”Sekolah Minggu” Jadi Polemik, GKJ Nusukan Siap Urus Izin
Aktivitas Sekolah Minggu yang digelar gereja ditolak warga di Surakarta, Jateng. Pangkal masalahnya gegara kegiatan itu disebut tak berizin. Pihak gereja siap mengikuti regulasi yang ada.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Kegiatan ”Sekolah Minggu” yang diadakan Gereja Kristen Jawa Nusukan di Kota Surakarta, Jawa Tengah, sempat menjadi polemik gara-gara penolakan segelintir warga setempat. Tidak adanya izin kegiatan disebut sebagai pangkal persoalan. Pihak gereja siap mengikuti regulasi dengan mengurus perizinan agar bisa menggelar lagi aktivitas keagamaan itu.
Permasalahan itu mencuat setelah beredar kabar pemasangan spanduk penolakan aktivitas Sekolah Minggu pada sebuah rumah tinggal, yang digelar Gereja Kristen Jawa (GKJ) Nusukan di Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Juni.
Sekelompok orang yang memasang spanduk tersebut mengaku sebagai warga dan umat Muslim Banyuanyar. Namun, spanduk itu dicopot beberapa waktu kemudian setelah mendapat perhatian dari Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surakarta mempertemukan kembali kelompok yang bersinggungan dalam kasus tersebut, yakni GKJ Nusukan dan perwakilan umat Muslim Banyuanyar, di Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (6/7/2023).
Pertemuan berlangsung selama lebih kurang dua jam. Itu merupakan pertemuan ketiga antara lembaga tersebut dan kedua belah pihak. Dalam pertemuan sebelumnya, FKUB Kota Surakarta menemui masing-masing pihak secara terpisah dan berada di ruangan berbeda.
”Mereka kami pertemukan. Semua sepakat menyerahkan (persoalan ini) pada regulasi yang ada. Itu bukan rumah ibadah, yang ada adalah rumah yang dialihfungsikan untuk Sekolah Minggu. Ini yang membuat lingkungan tidak nyaman karena belum punya izin tentang itu,” kata Ketua FKUB Kota Surakarta Mashuri setelah pertemuan itu.
Mereka kami pertemukan.
Untuk itu, Mashuri membantah adanya upaya penyegelan rumah ibadah dalam kasus tersebut. Pasalnya, bangunan yang dipermasalahkan bukan rumah ibadah, melainkan rumah tinggal yang sementara waktu dimanfaatkan menjadi tempat Sekolah Minggu. Pihaknya sekaligus menampik kabar penyegelan rumah ibadah dalam kasus tersebut.
”Akhirnya ini kami serahkan kepada Kemenag (Kementerian Agama) yang berhak mengeluarkan izin tentang Sekolah Minggu ataupun masalah peribadatan di tengah-tengah masyarakat itu,” kata Mashuri.
Kepala Kantor Perwakilan (Kanwil) Kemenag Kota Surakarta Hidayat Masykur mengategorikan Sekolah Minggu ke dalam bentuk pendidikan keagamaan nonformal. Regulasi penyelenggaraannya tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Disebutkan dalam Pasal 13 Ayat 6, pendidikan keagamaan jalur nonformal yang diikuti sedikitnya 15 peserta didik wajib mendaftarkan diri ke Kanwil Kemenag setempat.
Menurut Hidayat, peraturan mestinya dijadikan pedoman untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Hendaknya setiap kelompok menghormati peraturan yang berlaku seperti halnya kasus polemik Sekolah Minggu tersebut. Bahkan, kepatuhan atas peraturan menjadi bagian dari kerukunan antarumat beragama.
”Mari kita tegakkan aturan yang sudah ada. Itu kan sudah selesai (masalahnya). Kita jaga kerukunan bersama-sama. Tentu ini tidak bisa lepas dari melaksanakan aturan yang sudah ada,” kata Hidayat.
Perwakilan GKJ Nusukan, Pendeta Eko Prasetyo, mengatakan, aktivitas Sekolah Minggu diadakan gereja tersebut sejak 1990-an. Pesertanya lebih kurang 15 orang setiap pekan. Meski berlangsung begitu lama, ia mengaku, baru mengetahui perihal regulasi yang mengatur pelaksanaan kegiatan itu beberapa waktu terakhir.
Komitmennya sudah bulat untuk mematuhi kelengkapan izin yang harus disediakan. Cara itu diyakininya mampu mendorong terciptanya kerukunan seiring dipatuhinya peraturan yang berlaku.
”Kalau bicara tentang kerukunan, kami siap hidup rukun. Sejauh ini, kami juga terus berupaya untuk ada di tengah-tengah masyarakat sebagaimana selama ini berjalan,” kata Eko.
Sementara itu, Koordinator Umat Islam Banyuanyar Jawari mengaku sudah berkali-kali meminta pihak gereja agar melengkapi regulasi yang ditentukan. Ia merasa ketaatan peraturan bertujuan agar tidak ada masalah perihal bangunan tersebut di kemudian hari. Secara bertahap, pihaknya juga mendorong sesama umat Muslim di lingkungannya yang sudah telanjur membangun masjid tetapi belum mempunyai izin mendirikan bangunan dan persyaratan lainnya melengkapi persyaratan.