Penyadaran Persaudaraan melalui Sekolah Kebhinekaan
Masyarakat, terutama kaum muda, perlu menjaga persudaraan. Hal itu penting ditekankan terutama pada sistuasi menjelang pemilu seperti sekarang.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Masalah pluralitas, perbedaan identitas masing-masing yang ada di masyarakat, kerap diangkat sebagai isu panas yang akhirnya berpotensi memecah belah masyarakat menjelang pemilu. Mengantisipasi kondisi tersebut, maka menjelang Pemilu 2024, segenap masyarakat, terutama kalangan muda, perlu disadarkan kembali tentang keberagaman yang sebenarnya sudah menjadi komponen penting dari kehidupan persaudaraan di Indonesia sejak dahulu.
”Orang-orang muda perlu disadarkan kembali bahwa pemilu hanya sementara, sementara persudaraan adalah untuk selamanya,” ujar Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Kevikepan Kedu Romo Christophorus Sutrasno Pr, saat memberikan sambutan, membuka acara Sekolah Kebhinekaan Kevikepan Kedu yang digelar di Wisma Sejahtera, Kota Magelang, Sabtu (22/7/2023).
Program Sekolah Kebhinekaan sendiri, menurut Romo Christophorus, juga sengaja digelar dengan mempertimbangkan potensi terjadinya perpecahan tersebut. Sekolah Kebhinekaan ini diikuti oleh 46 anak muda, mulai dari pelajar SMA hingga mahasiswa. Para peserta berasal dari umat lintas agama, terdiri dari Katolik, Kristen, Islam, Buddha, dan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal ini, kekhawatiran dari gereja mulai muncul setelah melihat hasil survei dari harian Kompas di tahun 2022 yang menyebutkan bahwa sekitar 70 persen responden khawatir Pemilu 2024 akan berdampak menghilangkan rasa toleransi masyarakat.
Kekhawatiran pun semakin bertambah karena Pemilu 2019 sudah memberikan banyak contoh, kasus nyata yang membuktikan bahwa perbedaan pandangan politik sungguh-sungguh bisa memupus rasa persaudaraan, bahkan di lingkup individu yang memang terikat hubungan darah sebagai saudara atau kerabat sekalipun.
Romo Christophorus mengatakan, perbedaan identitas yang kerap dibawa-bawa sebagai isu politik adalah masalah perbedaan agama. ”Entah kenapa, agama selalu menjadi kendaraan yang paling mudah dipakai untuk meraih suara dalam pemilu,” ujarnya.
Vikaris Episkopal Kevikepan Kedu, Romo Antonius Dodit Haryono Pr, mengatakan, anak-anak muda memang hanya menjadi sebagian kecil dari kelompok masyarakat saat ini. Kendatipun demikian, memberikan penyadaran bagi mereka, akan tetap bermakna penting bagi kehidupan mereka di masyarakat.
”Kaum muda ini ibarat kelompok yang menyalakan lilin kecil di tengah kegelapan. Namun, hal tersebut jelas jauh lebih baik, daripada kita membiarkan mereka terseret ikut tenggelam dalam kegelapan tersebut,” ujarnya.
Potensi terpecah belahnya masyarakat juga makin terbuka lebar dengan beragam unggahan-unggahan yang mengangkat beragam perbedaan identitas, di media sosial.
Entah kenapa, agama selalu menjadi kendaraan yang paling mudah dipakai untuk meraih suara dalam pemilu.
Sekolah Kebhinekaan akan diisi berbagai kegiatan untuk menyadarkan tentang makna penting persaudaraan demi mencegah bahaya perpecahan tersebut. Selain banyak melakukan diskusi pemahaman tentang situasi sekitar saat ini, di akhir kegiatan, para peserta diminta untuk membuat konten positif di media sosial, yang dimaksudkan juga membantu menyebarkan pesan penting untuk menjaga persaudaraan terlebih menjelang Pemilu 2024.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Magelang Sofia Nur mengatakan, Sekolah Kebhinekaan ini diharapkan dapat membantu, mendorong anak-anak muda, terutama di Kota Magelang, agar mampu menjaga sikap menjalin persaudaraan dan toleransi di masyarakat.
Kota Magelang sendiri, menurut dia, terus berupaya menjaga sikap, perilaku toleransi di masyarakat. Hal ini, antara lain, dilakukan dengan mulai menyusun program kampung moderasi beragama, yang dalam waktu dekat akan segera dilakukan di tiga lokasi di Kota Magelang.