Harga Tak Kunjung Naik, Petani Karet Beralih ke Sawit
Petani di Kalimantan Tengah mulai beralih dari karet ke kelapa sawit lantaran harga yang tak kunjung normal. Terakhir kali petani mendapatkan harga tinggi untuk karet adalah 14 tahun lalu.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Komoditas karet mulai ditinggalkan petani di Kalimantan Tengah. Murahnya harga jual getah karet menjadi salah satu alasan petani mengganti karet dengan tanaman lain. Pemerintah pun mendorong komoditas lain yang berpotensi untuk menggantikannya.
Sukarmin (53), warga Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, sudah dua kali mengganti tanaman di kebunnya yang seluas 2 hektar dalam lima tahun terakhir. Sejak pindah ke Kalimantan Tengah mengikuti program transmigrasi 25 tahun lalu, ia dan keluarga hanya fokus pada tanaman padi.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2008 Sukarmin mencoba setengah hektar lahannya ditanami puluhan pohon karet. Sejak 2021 ia mengganti tanaman karetnya dengan pohon kelapa sawit. Kini lahan 2 hektar miliknya, atau sama dengan ukuran dua kali lapangan sepak bola, ditanami sawit.
Meski harga sawit pernah jatuh, hal itu tidak membuatnya mengganti tanaman lagi. ”Harga sawit pernah hanya Rp 350 per kilogram, tapi ya bertahan, sekarang juga bagus lagi harganya,” ungkap Sukarmin pada Selasa (4/7/2023).
Menurut Sukarmin, di Kalimantan Tengah industri kelapa sawit lebih maju dibandingkan industri karet. ”Perusahaan sawit, kan, lebih banyak dan lebih luas kebunnya, jadi pasti masih dicari (untuk dijual),” ucapnya.
Sampai saat ini harga getah karet di Kalimantan Tengah masih terbilang baik. Di Pulang Pisau dan di Kabupaten Barito Timur harga karet masih berkisar Rp 8.000 sampai Rp 8.500 per kilogram (kg). Harpandi (53), warga Pulang Pisau, menyebutkan, harga karet itu masih lebih baik dibandingkan harga pada 2020-2021, saat itu harga karet hanya Rp 4.000 sampai Rp 4.500 per kg.
Walakin, Harpandi merindukan harga karet kembali normal karena masih mempertahankan pohon karet di sisa kebunnya. Ia mengingat terakhir kali harga karet melambung tinggi adalah 14 tahun lalu (2008-2009), saat itu harga karet dibanderol Rp 17.000-Rp 18.000 per kg.
Hal serupa dirasakan Stevanus Purwadi di Desa Kantan Atas, Pulang Pisau. Ia mengganti karet dengan sawit karena melihat peluang bisnis yang lebih menjanjikan. Ditambah lagi, menurut dia, cuaca ikut ambil andil dalam keputusan dirinya mengganti komoditas.
”Sebenarnya harga karet sekarang masih lebih baik, tetapi cuaca yang banyak berubah membuat pohon karet dalam setahun bisa tiga kali rontok atau gugur. Saat daun rontok, getahnya sedikit saja, lalu hujan terus-menerus membuat petani enggak bisa nyadap karet, beda dengan sawit,” tutur Stevanus.
Tetapi cuaca yang banyak berubah membuat pohon karet dalam setahun bisa tiga kali rontok atau gugur.
Harga jual kelapa sawit di Kalteng saat ini berkisar Rp 1.800-Rp 2.500 per kg dan bisa dipanen sebulan dua kali. Setiap tandan buah segar kelapa sawit beratnya mencapai 25 kg. ”Dibanding karet, sawit bisa lebih menghasilkan,” kata Stevanus.
Melihat hal itu, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rizki Badjuri membenarkan bahwa banyak petani karet beralih ke kelapa sawit karena uang yang ditawarkan lebih besar. Pemerintah, lanjutnya, telah menawarkan skema peremajaan, tetapi tak banyak petani yang berminat.
”Pernah saat kami tawari peremajaan dalam sebuah acara sarasehan, petani malah minta bibit sawit,” kata Rizki.
Rizki mengungkapkan, petani di Kalteng memiliki lahan yang cukup luas untuk menanam lebih dari satu komoditas. Meskipun demikian, komoditas karet memiliki luas lahan terluas nomor dua di Kalteng setelah perkebunan kelapa sawit.
Dari data Dinas Perkebunan, luas kebun rakyat ataupun perkebunan swasta untuk komoditas karet mencapai 445.315,66 hektar. Sementara kelapa sawit masih mendominasi dengan luas lebih kurang 1,5 juta hektar.
”Petani tetap kami dorong punya banyak pilihan di lahannya, jadi tidak satu komoditas saja. Saat ini kami juga sedang mendorong kakao untuk bisa jadi pilihan alternatif petani karena potensinya ada,” ujar Rizki.