Peneliti Merayakan 200 Tahun Naturalis Alfred Russel Wallace
Dua abad kelahiran peneliti dan penjelajah asal Inggris, Alfred Russel Wallace, dirayakan para peneliti. Momentum ini mengingatkan bahwa Indonesia bisa berkontribusi bagi ilmu pengetahuan dan dunia.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·2 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Dua abad kelahiran Alfred Russel Wallace harus menjadi momentum peneliti untuk terus melahirkan inovasi bagi dunia. Semuanya harus mempertimbangkan keanekaragaman hayati saat berbagai potensinya dikembangkan.
Hal itu dikatakan Rektor Universitas Hassanudin Prof Jamaluddin Jompa di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (14/8/2023). Dia menyampaikannya dalam acara bertema ”Wallacea Science Symposium and Tracking the Footprints of Alfred Russel Wallace in Maros” yang digelar Unhas dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
”Peran Wallacea signifikan menghasilkan kajian ilmiah yang berujung dengan ditandainya suatu kawasan yang memiliki endemisitas yang unik,” kata Jamaluddin.
Salah satu hal yang mendapat perhatian penting dalam simposium itu terkait potensi panas bumi di Garis Wallacea.
Ketua Pusat Penelitian Panas Bumi, Fakuktas Teknik Universitas Gadjah Mada, Pri Utami mengatakan, Indonesia termasuk wilayah Wallacea yang mempunyai potensi panas bumi besar. Totalnya 24 gigawatt atau 24.000 megawatt. Untuk mengelolanya, butuh keseriusan dan kemauan pemerintah, juga investor.
”Ada sejumlah persoalan, misalnya biaya ekstraksi cukup besar dan belum tentu satu sumur yang diekstraksi bisa menghasilkan,” kata Pri Utami.
Dia berharap bakal ada solusi terkait itu. Bila bisa dikembangkan, potensi itu akan sangat bermanfaat bagi negara ini.
”Misalnya, jika kandungan panasnya kurang, bisa ditambahkan fluida lain. Atau, bisa dicarikan teknologi agar panas yang kurang ini bisa dimaksimalkan,” ujarnya.
Pri Utami mengatakan, penelitian di medan vulkanik Tomohon Minahasa di Sulawesi Utara menunjukkan, ada kemungkinan besar potensi energi panas. Pemanfaatannya untuk pengolahan produk pertanian, produksi energi hijau baru, dan pengembangan wisata panas bumi.
”Panas bumi lebih stabil dibandingkan dengan pembangkit berbasis energi baru terbarukan lainnya,” katanya.
Sementara itu, Prof Ngakan Putu Oka, peneliti konservasi hutan dari Fakuktas Kehutanan Unhas, mengingatkan, ekosistem di kawasan biogeografis ini sangat rapuh. Ini ditandai dengan tingginya tingkat keendemikan yang rentan berujung kepunahan.
”Perkembangan perkebunan kelapa sawit semakin meluas di wilayah ini, khususnya di Pulau Sulawesi. Kawasan Wallacea juga merupakan rumah bagi nikel melimpah yang menjadi primadona logam. Kegiatan tersebut mengancam keanekaragaman hayati di kawasan Wallacea,” katanya.
Dia mengatakan, meski pemerintah telah menetapkan ekosistem darat dan laut sebagai kawasan konservasi, mustahil melindungi semua perwakilan ekosistem di kawasan ini.
”Karena itu, sangat penting bagi penyedia dana dan pakar konservasi mengakui keunikan kawasan Wallacea dan melestarikan keanekaragaman hayatinya,” ujarnya.