Berdaya ala Tani Mulus, Produksi Beras Premium hingga Bangun Kios Pupuk
Koperasi Tani Mulus di Indramayu, Jawa Barat, bertahan di tengah gelombang yang menekan sektor pertanian pangan. Mereka mengembangkan usaha lain sembari tetap menjaga ketahanan pangan.
Kegiatan Koperasi Tani Mulus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tidak hanya bertani. Dengan anggota ribuan orang, koperasi ini mengembangkan usaha ternak kambing hingga kios pupuk. Berbagai inovasi itu membantu petani di tengah kehidupan mereka yang tak selalu mulus.
Siang itu, Rabu (4/10/2023), Wanda (45) sibuk merenovasi kandang di halaman belakang Koperasi Tani Mulus, Desa Mundakjaya, Kecamatan Cikedung. Bangunan berbahan batu dan kayu itu jadi rumah bagi lebih kurang 20 kambing. Sebanyak 15 ekor di antaranya adalah miliknya.
Delapan tahun lalu, petani penggarap ini belum terpikir mempunyai belasan ekor kambing. Kala itu, kesehariannya hanya mengecek padi di sawah hingga mencari modal untuk beli pupuk dan pestisida. Namun, harapan datang saat Koperasi Tani Mulus mengembangkan peternakan.
Sekitar tahun 2015, Tani Mulus menggemukkan seekor sapi pemberian Universitas Padjadjaran Bandung. ”Saya yang urus. Dari situ, lahir dua ekor sapi. Yang satu buat kelompok, satunya buat saya. Anak sapi itu saya jual Rp 5 juta. Hasilnya, dibelikan 5 ekor kambing,” ucap Wanda.
Ia pun terus mengembangbiakkan kambingnya. Dalam setahun, ia bisa mendapatkan dua anak kambing. Ternak itu menjadi tabungannya yang bisa digunakan saat dibutuhkan.
”Sudah banyak yang dijual buat jajan, beli bensin, pupuk, dan sekolah anak. Sekarang, tinggal 15 ekor,” katanya.
Beternak kambing, termasuk fasilitas kandangnya, hanya salah satu keuntungan yang Wanda dapatkan sebagai anggota Koperasi Tani Mulus. Bapak tiga anak dan kakek satu cucu ini juga bisa meminjam dana tanpa bunga dalam bentuk pupuk atau pestisida melalui kios koperasi.
”Jadi, kalau enggak ada uang, saya bisa ambil pupuk atau obat-obatan di kios. Nanti, bayarnya separuh kalau ada uang atau kalau panen,” ujar Wanda. Warga menyebut skema ini yarnen atau bayar setelah panen.
Baca juga: Asuransi dan Kincir Air Jadi Amunisi Petani Hadapi Perubahan Iklim
”Paling banyak, di kios harus bayar langsung. Padahal, petani sudah enggak punya uang, sedangkan sawah juga harus dikasih garam (pupuk). Akhirnya, terlambat atau enggak mupuk sama sekali,” ucap Wanda. Kondisi ini bisa berdampak pada menurunnya produksi padi petani.
”Untungnya, kalau di sini (Kios Tani Mulus), belinya (harganya) segitu, balikinnya juga begitu,” ucap Wanda yang menggarap sawah hampir 1,4 hektar. Ia tidak lagi khawatir kesulitan membeli pupuk dan lainnya. Ia bahkan bisa meraup sekitar 10 ton gabah kering panen.
Muhaemin, Ketua Koperasi Tani Mulus, mengatakan, pengembangan peternakan serta kios pertanian adalah diversifikasi usaha untuk meningkatkan pendapatan petani. Dengan beternak, misalnya, petani punya penghasilan tambahan sedikitnya Rp 1 juta untuk seekor kambing.
Peternakan juga menjadi upaya membangun pertanian terintegrasi. Rumput dan jerami di sawah, misalnya, bisa menjadi pakan ternak. Dengan begitu, petani tidak lagi sibuk menyemprot pestisida di rumput pematang. Selain butuh ongkos, hal itu juga berdampak pada lingkungan.
Sebaliknya, kotoran dari ternak bisa menjadi bahan pupuk kompos untuk menyuburkan sawah petani. Namun, sejauh ini, petani belum menggunakan pupuk organik itu. ”Petani masih mengejar kuantitas, belum kualitas. Tapi, kami mengarah ke sana. Ini baru permulaan,” katanya.
Muhaemin juga menyiapkan pupuk organik di kios. Toko sarana pertanian yang berdiri tahun 2019 itu diharapkan membuat petani fokus bertani tanpa dipusingkan masalah pupuk. Itu sebabnya, pihaknya menerapkan skema yarnen tanpa bunga dan tempo pembayarannya lebih longgar.
”Ada yang belum bayar berbulan-bulan. Padahal, sudah panen,” ucapnya tersenyum.
Nota-nota pinjaman pupuk dan pestisida itu tergantung di dekat meja kasir. Dalam aplikasi pencatatan utang di tabletnya, pinjaman petani di musim tanam gadu atau kedua tercatat Rp 101.158.500.
”Musim rendeng (tanam pertama) awal tahun ini, utangnya Rp 217 juta. Ini lebih banyak karena jarak musim gadu ke rendeng lama,” ucapnya. Menurut Muhaemin, pinjaman itu tidak membuat kiosnya bangkrut. Bahkan, tahun ini pihaknya membuka dua kios di Subang, Jawa Barat.
Kios itu merupakan kerja sama dengan mitra lainnya. Menurut dia, pemilihan lokasi di Subang karena daerah itu sentra pertanian dan waktu tanamnya berbeda dengan Indramayu. Kios itu juga tidak menerapkan skema yarnen sehingga perputaran uangnya tidak terhambat dengan utang.
Tidak gratis
Muhaemin mengakui, pengembangan peternakan serta kios pertanian Koperasi Tani Mulus itu tidak terlepas dari dukungan sejumlah instansi, seperti Bank Indonesia, PT Telkom, serta sejumlah kampus. Bangunan kios hingga kandang, misalnya, merupakan bantuan dari BI.
”Tapi, ini semua tidak gratis. Bantuan itu karena kami juara BI Championship Kluster Pangan 2020. Semuanya karena perjuangan berat kami,” ucap Muhaemin.
Tahun lalu, Tani Mulus juga meraih BI Award karena dinilai turut serta dalam upaya pengendalian inflasi.
Dengan anggota mencapai 2.742 petani dengan area tanam hingga 10.000 hektar yang tersebar di Kecamatan Cikedung, Lelea, dan Terisi, Koperasi Tani Mulus juga mampu memproduksi beras premium. Pihaknya membeli gabah petani dengan harga pembelian pemerintah, bahkan lebih.
Baca juga: Petambak dan Petani Indramayu Rugi Lebih dari Seratus Miliar
Upaya itu untuk mencegah harga gabah anjlok, terutama saat panen raya. Gabah itu lalu digiling di pabrik milik mitra karena koperasi belum punya mesin penggilingan yang memadai. Hasilnya, beras premium, beras merah, dan hitam berkadar gula lebih rendah. Mereknya ”Tani Mulus”.
”Indramayu ini lumbung pangan nasional. Tapi, sangat jarang brand (merek) beras Indramayu yang muncul. Yang ada merek luar, tapi berasnya dari sini,” ujarnya. Meski demikian, Muhaemin mengakui, koperasi belum optimal memproduksi beras karena terkendala sejumlah faktor.
Pertama, koperasi terbatas modal karena pembayaran dari pelanggan harus menunggu seminggu bahkan 21 hari. Padahal, petani membutuhkan uang segera setelah menjual gabahnya. Kedua, pihaknya juga belum punya pabrik penggilingan yang bisa mengurangi beban operasional.
Ketiga, harga gabah di tingkat petani yang terus meningkat. Apalagi, saat sejumlah daerah dilanda kekeringan seperti saat ini. Harga gabah kering panen di tingkat petani di Indramayu, misalnya, mencapai lebih dari Rp 7.000 per kilogram. Padahal, HPP GKP Rp 5.000 per kg.
”Perusahaan bermodal besar juga membeli gabah kepada petani dengan harga tinggi. Ini membuat penggilingan kecil kesulitan,” ucap Muhaemin. Padahal, menurut dia, perusahaan itu tidak seperti koperasi yang mendampingi petani dalam menentukan varietas hingga pemantauan padi.
Terakhir, pihaknya mengirim beras premium ke Jakarta awal September. Saat itu, ia menerima permintaan 75 ton.
”Tapi, kami hanya mengirim 10 ton karena harga gabahnya sudah tinggi. Sementara kami tidak produksi beras. Tapi, yang penting petani dapat harga bagus,” ujarnya.
Koperasi Tani Mulus menjadi contoh inovasi petani agar tetap bertahan. Meski demikian, mereka masih membutuhkan dukungan sejumlah pihak, terlebih saat bersaing dengan pemodal besar. Bagaimanapun, petani tidak bisa ditinggalkan sendiri.
Baca juga: Sumber Air di Sejumlah Daerah Produsen Beras Dekati Titik Kritis