Ibu di Brebes Diperiksa Kejiwaannya Seusai Melakukan Kekerasan pada Bayinya
Ibu yang melakukan kekerasan terhadap bayinya hingga tewas di Brebes, Jateng, diperiksa kondisi kejiwaannya. Penyidik juga diminta memastikan apakah pelaku pernah mendapat kekerasan dari pihak lain.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
BREBES, KOMPAS — SS (24), seorang ibu di Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, melakukan kekerasan hingga menyebabkan bayinya yang berusia 20 hari tewas. Polisi masih menunggu hasil pemeriksaan kejiwaan terhadap SS yang diduga kuat depresi.
SS melahirkan bayi laki-laki yang merupakan anak pertamanya, AF, pada Sabtu (15/7/2023) melalui operasi caesar. Sehari-hari, SS tinggal di rumah milik mertuanya, bersama suaminya, MAR (27), dan mertua perempuannya, SR (68).
Pada Rabu (2/8/2023) sekitar pukul 19.30, SS tidur bersama AF dan SR di kasur yang sama. Sementara itu, MAR tidur di kamar yang sama, tetapi di lantai. Saat sedang tidur, pada Kamis (3/8/2023), MAR dan SR dibangunkan oleh SS, sekitar pukul 02.00. SS mengaku kebingungan karena AF hilang. Padahal, pada Kamis sekitar pukul 01.00, SS bercerita dirinya masih menyusui AF.
Ketiganya lalu mencari AF ke kolong kasur hingga ke seluruh bagian rumah. Karena pencairan tak kunjung membuahkan hasil, mereka meminta bantuan saudara dan tetangga untuk membantu proses pencarian. Pada sekitar pukul 02.30, TP (61), tetangga mereka yang turut mencari AF, melihat benda mencurigakan di dalam sumur di rumah tersebut.
Setelah diamati beberapa saat, TP menyadari, yang dilihatnya adalah kaki bayi yang tak lain adalah kaki AF. TP dibantu warga lain langsung mengevakuasi tubuh AF dari dalam sumur. Namun, AF sudah dalam kondisi tidak bernyawa.
Warga menilai, peristiwa itu janggal. Bayi berumur 20 hari yang tidur bersama orangtua dan neneknya di sebuah kamar yang dikunci dari dalam ditemukan di dalam sumur. Kejadian itu lantas dilaporkan ke Kepolisian Sektor Bumiayu.
”Setelah melakukan olah tempat kejadian perkara, kami menggali keterangan mendalam kepada SS, MAR, dan SR. Ketiganya kami periksa terpisah. Dalam pemeriksaan itu, SS mengaku kepada saya bahwa dirinya yang menjatuhkan anaknya ke dalam sumur,” kata Kepala Polsek Bumiayu Inspektur Satu Kasam, saat dihubungi, Minggu (6/8/2023).
Menurut Kasam, SS sempat bercerita bahwa dirinya tidak kuat dengan beban kehidupan yang ditanggungnya. SS cemas keluarganya tidak bisa membiayai perawatan kesehatan pascaoperasi caesar yang dijalaninya karena MAR baru saja terkena pemutusan hubungan kerja. AF juga disebut SS sakit selama beberapa hari. Saat ditanya lebih lanjut oleh Kasam, SS tidak menjelaskan anaknya sakit apa.
”SS bilang, dirinya tidak punya tempat untuk cerita. Dia ini sejak kecil sudah yatim. Lalu ibunya juga sudah meninggal. Dia biasanya cerita dengan kakak tirinya, tapi kakak tirinya itu mungkin sedang repot jadi tidak bisa (mendengarkan cerita SS),” ucap Kasam.
(SS) diduga depresi. Saat ini masih diobservasi.
Setelah mengakui perbuatannya, SS lalu dibawa menuju Kepolisian Resor Brebes. Kasus itu pun dilimpahkan ke Satuan Reserse Kriminal Polres Brebes. Dikonfirmasi terpisah pada Minggu petang, Kepala Urusan Pembinaan Operasional Satreskrim Polres Brebes Inspektur Satu Puji Haryati mengatakan, pihaknya telah mengirim SS ke Rumah Sakit Umum Daerah DR Soeselo, Kabupaten Tegal, untuk menjalani pemeriksaan kesehatan jiwa.
”(SS) diduga depresi. Saat ini masih diobservasi. Lama observasi tergantung kondisi, biasanya paling cepat tujuh hari,” tutur Puji.
Sementara itu, Kepala Subbagian Humas RSUD DR Soeselo Slawi, Slamet Solehudin, mengatakan, secara umum, SS dalam kondisi sehat pada Minggu. ”Hanya saja, komunikasinya masih terbatas. Sehingga, kami belum bisa memberikan keterangan lebih banyak,” ujarnya.
Dalami
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Semarang, Raden Rara Ayu, menuturkan, selain mendalami kondisi kejiwaan SS, penyidik juga perlu menggali kondisi SS selama pernikahan, hamil, hingga melahirkan. Menurut Ayu, tidak sedikit ibu yang melakukan kekerasan terhadap anaknya merupakan korban kekerasan yang dilakukan oleh suami, keluarga, atau lingkungannya.
”Kita tidak bisa serta-merta menstigma ibu ini sebagai pembunuh. Kita perlu mendengar alasanya. Biasanya, ibu pelaku kekerasan ini merupakan korban kekerasan yang melampiaskan emosi ke anaknya karena dia tidak mendapatkan pemulihan psikologis, tidak mendapatkan tempat untuk bercerita, dan lingkungannya tidak mendukung dirinya,” kata Ayu.
Menurut dia, niat adalah unsur terbesar dari suatu tindak pindana. Jika memang suatu perbuatan pidana tidak diniati atau niat melakukan kejahatan itu di luar kendalinya, pelaku berhak mendapat keringanan.
”Sudah ada aturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kalau memang perbuatan itu di luar kendalinya, artinya dia ada gangguan kejiwaan, itu bisa mengajukan keringanan hukuman. Untuk proses ini, nanti perlu disertakan hasil visum et repertum psikiatrikum atau pemeriksaan kejiwaan pelaku,” imbuh Ayu.
Jika ke depan sudah ada keputusan hukum dan SS diharuskan menjalani hukuman, Ayu berharap, SS mendapatkan hak-haknya sebagai terpidana. Hak itu salah satunya hak pemulihan kondisi psikologis. Pemulihan psikologis dinilai Ayu penting supaya saat keluar dari lembaga pemasyarakatan, SS sudah siap kembali ke masyarakat dan tidak lagi berada pada situasi yang mengguncang psikologinya.