Upah Tinggi dan Ketergantungan Petani Jadi Kendala Peremajaan Sawit
Pemerintah menargetkan perluasan peremajaan sawit rakyat hingga 180.000 hektar pada tahun 2023. Hanya, biaya penanaman yang cukup tinggi dan ketergantungan petani pada sawit jadi kendala.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
KAYU AGUNG, KOMPAS — Pemerintah menargetkan perluasan peremajaan sawit rakyat hingga 180.000 hektar pada tahun 2023. Hanya, masih banyak kendala yang ditemui, terutama biaya penanaman yang cukup tinggi dan ketergantungan petani pada komoditas sawit. Kondisi ini membuat realisasi penanaman baru mencapai 71,48 persen dari rekomendasi teknis yang disediakan.
Pernyataan ini disampaikan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alam Syah saat menghadiri panen sawit hasil peremajaan sawit rakyat (PSR) di Kecamatan Teluk Gelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (17/7/2023). Di daerah itu, 1.035 hektar lahan sawit hasil PSR telah bisa dipanen setelah tiga tahun penanaman.
Andi menjelaskan, berdasarkan rekomendasi teknis, luas lahan PSR yang dicanangkan pemerintah untuk periode 2017-2023 mencapai 295.365 hektar. Namun, hingga kini, jumlah lahan yang telah ditanami baru 71,48 persen atau seluas 211.141 hektar.
Dia menuturkan, kendala yang ditemukan antara lain tingginya biaya upah tenaga kerja, yakni sekitar Rp 125.000 per hari. Kondisi ini tentu sangat memberatkan petani. Tingginya upah disebabkan proses penanaman masih menggunakan cara konvensional.
Kendala lain juga disampaikan oleh Bupati Ogan Komering Ilir Iskandar. Dia menyatakan, ada kekhawatiran dari petani untuk melakukan peremajaan tanaman karena yang masuk dalam rekomendasi teknis adalah lahan sawit yang masih produktif. ”Usia lahan sawit masih 15-20 tahun, tetapi harus ditebang,” katanya.
Padahal, pada usia itu, pohon sawit masih menghasilkan. Di sisi lain, ketika proses peremajaan dilakukan, petani harus menunggu 3-4 tahun sampai tanaman bisa dipanen.
Karena itu, Iskandar meminta pemerintah pusat turun tangan untuk memberikan bantuan berupa bibit komoditas alternatif. Hal ini agar petani masih bisa memperoleh pendapatan sembari menunggu lahan sawitnya berbuah.
Gubernur Sumsel Herman Deru berharap kuota peremajaan sawit di Sumsel ditambah karena ketersediaan lahan sawit di daerah ini sangatlah besar. ”Secara total ada 1,4 juta hektar lahan sawit di Sumsel. Masih banyak yang sudah berusia tua. Dengan proses peremajaan, diharapkan produksi dapat bertambah,” ujarnya.
Selain itu, Herman juga meminta penyaluran bibit sawit diawasi agar petani benar-benar menerima bibit unggul. Jangan sampai karena salah bibit, petani merugi.
Aziz (55), petani sawit di Kecamatan Teluk Gelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, adalah salah satu yang menerima program PSR. Dia mengatakan, jenis bibit yang diberikan pemerintah cukup baik karena dalam waktu tiga tahun sudah berbuah.
Dalam satu minggu, saya bisa menghasilkan 1 ton tandan buah segar per hektar.
Kondisi ini dikatakannya lebih cepat daripada bibit biasa yang membutuhkan waktu 4-5 tahun. ”Dalam satu minggu, saya bisa menghasilkan 1 ton tandan buah segar per hektar,” ujarnya.
Namun, dirinya masih terkendala dengan harga tandan buah segar (TBS) yang rendah. Pada minggu ini, ujar Aziz, harga TBS Rp 1.500 per kg. Kondisi ini berkebalikan dengan harga perawatan tanaman yang kian merangkak tinggi akibat harga pupuk melonjak tiga kali lipat dibandingkan pupuk bersubsidi.
”Sudah mahal, pupuknya masih sulit ditemui,” ujar Aziz, yang sejak 1995 menanam sawit. Untuk memenuhi kebutuhan hidup selama produksi sawit belum optimal, dia mengandalkan 3 hektar lahan karetnya untuk kehidupan sehari-hari.
Mendengar laporan tersebut, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendorong penggunaan sarana/prasarana pertanian (mekanisasi perkebunan) untuk memastikan upaya penanaman bisa lebih efisien dan tidak membebani petani.
Dia juga menginstruksikan agar proses peremajaan harus berdasarkan keinginan petani. ”Kalau masih produktif, jangan ditebang. Jika harus ditebang, sediakan tanaman alternatif, seperti cabai atau jagung,” ucapnya.
Syahrul menilai peremajaan lahan sawit sangat penting karena ia memprediksi kebutuhan pasar akan produk turunan kelapa sawit terus meningkat. ”Kalau bisa jumlah lahan sawit yang diremajakan diperluas. Uang kita masih banyak,” ujar Syahrul.
Dalam pelaksanaan program ini, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit telah menyediakan dana hingga Rp 7,53 triliun untuk program PSR. Selain itu, pihak perbankan juga harus turut berpartisipasi dengan menggelontorkan kredit usaha rakyat.
Tidak hanya peremajaan, upaya hilirisasi harus berjalan seiring agar penyerapan domestik bisa lebih besar. Apalagi, produk turunan sawit sangat banyak, seperti minyak goreng, kosmetik, obat-obatan, dan bahan bakar.
Khusus di Sumsel, Syahrul merencanakan pembangunan dua pabrik minyak goreng untuk mengolah sawit dari perkebunan yang telah diremajakan. ”Kita jadikan Sumsel sebagai daerah percontohan untuk daerah lain,” katanya.