Peremajaan Sawit Rakyat Alami Kemajuan Menggembirakan
Laju peremajaan sawit rakyat menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Meski demikian, luas areal tanam baru peremajaan itu masih jauh dari target nasional sebesar 180.000 hektar per tahun.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·4 menit baca
KAMPAR, KOMPAS — Perkembangan program peremajaan sawit rakyat menunjukkan tren peningkatan yang cukup menggembirakan. Hingga September 2023, luas areal peremajaan sawit rakyat sudah mencapai 50.000 hektar.
Pada tahun 2022, luas peremajaan sawit rakyat hanya berkisar 17.000 hektar. Pada tahun ini sudah jauh lebih besar dan diupayakan agar terdapat penambahan lagi sampai akhir tahun. ”Jadi ada peningkatan yang patut diapresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat di dalamnya,” ujar Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alam Syah di sela-sela program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) milik anggota Koperasi Berkat Ridho di Desa Kijang Makmur, Kecamatan Tapung Hilir, Kampar, Riau, Senin (18/9/2023).
Hadir dalam acara tersebut antara lain Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman, Kepala Dinas Perkebunan Riau Zulfadli, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riau Masuri, serta Penjabat Bupati Kampar M Firdaus.
PSR di Tapung Hilir merupakan program perdana yang melibatkan kemitraan antara petani plasma (Koperasi Berkat Rhido) dengan perkebunan inti (PT Buana Wiralestari Mas), yang menjadi anggota Gapki. Dalam program PSR yang dicanangkan pemerintah, setiap petani mendapat bantuan dana peremajaan sebesar Rp 30 juta per ha yang disalurkan melalui BPDPKS.
Meski meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, luas PSR tahun 2023 sesungguhnya masih jauh dari target yang diharapkan Presiden Joko Widodo sebesar 180.000 ha per tahun. Masih banyak kendala di lapangan meskipun pemerintah sudah lebih menyederhanakan tata kelola, terutama lewat Peraturan Menteri Pertanian No 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan SDM, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
”Dengan Peraturan Mentan No 3/2022 semestinya tidak ada lagi kesulitan petani untuk PSR. Petani tinggal menunjukkan (kebun) pemiliknya siapa. Petani dapat membuktikan kepemilikan, apakah (kebunnya) bersertifikat atau berdasarkan keterangan desa, kecamatan, atau kabupaten dan kebunnya tidak berada dalam kawasan hutan,” kata Andi.
Hanya saja, aturan yang sudah dipermudah itu masih menemui kendala berarti di lapangan. Terbukti target PSR pemerintah sebesar 180.000 ha per tahun belum pernah terwujud sejak diluncurkan pada 2016.
Eddy Martono mengatakan, kendala itu antara lain tumpang tindih lahan. Misalnya, ada lahan milik petani plasma yang sudah bersertifikat dan memiliki bapak angkat perusahaan inti, tetapi teridentifikasi masuk kawasan hutan. Padahal, sertifikat itu pernah menjadi agunan di bank saat akad kredit pembangunan kebun plasma.
”Selain itu, sulit mendapatkan surat keterangan/rekomendasi bahwa lahan tidak di kawasan hutan dan tidak tumpang tindih dengan HGU. Harga TBS (tandan buah segar) yang cukup tinggi juga membuat petani enggan segera meremajakan kebunnya,” kata Eddy.
Masuri menambahkan, persoalan tumpang tindih di Riau bahkan lebih parah lagi. Misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belakangan menetapkan seluruh Pulau Bengkalis (kecuali Jalan Sudirman di Kota Bengkalis) termasuk dalam kawasan lindung gambut.
”Bayangkan, karena aturan itu seluruh bangunan di Pulau Bengkalis menyalahi aturan, baik itu kantor bupati, kantor kepolisian, maupun bangunan seluruh warga. Memang, warga atau petani dapat mengajukan surat permohonan untuk mengubah status tanah atau lahan kepemilikannya ke KLHK, tetapi prosesnya sangat panjang. Urusan surat menyurat itu bisa lebih dari setengah tahun. Hal seperti ini semestinya dipermudah atau diurus oleh pemerintah daerah dengan KLHK bukan langsung oleh warga,” kata Masuri.
Eddy Abdurrahman mengatakan, sejak program PSR digulirkan pada 2016 hingga Agustus 2023, BPDPKS telah menyalurkan dana sebesar Rp 8,8 triliun. Dana itu telah mengalir kepada 13.032 pekebun dengan luas peremajaan sawit mencapai 295.000 ha.
Hingga saat ini, kata Abdurahman, masih ada 17 proposal yang sedang diverifikasi dengan luas lahan lebih dari 5.000 hektar.
”Belum tercapainya target PSR sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo mendorong terbitnya Peraturan Mentan No 3/2022 yang mengakomodasi jalur kemitraan di samping jalur kedinasan yang telah berjalan. Jalur kemitraan ini, terutama dengan Gapki, menjadi entry point dalam peningkatan PSR,” kata Abdurrahman.
Zulfadli mengatakan, Riau memiliki perkebunan seluas 4,2 juta hektar dengan luas pertanaman kelapa sawit 3,38 juta ha. Seluas 147.000 ha merupakan milik petani plasma dan swadaya. Sebanyak 30 persen perkebunan kelapa sawit rakyat di Riau sudah tua dan kurang produktif. Namun, baru 36.000 hektar yang sudah diremajakan.
Pada tahun 2023, Riau menargetkan untuk meremajakan sawit rakyat seluas 10.500 hektar. Sampai September 2023 ini, PSR baru mencapai 6.000 hektar.
Ketua Koperasi Berkat Ridho, Misdan, mengungkapkan, tanaman kelapa sawit anggotanya ditanam pada tahun 1992. Setelah berusia di atas 20 tahun, tanaman mulai kurang produktif. Pada tahun 2016, sebagian lahan dilakukan peremajaan (seluas 138 hektar) dengan melibatkan 69 petani.
Sebelum peremajaan produksi sawit koperasi sekitar 10 ton per hektar. Adapun dan setelah peremajaan berjalan selama tujuh tahun, produksi sudah meningkat menjadi 23 ton per hektar dan masih ada potensi sampai 32 ton per hektar.
"Jadi cepat bergabung agar cepat untung,” kata Misdan.