat itu yang selamatkan kita itu jagung. Karena makanan lain sudah habis. Kalau soami (makanan dari singkong) itu paling lama seminggu. Kalau jagung bisa bertahan lama,” katanya.
Dalam berlayar, setiap awak kapal diwajibkan membawa jagung. Satu orang rerata membawa lima kaleng jagung, dengan total sekitar 100 liter. Bahan makanan itu yang diolah selama pelayaran. Olahan yang paling sering disebut jepe. Jagung tua digiling sampai halus. Setelahnya, dicampur air panas dan garam.
Jagung dan ubi terus menemaninya selama bertahun-tahun pelayaran. Hingga medio 1990-an, orang semakin akrab dengan beras. Peran jagung dan ubi perlahan tergantikan. Terlebih lagi, akses mendapatkan beras semakin mudah.
Penopang tradisi bahari
Pangan lokal adalah sesuatu yang melekat dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali pelaut. Tradisi pelaut di wilayah Wakatobi, Buton, dan wilayah lainnya telah lama dilakoni. Sebab, mereka mangarungi lautan dan membutuhkan cadangan makanan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
Imran Kudus, budayawan muda Buton, mengungkapkan, di wilayah Kesultanan Buton, para pelaut dan nelayan memiiki beragam pangan saat mengarungi lautan. Namun, beberapa yang karib bagi mereka adalah jagung dan ubi.
”Bekal pelaut itu membawa kahole, yaitu jagung tua yang disangrai kemudian digiling dengan penggilingan batu sehingga menjadi bubuk. Itu diolah dengan disiram air panas atau dicampur gula aren. Itu bisa berbulan-bulan tidak akan rusak,” kata Imran.
Baca juga: Kenyang dan Nikmat Tanpa Beras dari Kaki Ile Boleng
Selain itu, juga ada kasoami pepe, olahan ubi atau singkong. Olahan ini bisa bertahan selama sekitar seminggu. Berbagai pangan ini dimakan dengan ikan asin maupun ikan asap. Juga tentunya cocok disantap dengan berbagai ikan yang bisa ditangkap saat berada di lautan.
Hubungan antara masyarakat pesisir dan daratan pun menjadi lebih kuat. Sebab, bahan makanan diambil dari petani dan lauk berupa ikan didapatkan dari nelayan. Keduanya saling membutuhkan dan bergantung satu sama lain.
Dalam buku Nilai Budaya Bahari Sabangka Asarope, Tradisi Pelayaran Orang Buton disebutkan, selain ubi kayu, jenis makanan pokok lain adalah jagung. Jagung biasanya tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk di daratan berkarang.
Jagung muda dapat langsung dimasak dan dimakan. Sementara, jagung tua diolah dengan digiling atau ditumbuk, sebelum dimasak dan siap dimakan. Jagung tua ini biasanya dibawa oleh para pelayar sebagai bekal dalam pelayaran.
Untuk mengolah jagung di atas perahu, para awak membawa alat pengolahannya berupa gilingan (kagili) selama berlayar. Karena pentingnya alat pengolahan ini, ia termasuk dalam kelompok alat hidupnya perahu (dhadhino bangka), yang pada saat pembagian hasil mendapatkan bagian tersendiri bersama alat hidup perahu lainnya seperti tawatawa dan kolikoli.
Tasrifin Tahara, salah seorang penulis buku tersebut, menuturkan, jagung, ubi, dan pangan lokal lainnya adalah penopang utama tradisi maritim masyarakat Buton secara umum. Kekuatan melaut orang Buton hingga ke negeri seberang sulit tercapai tanpa dukungan pangan lokal.
”Saya kira kemampuan orang Buton berlayar sampai ke banyak pulau dan benua, ditopang oleh berbagai pangan lokal ini. Kemampuan bertahan di lautan selama berbulan-bulan didukung oleh bahan makanan yang juga bisa bertahan lama dalam berbagai bentuk,” kata Tasrifin yang juga antropolog dari Universitas Hasanuddin.
Baca juga: Darurat Kemandirian Pangan di Kepulauan
Olahan ubi, jagung, atau sagu sekaligus penanda bertemunya masyarakat agraris dan maritim. Sebab, makanan dari kebun, menjadi syarat wajib dalam melaut masa lalu. Secara kandungan juga bahan-bahan ini sangat cocok dibawa untuk berlayar hingga berbulan-bulan.
Wilayah Buton, ia melanjutkan, merupakan daerah dengan kontur tanah dari karang dan minim curah hujan. Tanah jenis ini sebagian besar cocok ditanami tanaman, seperti jagung dan ubi. Masyarakat pun telah erat kaitannya dengan berbagai pangan lokal, yang diolah dalam berbagai jenis makanan.
Meski demikian, masifnya beras membuat pangan lokal terpinggirkan. Tradisi maritim juga berubah dengan mengandalkan beras dalam pelayaran. Padahal, secara kesehatan dan ekonomi, jagung, ubi, hingga sagu lebih cocok bagi pelaut dan nelayan dalam mengarungi perairan.