Hadapi Beragam Tantangan, Pelestarian Subak di Bali Perlu Dukungan Bersama
Subak di Bali, yang sudah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO, memerlukan dukungan dan perhatian agar lestari dan berkelanjutan. Subak terancam terdegradasi akibat sejumlah kondisi, di antaranya alih fungsi lahan.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
KARANGASEM, KOMPAS — Subak, sistem pengairan pertanian di Bali, menghadapi tantangan alih fungsi lahan, perubahan sosial dan ekonomi masyarakat, serta regenerasi petani. Butuh dukungan semua pihak untuk menjaga subak, tetap menjadi warisan budaya, modal pariwisata, dan benteng ketahanan pangan masyarakat.
Keprihatinan itu mengemuka dalam kegiatan sekolah lapangan Bali International Field School for Subak (BIFSS) 2023 di Desa Selat, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali, Senin (24/7/2023).
Acara ini digelar Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) bersama Yayasan Bali Kuna Santi dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo. Program sekolah lapangan, yang diikuti belasan peserta dari Indonesia dan Jepang, Minggu (23/7/2023) hingga Jumat (28/7/2023).
Pakar subak, yang juga Rektor Universitas Dwijendra Denpasar, I Gede Sedana mengatakan, subak di Bali terus tergerus. Selain akibat alih fungsi lahan, subak terdesak persaingan pasokan air.
”Hasil survei juga menunjukkan anggota subak relatif berusia tua dengan usia lebih banyak di atas 50 tahun,” kata Sedana.
Sedana menambahkan, regenerasi anggota subak di Bali juga tidak berjalan lancar. Sedikit dan jarang dari kalangan generasi muda yang mau bertani.
Selain karena kalangan generasi muda di Bali semakin baik pendidikannya, juga karena masih adanya penilaian bahwa bertani itu tidak memberikan keuntungan secara ekonomi.
”Petani yang usianya relatif menua itu tidak dapat dihindarkan. Anak-anak muda tidak dapat dipaksa bertani, kecuali memberikan kemungkinan keuntungan ekonomi yang tinggi, misalnya, urban farming,” kata Sedana.
Ketua Dewan Pimpinan BPPI Catrini Pratihari Kubontubuh mengatakan, subak adalah warisan budaya, yang sangat berharga. Bali beruntung memiliki subak karena merupakan rumah elemen budaya, sosial, spiritual, ritual, dan tradisi.
”Subak ini warisan dari leluhur. Sayang jika tidak dimanfaatkan dan dilestarikan,” kata Catrini.
Peserta sekolah lapangan, Wina Sulistyo Nur Anggraheni, mempertanyakan manfaat dan keuntungan apa, yang diperoleh menjadi petani tradisional, sehingga subak dan petani anggota subak akan dapat bertahan.
Senada Wina, peserta lain, juga mempertanyakan minimnya regenerasi petani juga dipengaruhi penilaian, yang ditanamkan, kepada generasi muda bahwa menjadi petani itu bukan pekerjaan, yang bergengsi.
Menurut Sedana, faktor ekonomi turut memengaruhi sedikitnya perhatian terhadap pertanian di Indonesia, termasuk subak di Bali.
Mayoritas petani di Indonesia, juga di Bali, disebut Sedana, mengelola lahan yang sempit, kurang dari setengah hektar per petani. Tidak sedikit pula petani subak itu merupakan petani penggarap.
”Penghasilan petani sangat kecil,” kata Sedana.
Pangan
Di sisi lain, pemenuhan pangan dan ketahanan pangan menjadi penting dan mendasar. Sedana menyatakan, ancaman krisis pangan sedang menjadi persoalan global.
”Alat utama dalam pemenuhan dan ketahanan pangan itu adalah lahan sawah dan adanya sumber daya manusia, yakni, petani,” kata Sedana.
Sedana menambahkan, selain sebagai sumber pangan, subak di Bali juga berperanan dalam pembangunan di perdesaan dan di perkotaan. Lahan sawah juga berperan dalam mengendalikan dampak perubahan iklim.
”Persawahan dapat berfungsi sebagai resapan dan penampung air hujan. ”Jadi, (sawah) ada manfaat ekologi,” ujar Sedana.
Kyohei Kondo, peserta sekolah lapangan BIFSS 2023 dari Jepang, mengungkapkan, pertanian Jepang-Indonesia menghadapi permasalahan masing-masing. Menurut Kyohei, pertanian di Jepang banyak dikendalikan perusahaan agrikultur. Sementara itu, petani di Indonesia disebutnya lebih mandiri dibandingkan petani di Jepang.
”Kendali dari perusahaan itu juga memberikan dampak positif, di antaranya produksi pertanian dikontrol kualitasnya,” kata Kyohei.
Kyohei berpendapat, dengan kemandiriannya, petani di Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak lain, termasuk perusahaan, dalam mengembangkan produk pertanian, yang berkualitas.
”Menurut saya, petani Indonesia mampu menghasilkan produk beras yang berkualitas dan dapat diekspor,” ujar Kyohei.
Menurut Sedana, pertanian, dan juga subak, memerlukan dukungan dan perhatian dari multipihak, termasuk pemerintah dan perusahaan. Sedana mencontohkan kerja sama multipihak di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mampu menghasilkan produk pertanian berkualitas dan dapat menembus pasar ekspor.
”Diperlukan dukungan dari industri dan pemerintah untuk mengembangkan pertanian dan sekaligus membuka pasar,” kata Sedana.