Menyelamatkan Industri Sawit Nasional dan Peta Jalan Menuju 2045
Industri sawit nasional tak sedang baik-baik saja. Produksi menurun empat tahun ini. Target 90 juta ton pada 2045 jauh panggang dari api. Biang keroknya, peremajaan mandek, hambatan dagang, dan kebijakan dalam negeri.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Industri sawit nasional tidak sedang baik-baik saja. Produksi minyak sawit menurun empat tahun ini hingga 46,72 juta ton pada 2022. Target 90 juta ton per tahun pada 2045 jauh panggang dari api. Biang keroknya adalah produktivitas yang menurun akibat tanaman yang menua dan peremajaan mandek. Hambatan dagang di luar negeri dan kebijakan dalam negeri juga jadi tantangan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, dalam diskusi bersama media di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (23/8/2023), mengatakan, Indonesia hingga kini masih menjadi produsen minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia. Pada 2022, industri sawit menyumbang devisa 39,07 miliar dollar AS atau sekitar Rp 600 triliun. Namun, berbagai tantangan menghadang di tengah penurunan produksi.
”Produksi sawit nasional sudah mencapai puncak dan sedang berada dalam tren menurun. Jangan sampai seperti industri gula nasional yang dulu pernah terbesar kedua di dunia, lalu terpuruk karena kebijakan enggak pas dan enggak kondusif,” kata Eddy.
Eddy mengatakan, penyebab utama menurunnya produksi sawit nasional karena komposisi tanaman tua di perkebunan sawit rakyat yang semakin besar. Sementara program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dicanangkan pemerintah melalui pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tak sesuai dengan yang diharapkan.
Pemerintah menargetkan PSR seluas 185.000 hektar per tahun. Namun, realisasinya hanya 25.000-30.000 hektar per tahun, hanya 16 persen dari target. Kondisi ini membuat produktivitas sawit rakyat setiap tahun menurun.
Padahal, keberadaan sawit rakyat sangat signifikan dalam industri sawit nasional. Berdasarkan audit satuan tugas tata kelola industri sawit yang dibentuk pemerintah, luas sawit rakyat mencapai 6,4 juta hektar atau 38 persen dari total 16,8 juta hektar kebun sawit di Indonesia. Sisanya seluas 10,4 juta hektar adalah kebun sawit perusahaan.
Ketua Bidang Luar Negeri Gapki M Fadhil Hasan menjelaskan, satu-satunya jalan untuk meningkatkan produksi sawit nasional adalah dengan peningkatan produktivitas. Perluasan lahan tidak memungkinkan karena pemerintah telah melakukan moratorium pembukaan lahan sawit baru.
”Kalau kita bisa meningkatkan produksi sawit rakyat sebesar 0,5 ton CPO per hektar per tahun, peningkatan dari luas lahan saat ini sudah mencapai 3,2 juta ton,” kata Fadhil.
Padahal, potensi peningkatan produktivitas sawit rakyat jauh lebih besar dari itu. Saat ini, rata-rata produktivitas sawit rakyat hanya 2 ton CPO per hektar per tahun, jauh dari produktivitas perusahaan yang sudah sebanyak 4-8 ton CPO.
Melihat peremajaan sawit rakyat yang jalan di tempat, penurunan produksi CPO nasional tampaknya akan terus berlanjut. Hal ini terlihat dari rata-rata pertumbuhan produksi CPO Indonesia yang melambat sejak 2010.
Pada periode 2005-2010, pertumbuhan produksi CPO nasional mencapai 10,12 persen per tahun, lalu melambat menjadi 7,39 persen pada 2010-2015, dan melambat lagi menjadi 3,2 persen pada 2015-2020. Pada periode 2020-2025, pertumbuhan produksi CPO nasional sudah negatif 1,15 persen.
Produksi CPO menurun dalam empat tahun terakhir setelah mencapai puncak pada 2019 yang sebanyak 51,8 juta ton. Penurunan terjadi sejak 2020, yakni hanya 47,03 juta ton, lalu berlanjut menjadi 46,88 juta ton pada 2021, dan menjadi 46,72 ton pada 2022. ”Industri sawit nasional kita saat ini menghadapi produksi yang menurun yang berbarengan dengan ongkos produksi yang naik,” kata Fadhil.
Dengan keadaan ini, Indonesia perlu mengantisipasi persaingan ketat di pasar minyak nabati dunia. Meskipun pangsa pasar minyak sawit masih yang terbesar di minyak nabati, penguasaannya hanya 33 persen. Pangsa pasar ini bisa menurun karena minyak nabati lain mengalami peningkatan produksi. Ini bisa menjadi ancaman serius bagi industri sawit nasional.
Kebijakan pemerintah
Eddy mengatakan, kebijakan pemerintah juga sangat menentukan masa depan industri sawit. Gapki mendukung perbaikan tata kelola industri sawit nasional yang sedang digarap pemerintah dengan dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Namun, pemerintah harus menunjukkan keberpihakan pada penyelamatan industri nasional. Eddy mencontohkan langkah pemerintah pada 2022 yang sempat menyetop ekspor CPO untuk mengatasi kelangkaan pasokan dan meroketnya harga minyak goreng.
Penyetopan ekspor itu, menurut Eddy, sebagai sebuah tragedi. ”Waktu itu Lebaran yang bertepatan dengan produksi CPO sedang tinggi. Tangki penimbunan di pabrik semua penuh. Kapal tanker pun dibuat sebagai tempat penimbunan. Akhirnya, pabrik tidak bisa menerima buah dari petani. Banyak buah membusuk di pohon,” kata Eddy.
Padahal, saat itu harga CPO sedang tinggi karena minyak biji bunga matahari tidak bisa keluar dari Rusia dan Ukraina karena perang. Namun, Indonesia tidak menikmati kenaikan harga itu karena penyetopan ekspor. Harga di tingkat petani juga anjlok saat petani di negara produsen lain menikmati harga yang meroket.
Eddy mengatakan, Gapki mendukung tata kelola industri sawit yang saat ini sedang digagas pemerintah, khususnya tentang pemutihan atau proses melegalkan 3,3 juta hektar lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Namun, narasi yang dibangun seharusnya tidak memojokkan industri sawit nasional.
”Pemutihan HGU (hak guna usaha) di kawasan hutan ini bukan berarti perusahaan diampuni pemerintah. Perusahaan sawit mendapat sertifikat HGU dari pemerintah secara legal setelah status lahan clear and clean (bersih dan jelas),” kata Eddy.
Pada akhir Juni, Luhut mengatakan, audit satgas tata kelola industri sawit menemukan 3,3 juta hektar tutupan sawit di kawasan hutan. ”Perkebunan sawit yang ada di kawasan akan diputihkan. Mau diapakan lagi? Tak mungkin dicabut karena itu terpaksa diputihkan,” ujar Luhut dalam jumpa pers di kantornya, di Jakarta (Kompas.id, 24/4/2023).
Sebagai tindak lanjut, pemerintah meminta perusahaan melaporkan secara mandiri data perusahaan yang meliputi informasi umum, legalitas dan produk hukum, serta perizinan perusahaan melalui laman Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun) pada 3 Juli-2 Agustus 2023 yang kemudian diperpanjang lagi pada 23 Agustus-8 September.
Luhut menyebut, masalah kebun sawit di kawasan hutan akan diselesaikan dengan dua skema, yakni Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Dengan regulasi itu, Eropa berupaya mengendalikan harga sawit dunia. ( Eugenia Mardanugraha)
UU Antideforestasi
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Eugenia Mardanugraha mengatakan, sawit Indonesia juga tidak akan lepas dari hambatan dagang dalam beberapa tahun ke depan. Hal terbaru yang berpotensi menjadi hambatan dagang adalah Undang-Undang Antideforestasi (EU Deforestation Regulation/EUDR) yang dikeluarkan Uni Eropa.
”Dengan regulasi itu, Eropa berupaya mengendalikan harga sawit dunia,” kata Eugenia.
Peneliti dari Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhamad Faisol Amir mengatakan, minyak sawit menjadi satu-satunya minyak nabati yang dikeluarkan dari energi baru terbarukan oleh Uni Eropa. Hambatan dagang ini harusnya membuat pemerintah, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya memperkuat posisi Indonesia di pasar internasional dengan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
Satuan tugas tata kelola industri sawit pun diharapkan bisa membuat peta jalan industri sawit nasional hingga 2045. Bagaimanapun, industri sawit menjadi salah satu penopang utama ekonomi nasional…