Subak Tak Sekadar Warisan Budaya
Subak menjadi daya tarik wisata alam dari Bali. Subak juga warisan budaya Bali yang diakui dunia. Subak memerlukan perhatian agar lestari hingga masa depan.
I Made Jati (68) hanya mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuannya ketika seorang turis memotretnya. Ia juga tidak menolak saat dirinya diminta berpose untuk dipotret turis di pematang sawah.
Jati bukanlah peragawan atau model, melainkan seorang petani penggarap yang sedang membersihkan lahan di area sawah terasering Tegallalang, Gianyar, Jumat (11/8/2023). Tanpa banyak bicara antara Jati dan turis, keduanya hanya saling tersenyum seusai sesi berfoto di lokasi wisata alam itu.
”Kami senang karena tamu sudah kembali datang dan mulai ramai,” kata Jati.
Bagi Jati, kedatangan turis ke obyek wisata terasering Tegallalang itu kembali menghidupkan roda ekonomi warga setempat. ”Memang tidak pasti hasilnya karena terkadang diberikan tip sekadarnya. Namun, kalau tidak ada tamu, kami mungkin tidak mendapatkan hasil apa pun dari bertani. Ketika tamu sepi selama Covid-19, kami juga gagal panen karena serangan hama,” ujar Jati.
Terasering Tegallalang atau dikenal juga sebagai terasering Ceking di Kecamatan Tegallalang, sekitar Ubud, Gianyar, Bali, ramai dikunjungi wisatawan, khususnya turis asing. Untuk memasuki area itu, baik wisatawan asing maupun domestik mesti membayar tiket masuk Rp 25.000 per orang. Tarif itu sesuai keputusan pemerintah desa.
Baca juga: Hadapi Beragam Tantangan, Pelestarian Subak di Bali Perlu Dukungan Bersama
Panorama sawah berundak di lereng bukit itu memang menarik perhatian. Sepasang turis asal Tokyo, Jepang, pun mengungkapkan kekagumannya sambil memandang hamparan terasering Tegallalang. Hamparannya berada di dua desa bertetangga, yakni Tegallalang dan Kedisan. Lokasi wisata lebih dikenal sebagai terasering Tegallalang karena jalur wisata melintasi Desa Tegallalang.
”Beberapa krama (warga) pemilik sawah mungkin menikmati dampak wisata terasering ini. Kebetulan sawah saya berada di belakang sehingga jarang didatangi turis,” kata I Wayan Sukanata (49), petani di Banjar Kebon Desa Kedisan, Tegallalang.
Bertani di sawah masih menjadi pencarian sekitar 60 warga yang bergabung dalam Subak Kebon Banjar Kebon Desa Kedisan. Diakui Sukanata, bertani bukanlah pekerjaan yang menarik saat ini. Namun, pekerjaan itu masih dianggap mulia karena hasilnya mampu untuk menghidupi keluarga.
”Setidaknya, kami dapat mencukupi kebutuhan pangan dan tidak perlu membeli beras,” kata Sukanata.
Warisan budaya
Masyarakat Bali, termasuk pula Indonesia, berbangga ketika UNESCO dalam Sidang Ke-36 Komite Warisan Dunia di St Petersburg, Rusia, 2012, menetapkan subak sebagai bagian warisan budaya dunia. Meskipun tidak diketahui secara pasti awal keberadaan subak di Bali, pola bercocok tanam itu sudah dikenal masyarakat di Bali mulai pertengahan abad ke-11 Masehi.
Baca juga: Regenerasi Petani demi Pertahankan Eksistensi Subak di Bali
Dalam tulisan berjudul ”Terowongan sebagai Instrumen Subak dan Pengalaman Seorang Undagi di Bali”, yang dimuat dalam buku Subak dan Kerta Masa: Kearifan Lokal Mendukung Pertanian Berkelanjutan, I Wayan Alit Artha Wiguna dan Suprio Guntoro dari Balai Pengkajian Teknologi Bali menyebutkan, subak sudah muncul di sejumlah prasasti di Bali pada abad ke-11 Masehi.
Subak berasal dari kata wak, yang berarti bak atau saluran air. Terkait itu, subak dimaknai sebagai pembagian air dari satu sumber, yang dibagi ke dalam bagian-bagiannya.
Subak ini warisan dari leluhur. Sayang jika tidak dimanfaatkan dan dilestarikan.
Pengakuan dari UNESCO itu merefleksikan pengakuan dunia terhadap nilai luar biasa dan universal subak sehingga dunia ikut melindunginya. Pengakuan itu sekaligus menegaskan subak sebagai budaya asli Indonesia. Adapun lima titik lanskap subak di Bali yang diusulkan sebagai warisan dunia adalah Pura Subak Danau Batur, Danau Batur, Subak Pakerisan, Subak Catur Angga Batukaru, dan Pura Taman Ayun.
Kompas edisi Selasa (9/4/2019) memberitakan, subak yang diakui UNESCO seluas 19.519,9 hektar dengan kawasan penunjangnya mencapai 1.454,8 hektar. Total ada 17 subak, masing-masing 14 subak di Kabupaten Tabanan dan tiga subak di Kabupaten Gianyar.
Pemerintah Provinsi Bali mengakomodasi keberadaan subak dan secara normatif menjaga eksistensi subak melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak. Pemprov Bali mengalokasikan bantuan keuangan khusus (BKK) pada tahun anggaran 2023 sebesar Rp 28,59 miliar kepada 2.859 subak di seluruh Bali.
Pengakuan pemerintah terhadap keberadaan subak kembali dikuatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali. Adapun subak dalam ketentuan itu adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat Bali bersifat sosioagraris, religius, dan ekonomis, yang secara historis terus tumbuh dan berkembang.
Dalam buku Subak dan Kerta Masa: Kearifan Lokal Mendukung Pertanian Berkelanjutan, Faisal Kasryno bersama Effendi Pasandaran dan Achmad M Fagi juga menuliskan, sistem subak merupakan kelembagaan pengelolaan irigasi pedesaan.
Subak juga mencakup nilai dasar, yang terkandung dalam Tri Hita Karana sebagai filsafat hidup masyarakat Bali. Di dalamnya mengandung keserasian pengelolaan sumber daya lahan dan air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS).
Tantangan
Semasa hidupnya, pakar subak, yang juga tim penyusunan proposal warisan budaya dunia (WBD) subak, I Wayan Windia, kerap melontarkan keprihatinannya atas eksistensi subak di Bali yang mengalami tekanan dan ancaman dari berbagai sisi. Subak di Bali, menurut Windia, termarginalisasi dan terancam alih fungsi lahan akibat hegemoni kapitalisme.
Senada, Rektor Universitas Dwijendra, yang juga ahli subak dan Ketua DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali, I Gede Sedana mengatakan, ancaman terhadap subak semakin kuat karena sektor pertanian belum menjadi tumpuan bagi masyarakat.
”Anak-anak muda tidak dapat dipaksa bertani, kecuali memberikan kemungkinan keuntungan ekonomi yang tinggi, misalnya, urbanfarming,” kata Sedana.
Ketua Dewan Pimpinan Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Catrini Pratihari Kubontubuh menyatakan, subak adalah warisan budaya yang sangat berharga. Bali beruntung memiliki subak karena merupakan rumah elemen budaya, sosial, spiritual, ritual, dan tradisi.
”Subak ini warisan dari leluhur. Sayang jika tidak dimanfaatkan dan dilestarikan,” kata Catrini di Desa Selat, Karangasem, Senin (24/7).
Dalam acara jamuan makan malam serangkaian perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-77 Serikat Perusahaan Pers (SPS) di kompleks Jaya Sabha, kediaman Gubernur Bali, di Kota Denpasar, Jumat (11/8/2023), Gubernur Bali Wayan Koster mengungkapkan ambisinya untuk mengurangi impor bahan pokok ke Bali dan mengoptimalkan penggunaan produk lokal, termasuk beras dan bawang putih.
Koster menyebutkan, pemerintah sepatutnya mengutamakan penggunaan produk lokal dibandingkan dengan mengantungkan pada bahan impor meskipun harga produk lokal lebih mahal. Ia pun menggencarkan penanaman bahan pokok dan pemanfaatan produk lokal demi kedaulatan pangan. ”Ini untuk kesejahteraan masyarakat lokal,” katanya.
Keinginan dan harapan menyejahterakan petani dan krama subak di Bali, seperti diamanatkan UU Provinsi Bali, tentunya membutuhkan komitmen dan aksi nyata. Secara nyata, subak semakin menghilang di kawasan perkotaan di Bali dan sedang terdesak keberadaannya di perdesaan.
Pemilik sawah dan krama subak seperti Wayan Sukanata maupun petani penggarap seperti Made Jati memerlukan perhatian dan dukungan. Dengan demikian, mereka mau dan mampu terus merawat kehidupan pertanian sawah di Bali, yang juga menjadi sumber budaya dan daya tarik wisata Bali di mata dunia.