Dari ”Pawon Lare”, Asa Anak Binaan Bertumbuh Kembali
Anak-anak yang sempat kehilangan mimpinya akibat terseret kasus pidana perlahan mulai membangun mimpinya. Setidaknya hal ini dimulai dari Pawon Lare, warung makan di LPKA Yogyakarta.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Sebagian anak sempat kehilangan mimpinya akibat terseret kasus pidana. Perlahan asa itu tumbuh kembali sembari menghabiskan masa hukuman di lembaga pembinaan khusus anak. Dari sebuah dapur kecil, anak-anak berkonflik dengan hukum boleh menghidupkan lagi angan-angan sederhananya.
Tiga orang remaja tampak sibuk memasak kudapan pada sebuah dapur kecil, di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (24/8/2023) siang. Salah seorang mengiris pisang, sedangkan dua orang lainnya masing-masing membuat adonan serta menyiapkan penggorengan.
Beberapa menit kemudian, salah seorang anak keluar dari dapur tersebut. Ia membawa nampan berisi sejumlah nuget pisang yang telah dipotong kecil-kecil. Selanjutnya, kudapan itu disuguhkan kepada sekumpulan pegawai LPKA yang tengah duduk berbincang di dekat dapur tersebut. Meski sedikit canggung, ia coba menebarkan senyuman setiap kali meletakkan hidangan di meja.
Tanpa berlama-lama, para pegawai menyantap kudapan itu. Kres, kres, kres. Renyahnya kudapan itu terdengar sampai telinga. Dalam setiap gigitan, terselip rasa manis dari coklat yang dibalurkan menyelimuti setiap potong pisang. Obrolan para pegawai semakin hangat dan akrab diselingi sembari mengunyah camilan tersebut.
Dapur tempat anak-anak itu memasak dikenal dengan sebutan ”Pawon Lare”. Penamaannya diambil dari dua kata bahasa Jawa, yakni ”pawon” yang artinya dapur dan ”lare” yang berarti anak-anak. Dengan demikian, maksud ”Pawon Lare” adalah dapurnya anak-anak. Dalam konteks itu, kata anak-anak merujuk pada anak-anak yang berkonflik dengan hukum yang sedang menjalani pembinaan di LPKA Yogyakarta.
Sesuai penamaannya, ketiga remaja yang bertindak sebagai juru masak kali itu juga merupakan anak-anak warga binaan LPKA. Mereka adalah SA (18), AAW (18), dan AG (18). Kasus pidana yang dihadapi masing-masing berbeda. AAW terseret kasus pembunuhan, SA terlibat penganiayaan, sedangkan AG dipidana karena pencabulan.
Rasa kalut
Pikiran buruk berkecamuk dalam benak SA ketika menerima fakta dirinya mesti berstatus sebagai narapidana anak. Pengadilan memvonisnya hukuman dua tahun kurungan. Kala itu, usianya baru 17 tahun. Oleh karena itu, masa hukuman harus ditempuhnya di LPKA tersebut. Rasa kalut menyelimutinya sewaktu menanti hari-hari awal memasuki ”penjara anak” itu.
”Ternyata keadaannya berbeda. Hidup saya berubah 180 derajat. Dulu, hari-hari saya cuma diisi nongkrong-nongkrong tidak jelas. Sekarang, malah saya bisa belajar banyak hal. Salah satunya memasak seperti ini,” tutur SA.
Keterampilan memasak dipilih SA bukan tanpa alasan. Sejak sebelum menjadi tahanan, ia sudah terbiasa memasak untuk dirinya. Hanya kemampuannya pas-pasan. Nasi goreng menjadi menu paling sering ia masak. Lewat pelatihan itu, ilmunya mengolah penganan bertambah. Ia diajari membuat menu-menu lain seperti soto, sop, mi ayam, bakso, pisang goreng coklat, roti bakar, dan lain sebagainya.
Sewaktu ada alokasi anggaran, ia sengaja membuat ”Pawon Lare” demi memberi ruang lebih bagi mereka mengembangkan diri.
Ia sekarang juga diajarkan untuk ikut menyiapkan makanan bagi anak-anak binaan lain. Bagi SA, pelatihan semacam itu cukup penting. Sebab, ia telah putus sekolah sejak kelas VI SD. Pendidikan tak dilanjutkannya hanya gara-gara malas. Waktu itu ia lebih senang bermain daripada belajar. Belakangan baru disadarinya pentingnya pendidikan. Kini, ia sedang minta dicarikan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang memiliki materi pembelajaran tentang perbengkelan sesuai minatnya.
”Semoga setelah selesai di sini. Saya bisa pakai skill memasak saya untuk cari pekerjaan di luar sana. Saya tidak mau lagi seperti dulu,” kata SA.
Keinginan serupa diungkapkan anak binaan lainnya, yaitu AAW. Pelatihan memasak diikutinya karena kegemarannya akan hal tersebut. Bahkan, kelak ia berharap bisa memiliki warung makannya sendiri di masa depan.
Optimisme semacam itu muncul dalam benak AAW baru beberapa waktu setelah mengikuti pembinaan. Sama halnya dengan SA, pikirannya juga kacau sewaktu tahu ia terseret kasus pembunuhan. Apalagi ia sekadar ikut-ikutan memukuli orang yang bermasalah dengan temannya kala itu. Baru kemudian, ia diberi kabar jika orang yang ia pukuli meninggal dunia.
”Waktu itu saya benar-benar putus asa. Sekarang mulai punya harapan lagi dengan keterampilan-keterampilan ini. Keinginan saya sederhana. Bisa berguna bagi lingkungan dan membanggakan orangtua. Bolehlah kalau caranya lewat warung makan. He-he-he,” kata AAW, yang dikenai hukuman dua tahun kurungan itu.
Kepala LPKA Kelas II Yogyakarta Sigit Sudarmono mengungkapkan, keterampilan memasak hanya satu dari sekian keterampilan lainnya yang diberikan kepada anak-anak binaan. Oleh karena itu, sewaktu ada alokasi anggaran, ia sengaja membuat ”Pawon Lare” demi memberi ruang lebih bagi mereka mengembangkan diri.
”Pawon Lare” baru berdiri sejak April lalu. Warung kecil-kecilan itu belum melayani penuh para pengunjung. Sejauh ini, warung itu baru dijadikan sebagai tempat latihan memasak anak-anak binaan. Akan tetapi, pengurus LPKA memiliki visi agar nantinya warung itu bisa memberikan suguhan sewaktu ada momen kunjungan para orangtua dari anak binaan tersebut.
”Titik bidiknya, ketika suatu saat keluarga mereka datang, anak-anak ini bisa memasak buat mereka. Ini anaknya sudah bisa sedemikian rupa. Silakan dirasakan. Kurang lebih seperti itu keinginan kami. Tetapi, sekarang biar mereka belajar dulu sampai siap,” kata Sigit.
Sejak awal, Sigit berprinsip untuk memperkuat aspek keterampilan para anak-anak binaan tersebut. Pihaknya menyadari, anak-anak itu kesulitan diminta berlama-lama belajar menghadap buku. Dari pengamatannya, satu jam jadi waktu paling lama bagi mereka untuk membaca. Di sisi lain, mereka mempunyai kondisi fisik yang kuat.
Untuk itu, Sigit dan jajarannya sebisa mungkin menghadirkan bermacam-macam pelatihan yang sekiranya bisa dijadikan bekal hidup selepas dari lembaga pembinaan tersebut. Misalnya, ada juga unit bernama ”Kantin Kejujuran”, yang mengajarkan anak-anak mengelola usaha dan pembukuan sederhana. Penjaganya adalah sesama anak binaan.
Kemudian, lanjut Sigit, terdapat pula unit ”Laundry” yang tugasnya mencuci pakaian anak-anak binaan. Petugasnya juga sesama anak binaan itu sendiri. Sistemnya bergiliran sehingga semua anak bakal mendapat jatah untuk mencuci pakaian teman-temannya.
Sebenarnya, ungkap Sigit, jenis pelatihan yang paling banyak diinginkan anak-anak binaan adalah bengkel otomotif. Tetapi, sejauh ini, sarana dan prasarana yang tersedia belum mencukupi. Hanya alat-alat pengelasan yang baru bisa dipenuhi. Pihaknya menjanjikan kelak unit pelatihan bengkel otomotif bakal dibuat sesuai keinginan anak-anak tersebut.
”Life skill yang memang kami tonjolkan di sini. Ini demi menjadi modal bagi perjalanan hidup mereka. Rasa-rasanya ini cocok dengan Kurikulum Merdeka. Karena, anak-anak belajar praktik sebagaimana yang mereka mau,” kata Sigit.