Novel ”Saman” Ayu Utami Lekat dengan Suasana Reformasi 1998
”Saman”, novel terlaris dari Ayu Utami, lekat dengan suasana Reformasi 1998. Karya Ayu Utami juga memunculkan wacana dan ikut memengaruhi karya novel dari pengarang lainnya.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Saman, novel terlaris karya Ayu Utami, dinilai turut memengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Melalui kumpulan cerita maupun novelnya, Ayu Utami juga menangkap suasana masyarakat, termasuk momen Reformasi 1998.
Perihal tautan karya sastra, khususnya cerita fiksi dari novelis Ayu Utami, dengan situasi Reformasi 1998 itu dibincangkan dalam acara Temu Buku serangkaian agenda Beranda Pustaka dalam Festival Seni Bali Jani (FSBJ) V, Kamis (27/7/2023), di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kota Denpasar. Selain menghadirkan dua pembahas, yakni jurnalis dan akademisi I Made Sujaya dan praktisi hubungan masyarakat, yang juga penerjemah teks, Sebastian Partogi, acara itu juga dihadiri Justina Ayu Utami, sang novelis.
Sujaya mengungkapkan, novel berjudul Saman karya Ayu Utami terbit dalam suasana Reformasi 1998. Pembacaan dari sisi sastra, menurut Sujaya, Saman juga menjadi penanda era keterbukaan bahasa di tengah-tengah kesantunan bahasa yang sedang menghegemoni saat itu.
”Saman menjadi hal baru dalam konteks wacana sastra,” kata Sujaya.
Sujaya mengatakan, Saman memberikan pengaruh pada pengarang-pengarang lain, terutama pengarang perempuan, dalam menghasilkan sastra fiksi. Novel-novel muncul dengan pemaparan lebih terbuka tentang feminisme, termasuk tentang tubuh.
”Ini juga menjadi sorotan dalam perbincangan atau wacana sastra saat itu,” ujar Sujaya menambahkan.
Penangkapan rasa atas novel karya Ayu Utami, yang senada Sujaya, diungkapkan Partogi. Ia tertarik untuk membaca novel Saman justru karena dilarang membaca novel itu.
”Katanya, buku (Saman) itu bacaan untuk orang dewasa. Setelah membaca kembali, saya merasakan karya Ayu Utami itu banyak lapisannya, tidak hanya tentang sensualitas,” ujar Partogi.
Ia tertarik untuk membaca novel Saman justru karena dilarang membaca novel itu.
Ketika mengawali acara, moderator menyebutkan, Ayu Utami dan novelnya, Saman, lekat dengan suasana masa Reformasi 1998. Ayu Utami adalah wartawan pada era Orde Baru, yang ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saman diterbitkan di tengah-tengah suasana Reformasi 1998.
Ayu Utami menuturkan, novel Saman diterima sebagai cerita sukses. Akan tetapi, cerita sukses Saman karena adanya kontroversi dan momen masa.
Ayu menulis Saman karena adanya momen, di antaranya, kegagalannya sebagai aktivis dan wartawan. Menulis sastra saat itu menjadi pilihan lantaran dirinya dilarang membuat tulisan jurnalistik.
Ayu mengaku Saman bukanlah buku novel pertamanya. Ia pernah membuat novel bertema petualangan remaja semasa masih di bangku SMA, tetapi bahan novelnya tidak diterbitkan karena pihak penerbit menilai karyanya belum matang. Ia juga mengaku terus belajar karena masih sering menemui kendala dalam menulis dan kesulitan menentukan alur cerita untuk novelnya.
Acara Temu Buku adalah bagian dari program Beranda Pustaka FSBJ, perayaan seni dan budaya Bali modern, yang digelar setiap tahun sejak 2019. FSBJ 2023 merupakan penyelenggaraan tahun kelima.
Dalam kesempatan itu hadir pula sejumlah penulis dan sastrawan, di antaranya, Putu Suasta, Hartanto, dan Goenawan Mohamad. Temu Buku siang itu juga diisi pembacaan nukilan dari novel Saman, yang dibawakan penulis asal Bali, Putu Ayu Chumani Pranatthi.