Terdampak Kekeringan, Ratusan Hektar Sawah di Sultra Gagal Panen
Ratusan hektar lahan persawahan di Sultra mengalami puso dan tidak bisa dipanen. Langkah penanganan diperlukan agar dampak tidak semakin meluas.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sebanyak 2.560 hektar lahan sawah di Sulawesi Tenggara terdampak kekeringan panjang. Dari jumlah itu, ratusan hektar lahan telah mengalami puso dan tidak bisa dipanen. Langkah penanganan yang intensif diperlukan agar dampak tidak semakin meluas.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sultra La Ode M Rusdin Jaya mengatakan, dampak kekeringan terjadi merata di sejumlah sentra persawahan di wilayah ini. Meski begitu, dua wilayah dengan dampak terbesar terjadi di Bombana dan Kolaka.
”Dari ribuan hektar yang terdampak, ada 824 hektar sawah yang mengalami puso. Wilayah yang mengalami puso ini 90 persen terjadi di Bombana dan selebihnya di Kolaka. Daerah lain masih kami pantau karena ribuan hektar terdampak kekeringan,” kata Rusdin, di Kendari, Rabu (20/9/2023).
Menurut Rusdin, kekeringan akibat fenomena El Nino ini memiliki dampak yang cukup terasa dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Kondisi ini terjadi pada masa tanam kedua, di saat sebagian lahan telah memasuki musim panen.
Berbagai langkah telah dilakukan untuk mengantisipasi bencana kekeringan semakin berdampak buruk. Beberapa di antaranya pendataan dan pemantauan yang lebih intens, bantuan pompanisasi ke sejumlah daerah, penyediaan benih tahan kering, dan peningkatan ketersediaan air.
”Kami juga imbau ke wilayah terdampak untuk percepatan masa panen dan masa tanam. Dalam beberapa hari sebelumnya juga ada hujan lokal yang cukup membantu petani,” ucapnya.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Rusdin melanjutkan, potensi musim hujan akan terjadi di November dan Desember. Saat itu tiba, diharapkan petani dapat memulai musim tanam dan mengairi persawahan yang saat ini terdampak.
”Untuk stok, produksi lokal masih mencukupi hingga Desember. Masih ada 13.005 ton yang akan panen hingga akhir tahun nanti,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Rusdin, Kepala Desa Tembe, Rarowatu Utara, Bombana, mengungkapkan, kekeringan dan gagal panen memang melanda persawahan di wilayahnya. Sebagian besar lahan pertanian mengering sehingga mengalami puso.
Dari ratusan hektar luas sawah yang ditanami di musim tanam kedua ini, ia menambahkan, 70 persen di antaranya mengalami gagal panen. Sebagian petani juga terpaksa panen lebih cepat karena mengantisipasi kegagalan panen jika menunggu lebih lama.
Dari ribuan hektar yang terdampak, ada 824 hektar sawah yang mengalami puso. Wilayah yang mengalami puso ini 90 persen terjadi di Bombana dan selebihnya di Kolaka.
”Persoalannya memang pengairan yang tidak ada, ditambah kekeringan saat ini. Kami telah berkali-kali meminta irigasi dan sumur bor dalam Musrenbang Kabupaten Bombana, tapi sampai sekarang belum terpenuhi,” tuturnya.
Seperti di Sultra, bencana kekeringan melanda banyak wilayah di Indonesia. Sumber-sumber air kering dan area persawahan krisis air. Kekeringan panjang akibat El Nino menyebabkan beberapa waduk dan bendungan di sejumlah daerah produsen beras mendekati titik kritis. Kendati masih dapat dimanfaatkan untuk pengairan saat ini, kondisi sumber-sumber air itu dapat mengancam pasokan air untuk musim tanam padi tahun depan.
Fenomena El Nino terus menguat dan diprediksi berlanjut hingga Februari 2024. Di Indonesia, El Nino berdampak pada mundurnya awal musim hujan sehingga kekeringan bisa berlangsung hingga Oktober 2023.
”Fenomena El Nino hampir selalu berakhir pada tahun berikutnya pada Februari-Maret,” kata Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluawakan, di Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Sebelumnya, laporan mingguan terbaru dari Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) menyebutkan, kemungkinan lebih dari 95 persen kejadian El Nino akan berlangsung hingga Februari 2024 disertai dengan dampak iklim yang luas. ”Dampak El Nino di berbagai belahan dunia berbeda-beda, mengikuti musimnya masing-masing,” kata Ardhasena (Kompas, Selasa 22/8/2023).