Kecelakaan fatal di laut seperti dialami KLM Putri Kuning di Selat Madura atau rakit penyeberangan di Buton memperlihatkan pengabaian sehingga keselamatan penumpang atau kru tidak terjamin.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Hampir sepekan operasi pencarian dan pertolongan atau SAR belum berhasil menemukan satu korban kecelakaan Kapal Layar Motor Putri Kuning di Selat Madura perairan Giligenting, Sumenep, Jawa Timur. Korban yang belum ditemukan ialah Irianti (9) dari Jatisari, Klatakan, Kendit, Situbondo.
Kecelakaan laut Putri Kuning, kapal niaga dengan tanda selar GT06 No.531/JWT 6, menjadi kasus setidaknya ke-20 sejak awal 2023 yang dihimpun dari pemberitaan Kantor SAR Surabaya dan Direktorat Polisi Perairan dan Udara Kepolisian Daerah Jatim. Putri Kuning melayani rute Panarukan di Situbondo-Pulau Giliraja di Giligenting, Sumenep.
Kapal berangkat dari Panarukan pada Selasa (18/7/2023) sekitar pukul 23.00. Saat dalam perjalanan di perairan Giligenting, Rabu (19/7/2023) sekitar pukul 02.00, kapal terkena cuaca buruk dan diduga menabrak instalasi rig atau anjungan lepas pantai milik perusahaan minyak dan gas bumi.
Kapal rusak dan tenggelam. Dua penumpang tewas, yakni Sumarni (48), ibunda Irianti, dan Sima (57), warga Pacaron, Pasir Putih, Bungatan, Situbondo. Tiga kru kapal dan empat penumpang selamat.
Korban tewas ditemukan terombang-ambing di perairan. Korban selamat yang ditolong nelayan dan pemancing juga terombang-ambing memanfaatkan material mengapung. Fakta ini menguatkan kenyataan bahwa pelayaran Putri Kuning tidak ditunjang dengan kelengkapan dasar dan standar untuk menjamin keselamatan jiwa, yakni jaket keselamatan atau pelampung.
Selain itu, Kepolisian Resor Sumenep juga belum dapat memastikan kabar adanya dua penumpang hilang, lelaki dan perempuan, yang juga menaiki Putri Kuning. Keberadaan kedua orang itu disampaikan oleh saksi korban selamat, tetapi tidak tercatat dalam manifes. Ini menandakan lemahnya pengawasan pelayaran terhadap Putri Kuning yang berangkat dari Pelabuhan Panarukan.
Adapun kasus-kasus kecelakaan laut lain di perairan Jatim terutama menyangkut kematian nelayan saat mencari penghidupan. Mereka melaut tanpa melengkapi diri dengan kelengkapan dasar. Saat melaut, kapal bocor atau rusak dan tenggelam akibat dihantam cuaca buruk atau ombak.
Minimal, dalam operasi nelayan atau membawa penumpang, life jacket harus disediakan sesuai dengan jumlah orang di kapal.
Mereka terpaksa menceburkan diri ke laut, tetapi karena tak punya jaket apung dan gagal memanfaatkan benda mengapung akhirnya kehilangan nyawa. Ini dialami Abdul Aziz (43), nelayan Gresik yang tewas tenggelam di perairan Bangkalan, Senin (27/2/203). Kejadian yang sama dialami Widji (58), nelayan Lamongan yang tenggelam di perairan Jenu, Tuban, Rabu (22/3/2023).
Menurut Guru Besar Kemaritiman Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Ketut Buda Artana saat dihubungi pada Selasa petang, kecelakaan fatal yang dialami terutama oleh pelayaran rakyat atau tradisional (nelayan) memperlihatkan pengabaian aspek keselamatan. Idealnya layanan angkutan umum, termasuk laut, tetap harus mengedepankan keselamatan, keamanan, dan pelayanan.
Kecelakaan fatal di laut berarti ada pengabaian keselamatan sebagai aspek paling penting. Ketiadaan pelampung dan kealpaan pengawasan sehingga ada penumpang tidak tercatat dalam dokumen perjalanan menjadi kesalahan mendasar.
”Padahal, life jacket (pelampung) terjangkau. Minimal, dalam operasi nelayan atau membawa penumpang, life jacket harus disediakan sesuai dengan jumlah orang di kapal,” ujar Ketut.
Tidak tercatat
Dari kasus Putri Kuning, adanya dua penumpang yang tidak tercatat, tetapi tenggelam dan belum bisa dipastikan, lanjut Ketut, menandakan pengabaian keselamatan oleh aparatur negara dalam pengawasan.
Seharusnya, aparatur negara di Pelabuhan Panarukan tidak mengizinkan Putri Kuning berlayar jika tidak ada kelengkapan standar, apalagi penumpang ilegal. ”Itu belum termasuk, misalnya, konstruksi kapal yang ideal, apalagi teknologi yang jika mahal akan benar-benar memberatkan sehingga diabaikan. Inilah lingkaran setan dalam keselamatan pelayaran,” katanya.
Secara terpisah, dalam keterangan tertulis, Bupati Sumenep Achmad Fauzi menyatakan belasungkawa terhadap korban kecelakaan laut Putri Kuning. Aparaturnya masih dilibatkan dalam operasi SAR.
Fauzi melanjutkan terus mendorong program perlindungan nelayan melalui Sistem Keamanan Pelayaran (SiKapal). Ini sistem identifikasi otomatis (AIS) berupa alat elektronik yang dapat mengirim sinyal darurat ke peladen narahubung 112. ”Semacam panic button (tombol panik) untuk mempercepat SAR,” ujarnya.
Kepala Kantor SAR Surabaya Muhamad Hariyadi mengatakan, kecepatan informasi tentang kecelakaan laut penting untuk meningkatkan peluang korban dapat diselamatkan. Kantor SAR Surabaya memiliki pos-pos dan unit-unit siaga se-Jatim yang setiap saat bisa segera dikerahkan untuk pelaksanaan operasi SAR.