Gus Dur Memorial Lecture di Cirebon, Lawan Amarah dengan Keramahan
Generasi milenial penting mengetahui ajaran kebaikan Gus Dur. Beliau sudah meneladankan dan saatnya kita yang melanjutkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F7a6c2b3d-95cd-4409-974a-94bde1b231e0_jpg.jpg)
Suasana acara Gus Dur Memorial Lecture di Institut Studi Islam Fahmina, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023) malam. Acara yang diinisiasi Jaringan GUSDURian itu untuk menggali dan menyebarkan gagasan Gus Dur terkait dengan toleransi, Islam yang ramah, dan lainnya.
Malam itu, Rabu (20/9/2023), warga dari beragam latar belakang berkumpul di Institut Studi Islam Fahmina atau ISIF, Kota Cirebon, Jawa Barat. Mereka mencoba menggali keramahan agama yang diajarkan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di tengah gelapnya amarah.
Beratapkan langit, mahasiswa, santri, tokoh lintas iman, hingga Menteri Agama RI periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifudin duduk bersama. Hadir juga Rektor ISIF KH Marzuki; Romo Jinawi, rohaniawan Buddha; dan Romo Antonius Haryanto dari Gereja Bunda Maria Cirebon.
Mereka menghadiri Gus Dur Memorial Lecture yang diinisiasi Jaringan GUSDURian. Kegiatan dalam rangka memperingati hari lahir Gus Dur itu mengusung tema ”Gus Dur dan Gagasan Islam Ramah”. Pemilihan isu ini dianggap relevan saat ujaran kebencian kian merebak.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F77ac1d75-7ea6-4f20-a647-719343ecc905_jpg.jpg)
Suasana acara Gus Dur Memorial Lecture di Institut Studi Islam Fahmina, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023) malam. Acara yang diinisiasi Jaringan GUSDURian itu untuk menggali dan menyebarkan gagasan Gus Dur terkait dengan toleransi, Islam yang ramah, dan lainnya.
Khawa Qibulama’ah (23), salah seorang peserta, berbagi kisah tentang mudahnya seseorang melempar amarah. ”Saya pernah mengunggah dalil perdamaian dari Gusdurian (di media sosial). Tapi, komen (komentar warganet) memojokkan. Ada yang bilang, sok-sokan?” ucapnya.
Padahal, alumnus Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon itu hanya berupaya mengingatkan pentingnya menjaga perdamaian meski berbeda suku, bangsa, dan agama menjelang tahun politik. Namun, perempuan ini malah dianggap sedang kampanye politik.
Baca juga: Gus Dur dan Tantangan Kebangsaan
Serangan ke akun media sosialnya bukan kali ini saja. Pernah, ia mengunggah pendapat KH Faqih Abdul Kodir dan Buya Husein Muhammad tentang hijab yang bukan satu-satunya ukuran kesalehan seseorang. Lewat pesan itu, ia ingin mengingatkan ada banyak pandangan soal hijab.
”Tapi, banyak (warganet) yang men-judge (menuduh), itu hanya pembelaan saya. Ada yang bilang, kerudungnya mana? Terbang ya?” ucap Khawa menirukan sejumlah pesan di medsosnya. Beberapa komentar bahkan menudingnya sebagai antek-antek Barat dan liberal.
”Saya sampai hapus DM (direct message), enggak kuat (membacanya). Rasanya, saya jera,” ucap Khawa yang mengatur akun medsosnya menjadi privat.
Tidak hanya di dunia maya, ia juga merasakan langsung pedihnya prasangka dari sejumlah rekannya kala menyampaikan gagasan.
”Kadang kalau ngobrol dengan teman. Ada guyonan kayak seksis, merendahkan golongan tertentu. Saya berpendapat, apa yang dia omongin itu kurang tepat. Dia malah menyerang dan bilang, saya bagian liberal. Semula niatnya baik (mengingatkan dia) pun terpatahkan,” ujarnya.
Baca juga: Gus Dur, Sang Guru Bangsa Pembela Minoritas
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F17d22500-3bc9-4a89-bb25-b06cef288f70_jpg.jpg)
KH Marzuki Wahid, Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), memberikan sambutan dalam acara Gus Dur Memorial Lecture di ISIF, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023) malam. Acara yang diinisiasi Jaringan GUSDURian itu untuk menggali dan menyebarkan gagasan Gus Dur terkait dengan toleransi, Islam yang ramah, dan lainnya.
Pegiat seni rupa ini mengaku, sindiran dan ujaran kebencian di dunia maya serta nyata sempat menjatuhkan mentalnya. Namun, ia tidak menyerah.
Ia terus belajar soal keberagaman hingga ikut Sekolah Sudhamala tentang pencegahan kekerasan seksual yang digelar Umah Ramah.
Ketika mendengar Gus Dur Memorial Lecture, warga Tegalgubug ini pun menempuh perjalanan dengan sepeda motor sejauh 30 kilometer untuk mengikuti acara itu. Di sana, Khawa tidak hanya bertemu dengan rekan berbeda agama, tetapi juga berdiskusi dengan mantan Menag Lukman.
”Bagaimana cara menyampaikan gagasan Gus Dur, tetapi tidak di-suudzonin (dipandang negatif)? Kadang, saya merasa takut. Apalagi di kalangan anak muda yang jarinya pada jahat-jahat, bisa membuat mental down. Belum apa-apa, sudah di-omongin kasar,” tanya Khawa kepada Lukman.
Memanusiakan manusia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2Faaf6f99d-d742-4e9e-8e21-4e45fc277782_jpg.jpg)
Menteri Agama RI periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifudin menjadi pembicara dalam acara Gus Dur Memorial Lecture di Institut Studi Islam Fahmina, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023) malam. Acara yang diinisiasi Jaringan GUSDURian itu untuk menggali dan menyebarkan gagasan Gus Dur terkait dengan toleransi, Islam yang ramah, dan lainnya.
Lukman pun bercerita pengalamannya yang tidak lepas dari ujaran kebencian di medsos. Namun, ia belajar banyak dari Gus Dur soal menghadapi tudingan buruk.
”Gusdur itu makhluk di dunia yang paling banyak disalahpahami. Bahkan, di internal NU (Nahdlatul Ulama),” ucapnya.
Tidak jarang, katanya, Gus Dur berdebat dengan sejumlah kiai terkait isu tertentu. Ketika menjabat presiden, sejumlah pihak mengkritik dan mencemooh kebijakannya soal perayaan Imlek secara terbuka hingga lawatannya ke Israel. Namun, Gus Dur dengan dingin menghadapinya.
Menurut Lukman yang telah berinteraksi dengan Gus Dur sejak 1984, Gus Dur memahami bahwa semua agama, termasuk Islam, punya wajah ramah.
”Hakikat agama itu memanusiakan manusia. Makanya, pendekatannya selalu ramah, bukan malah marah-marah,” ujarnya.
Baca juga: Meneladani Perjuangan Gus Dur, Ada Kemanusiaan dalam Politik
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU itu, lanjutnya, juga mampu membedakan ajaran agama yang universal atau pokok dengan partikular. Ajaran universal, antara lain, bermakna pentingnya menegakkan keadilan, persamaan di depan hukum, tidak melukai, dan lainnya.
Adapun ajaran agama yang partikular atau cabang, semisal, shalat Subuh pakai qunut atau tidak dalam Islam.
”Terhadap yang cabang, Gus Dur dengan bijak selalu mengajak kita membangun kemauan dan kemampuan untuk menghormati perbedaan, jangan diseragamkan,” katanya.
Yang khas dari Gus Dur adalah dia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Beliau sudah tidak punya ’interest’ (kepentingan), pamrih, jabatan, dan lainnya.
Menurut Gus Dur, katanya, perbedaan dalam wilayah partikular muncul karena keterbatasan manusia dalam memahami ajaran agama. Apalagi, teks keagamaan bisa multitafsir. Oleh karena itu, semua pihak seyogianya bisa bertoleransi dalam menyikapi persoalan agama yang cabang.
Sebaliknya, terhadap ajaran agama universal, Gus Dur enggan berkompromi. ”Tidak ada pengecualian. Kan tidak bisa karena dia berbeda iman sama kita, sudahlah tidak perlu dipenuhi hak-haknya. Itu tidak ada dalam ajaran agama mana pun. Agama tidak diskriminatif,” ujarnya.
Gus Dur, lanjutnya, juga kerap mengingatkan bahwa beragama adalah mengimani dan mengamalkan nilai agama. Mengimani agama tertentu adalah wilayah otonom setiap orang, internal.
”Tuhan sekali pun tidak pernah memaksa hambanya mengimani apa,” ucap Lukman.
Baca juga: Pengaruh Elektoral Barisan Gus Dur Diperebutkan Jelang 2024
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F2fbe11c1-5817-4e9c-a1de-97149d10c9a5_jpg.jpg)
Menteri Agama RI Periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifudin menjadi pembicara dalam acara Gus Dur Memorial Lecture di Institut Studi Islam Fahmina, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023) malam. Acara yang diinisiasi Jaringan GUSDURian itu untuk menggali dan menyebarkan gagasan Gus Dur terkait dengan toleransi, Islam yang ramah, dan lainnya.
Hargai perbedaan
Adapun mengamalkan nilai agama acap kali bersentuhan dengan publik. Di wilayah inilah terdapat beragam latar belakang, termasuk agama.
Itu sebabnya, seseorang boleh meyakini agamanya yang benar. Namun, ketika berada di ruang publik, toleransi dibutuhkan.
Lukman menekankan, menghargai perbedaan bukan berarti menyetujui atau membenarkan keyakinan itu. Ia mencontohkan, Gus Dur bergaul dengan semua kalangan yang berbeda, tetapi tidak sedikit pun mengurangi keimanannya. Ia tetap dianggap sebagai kiai oleh umat Muslim.
Sebab, bagi Gus Dur, agama hadir untuk memanusiakan manusia. Apa pun agama dan latar belakangnya. Itu sebabnya, Gus Dur sangat vokal jika ada masyarakat yang terpinggirkan atau direndahkan martabatnya. Ia berani membela warga yang terdiskriminasi meski risikonya besar.
”Yang khas dari Gus Dur adalah dia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Beliau sudah tidak punya interest (kepentingan), pamrih, jabatan, dan lainnya. Beliau memang tidak pernah pegang uang. Ini yang sulit diteladani karena kita kadang masih mau ini itu,” ujar Lukman.
Tidak heran, ketika tahun politik, masih ada yang memolitisasi agama. ”Misalnya, ajakan ayo dukung yang seiman. Ayo shalati jenazah yang sesama pendukung kita. Kalau bukan, tolak jenazahnya. Padahal, pesan inti agama itu inklusif, merekatkan yang berbeda,” kata Lukman.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F06%2F3ffdbb67-a53a-4e62-a353-fee352a4d860_jpg.jpg)
(Dari kiri ke kanan) Analis Kebijakan Ahli Madya Bidang Karakter dan Wawasan Kebangsaan di Kementerian Dalam Negeri Bangun Sitohang, rohaniawan Katolik Romo Antonius Haryanto, Komala Dewi dari Fahmina Institute, dan Marieni (Co-Coordnator Gusdurian Jawa bagian Barat) hadir dalam seminar bertema “Indonesia Rumah Bersama, Merawat Kebinekaan dalam Bingkai Keindonesiaan” di ISIF, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (6/6/2022). Kegiatan yang digelar GUSDURian Cirebon itu dihadiri tokoh agama hingga mahasiswa.
Jay Akhmad, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, menambahkan, Gus Dur mengajarkan politik kebangsaan, bukan politik praktis. Politik kebangsaan yang dimaksud adalah bagaimana pemangku kebijakan menjaga toleransi beragama dan persatuan bangsa.
”Kalau ada yang mengatasnamakan GUSDURian mendukung (calon tertentu), itu bukan dari GUSDURian,” ucapnya.
Walakin, seperti pesan Gus Dur, pihaknya akan terus mendorong agar kebijakan pemerintah tidak melanggar hak konstitusi warga, apa pun latar belakangnya.
”Kehidupan toleransi beragama kita belum sesuai apa yang kita bayangkan. Intoleransi masih terjadi. (Pembangunan) rumah ibadah masih dilarang. Ini PR besar kita,” ujarnya. Di akar rumput, pihaknya berupaya menyebarkan ajaran Gus Dur, termasuk lewat acara malam itu.
Baca juga: Gus Dur, Humor, dan Demokrasi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F16%2F8a1c874b-941f-414a-820a-7f0bffa73ce6_jpg.jpg)
Suasana saat acara panggung budaya dalam Temu Nasional (Tunas) Jaringan Gusdurian di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (15/10/2022) malam. Tunas kurun 14-16 Oktober 2022 dihadiri oleh 1.500 anggota Jaringan Gusdurian dari Nusantara dan mancanegara meghasilkan lima resolusi dan rekomendasi yang mempersoalkan oligarki untuk inklusi sosial politik dan ekonomi.
Selain di Cirebon, Gus Dur Memorial Lecture juga digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Wali Songo Semarang, UIN Satu Tulungagung, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, dan UIN Salatiga.
”Kami ingin menggali dan meneladani gagasan dan gerakan Gus Dur,” katanya.
KH Marzuki mengatakan, ajaran tentang pluralisme hingga keadilan jender diejawantahkan melalui Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial di ISIF.
”Generasi milenial penting mengetahui ajaran ini. Gus Dur sudah meneladankan. Saatnya kita melanjutkan,” ujarnya.