Manuskrip Kuno Peninggalan Syekh Abdul Latif Syakur di Sumbar Didigitalisasi
Digitalisasi manuskrip kuno peninggalan Syekh Abdul Latif Syakur (1882-1963) diharapkan dapat menyelamatkan isi naskah dan membuka akses penelitian terhadap manuskrip ini.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Pegiat konservasi naskah kuno di Kota Padang, Sumatera Barat, melakukan digitalisasi terhadap manuskrip kuno peninggalan Syekh Abdul Latif Syakur (1882-1963) asal Nagari Balai Gurah, Kabupaten Agam. Digitalisasi diharapkan dapat menyelamatkan isi naskah dan membuka akses penelitian terhadap manuskrip itu.
Digitalisasi dilakukan tim yang terdiri atas delapan orang, yaitu dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara Komisariat Sumbar, Surau Intellectual for Conservation, dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Andalas. Proses digitalisasi dilakukan selama Juli ini.
Manuskrip tersebut selama ini dirawat oleh keluarga Syekh Abdul Latif Syakur di Nagari Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek, Agam. Atas izin keluarga, manuskrip berjumlah sekitar 59 bundel dengan total sekitar 8.000 halaman ini dibawa ke Padang untuk didigitalisasi di rumah salah satu anggota tim.
”Naskah ini merupakan satu koleksi penting dalam melihat tradisi intelektual yang pernah dilakukan Syekh Abdul Latif Syakur. Peninggalannya sampai sekarang masih dapat dilihat, salah satunya teknik menghafal Al Quran dengan cara menulis dan membaca,” kata Pramono, ketua tim sekaligus filolog Universitas Andalas, Rabu (19/7/2023).
Dalam proses digitalisasi di lokasi, Selasa siang, tim membersihkan manuskrip, kemudian membuat metadata fisik, memfoto manuskrip, lalu menyimpannya ke dalam map. Selanjutnya, tim akan membuat metadata isi manuskrip berdasarkan foto naskah. Usai digitalisasi, manuskrip akan dikembalikan ke pemilik dengan kemasan kotak khusus agar lebih aman dan awet. Kondisi manuskrip ada yang bagus, mulai rusak, hingga rusak.
Pramono mengatakan, manuskrip tersebut terbagi atas dua kategori. Pertama, manuskrip abad ke-18 hingga awal abad ke-19 yang merupakan sumber bacaan Syekh Abdul Latif Syakur. Kedua, manuskrip yang ditulis Syekh Abdul Latif Syakur pada awal abad ke-20.
”Ini menandakan kecendekiaan, ada sumber rujukan, dikembangkan menjadi karya-karya lain. Syekh mempribumikan ajaran dari ulama Timur Tengah, kemudian dimaknai dan diubah menjadi teks-teks yang bisa dimengerti masyarakat pembaca,” ujarnya.
Syekh Abdul Latif Syakur merupakan murid langsung dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabauwi (1860–1916), ulama besar asal Minangkabau di Arab Saudi. Semasa hidupnya, Syekh Abdul Latif Syakur dikenal sebagai ulama penulis tafsir, pengajar dan pendiri sekolah, dan produktif menerbitkan karya-karya tulis.
Menurut Pramono, manuskrip Syekh Abdul Latif Syakur ini menggunakan aksara Arab dan Jawi serta bahasa Arab dan Melayu. Umumnya berisi tentang teks keagamaan, termasuk tafsir Al Quran secara tematis, seperti tafsir tentang cinta Tanah Air, pembelaan terhadap kaum perempuan, dan tafsir-tafsir berkenaan dengan hubungan antarsesama manusia.
Meskipun dominan teks keagamaan, kata Pramono, beberapa manuskrip juga berisi tentang kuliner dan dunia masak-memasak. Masakan itu rata-rata masakan Timur Tengah dan Barat berbahan ayam dan daging. ”Syekh Abdul Latif Syakur satu-satunya—mungkin yang kami ketahui—ulama yang gemar memasak,” ujarnya.
Pramono menyebut, pihak keluarga Syekh Abdul Latif Syakur sampai sekarang masih mencatat bagaimana memasak daging kambing supaya tidak bau. Masyarakat sekitar Balai Gurah selalu bertanya kepada ahli waris bagaimana cara memasak daging kambing tidak bau.
Ditambahkan Pramono, upaya digitalisasi manuskrip Syekh Abdul Latif Syakur ini bagian dari program Wikisource Loves Manuscripts (Wilma). Wilma diinisiasi oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dan Wikimedia Foundation. Sebelumnya, program Wilma juga dilaksanakan di Bali dan Yogyakarta.
Secara terpisah, cicit Syekh Abdul Latif Syakur, Zul Ashfi (37), mengatakan, proses digitalisasi manuskrip peninggalan Syekh diharapkan menjadi nilai tambah dan kemajuan untuk peradaban di Nusantara. Sosok yang dikenal banyak memiliki karya tulis dari berbagai disiplin ilmu ini layak menjadi bagian kemajuan itu.
”Bagai harta karun ilmiah, naskah peninggalan beliau layak diangkat supaya bermanfaat untuk bangsa dan agama melalui penelitian ilmiah yang amanah dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan,” katanya. Ashfi pun berterima kasih kepada semua pihak yang berperan dalam upaya baik ini.