Sedekah bumi dalam rangkaian perayaan Tahun Baru 1 Sura jadi upaya untuk melahirkan harmoni terhadap sesama, alam, juga Yang Mahakuasa.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Mentari pagi baru saja terbit di ufuk timur. Cahayanya menyibak pekatnya malam. Deburan ombak laut selatan mencumbui bibir Pantai Srandil. Seribuan orang berjalan kaki menuju pantai lengkap dengan panji-panji serta Sang Saka Merah Putih.
Wangi dupa mengiringi serangkaian doa. Aneka hasil bumi, jajanan pasar, tumpeng, juga puluhan tukik alias anak penyu bersiap dilarung ke lautan lepas. Lewat sedekah bumi peringatan 1 Sura, Putra Wayah Paguyuban Cahya Buwana berupaya menjaga harmoni terhadap sesama, alam semesta, juga Yang Mahakuasa.
”Untuk memperingati malam 1 Sura, kami mengadakan sedekah bumi. Jadi kalau di Srandil ada tokoh yang diutamakan, yaitu Kaki Semar dan Kanjeng Ibu Ratu Kidul. Sebenarnya sedekah bumi itu kita berbagi ke semesta, menghormati semesta,” kata Rara Istiati Wulandari atau yang lebih dikenal dengan Rara Pawang Hujan di Srandil, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (21/7/2023).
Di bibir pantai, dua buah jolen (wadah sesaji) berbentuk naga serta burung penuh berisi sayur-mayur, dan buah-buahan. Ada jagung, cabai, pisang, kelapa, terung, kangkung, serta umbi-umbian. Di belakangnya terdapat dua buah gunungan yang berisi aneka jajanan pasar dan juga hasil bumi seperti padi, cabai, dan jagung.
Adapun di depan para sesepuh paguyuban, terhampar aneka sesaji meliputi aneka kembang, ayam ingkung, 6 tumpeng aneka warna, ikan laut, kelapa muda, dan seperangkat kosmetik lengkap dengan sepatu perempuan.
Di sekitarnya terdapat dua kotak styrofoam yang berisi 38 tukik atau anak penyu. Ada yang berusia 1 bulan serta ada yang berusia 13 bulan.
Setelah rangkaian ritual dan doa selesai dipanjatkan, para Putra Wayah Cahya Buwana beranjak dari silanya kemudian mengantarkan aneka persembahan serta tukik-tukik itu ke bibir pantai. Deburan ombak yang kencang seolah menyambut sekaligus menyeret beragam rupa sesaji tersebut. Para tukik pun ikut dilepasliarkan. Mereka berenang bebas ke lautan lepas.
Setelah sesaat aneka sesaji terombang-ambing di permukaan ombak, orang-orang berkejaran meraih jolen dan gunungan itu lalu berebutan mengambil hasil bumi dan segala isi jolen tersebut untuk dibawa pulang.
Ketua Paguyuban Cahya Buwana Darmawan menyampaikan, pelepasan tukik dalam prosesi sedekah bumi mengandung makna mendalam. ”Penyu adalah hewan yang ketika dilepas ke alam, akan kembali ke tempat asalnya saat bertelur. Sama seperti manusia ketika dilahirkan ke dunia nantinya akan kembali ke sumbernya, ke asalnya. Dari mana asalnya dan akan kembali pada asalnya, yaitu dari Gusti kembali ke Gusti,” kata Darmawan.
Ketua Kelompok Konservasi Penyu Nagaraja Jumawan menyebutkan, sebanyak 38 tukik itu berasal dari telur-telur penyu yang diamankan dari serangan predator, seperti musang dan ular juga nelayan pencari telur penyu. Penyu-penyu itu kemudian ditangkarkan beberapa saat. Setelah siap, tukik itu diadopsi oleh Paguyuban Cahya Buwana untuk dilepasliarkan ke alam.
”Pelepasliaran ini bagian dari ritual ibadat dan juga pelestarian lingkungan. Terutama dari umat Kejawen ini memang untuk memperhatikan ekologi di mana kita harus bisa menyeimbangkan alam agar alam tetap lestari,” kata Jumawan.
Paguyuban yang dirintis oleh almarhum Sarwo Dadi Ngudiono sejak 1990 ini beranggotakan ribuan orang dari sejumlah kota. Tidak melihat agama ataupun golongan, paguyuban yang rutin menggelar sarasehan setiap malam Jumat Kliwon ini, menurut Darmawan, jadi wadah menggali kesejatian hidup serta melestarikan budaya Jawa.
Rara Pawang Hujan yang menegaskan dirinya ber-KTP aliran kepercayaan menyampaikan bahwa Indonesia adalah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. ”Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Yang penting keyakinan terhadap Tuhan Yang Mahaesa dan kita menghargai perbedaan. terutama aku ini suka Semar, kami meneladani leluhur, ajaran-ajaran Semar: Manunggaling Kawula Gusti. Yang terpenting adalah apa pun agamamu, apa pun keyakinanmu, berbuat baiklah,” kata Rara.
Sedekah bumi juga jadi wujud syukur atas rezeki yang telah diberikan oleh Yang Mahakuasa kepada para ciptaan-Nya. Selain itu, lewat serangkaian perayaan Tahun Baru 1 Sura 1957 Saka Jawa di Srandil, Cilacap, setiap orang juga diingatkan untuk ojo dumeh, eling, lan waspodo atau jangan takabur (jangan mentang-mentang), ingat dan waspada. Lewat sedekah bumi, kiranya harmoni tumbuh subur di bumi pertiwi.