Kedai Kopi dan Pergulatan Identitas Banyuwangi
Warung-warung kopi terus bertumbuh di Banyuwangi. Dengan warna dan corak khas mereka. Sejatinya, kedai-kedai kopi itu adalah ”bahasa” perlawanan kekinian, yang sebenarnya sudah mengakar sejak dulu kala.
Warung-warung kopi terus bertumbuh di Banyuwangi, Jawa Timur. Dengan warna dan corak khas mereka. Sejatinya, kedai-kedai kopi itu adalah ”bahasa” perlawanan kekinian, yang sebenarnya sudah mengakar sejak dulu kala.
Dalam sejarahnya, masyarakat Banyuwangi adalah ”kelompok kalah” yang menolak untuk menyerah. Mereka menolak dominasi, stigmatisasi, dan represi dengan cara mereka sendiri. Itu menjelma dalam adat budaya dan terus terwariskan hingga sekarang. Termasuk dalam kedai-kedai kopi yang bermunculan.
Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember dalam buku digital berjudul ”Kebudayaan Using: Konstruksi, Identitas, dan Pengembangannya” (tahun 2016) menyebut bahwa dalam sejarahnya, masyarakat Using adalah keturunan warga pribumi Blambangan yang tersisa dari perang di era kolonial Belanda, khususnya Perang Puputan Bayu tahun 1771-1772.
C Lekerkerker, salah satu sarjana Belanda yang menulis tentang masyarakat Blambangan di masa kolonial, menceritakan keadaan menyedihkan kaum pribumi selepas Perang Puputan Bayu (perang terbesar di Blambangan). Akibat dahsyatnya perang, populasi orang Blambangan dari 65.000 orang hanya tersisa 5.000-an orang. Saat itu, Belanda menggunakan orang Madura sebagai tentara bayaran untuk membantu menundukkan Blambangan.
Baca juga: Pagi di Banyuwangi
Menurut para peneliti dari Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas Lembaga Penelitian Universitas Jember, rekam jejak kekalahan itu memunculkan hasrat bagi mereka yang tersisa dari invasi militer dan politik tersebut untuk memperkuat keberbedaan secara kultural-esensial. Membedakan diri mereka dengan diri etnis lain, khususnya dua etnis besar Jawa Kulonan (Mataraman dan Panaragan) serta Madura yang pernah membantu Belanda mengalahkan Blambangan.
Dengan semangat ”perlawanan” dan menjadi ”berbeda” itulah, tanpa sadar, mewujud dalam berbagai hal di Banyuwangi. Mulai dari kuliner, seni, hingga pada pilihan konsep usaha warung-warung kopi di sana.
Salah satu konsep ”berbeda” ditampilkan oleh kedai kopi di Desa Kemiren, sebuah desa adat suku Osing di Banyuwangi bernama Krakatau. Konsep kedai kopi yang baru berumur sebulan tersebut bernuansa Jepang dengan bahan interior dari kayu. Namun, meski mengusung tema Jepang, si pemilik tampaknya tidak meninggalkan akar budaya lokalnya sebagai Osing (suku asli Banyuwangi).
Baca juga: Riuh Investasi Pulau Tabuhan di Banyuwangi
”Meski temanya Jepang, ini tidak murni Jepang. Masih ada corak budaya Osing, yaitu dari atap bangunannya. Atap bangunannya memiliki ciri khas Osing. Kekinian, tetapi tetap melestarikan budaya sendiri,” ucap Indra (21), pekan lalu, saat ditemui di Desa Kemiren, Banyuwangi.
Bagi Indra, meski ia sangat mencintai tema-tema Jepang, ia tidak akan mungkin menanggalkan identitas lokalnya sebagai Osing. Ia menolak dominasi dan kooptasi budaya Jepang. Sebab, baginya, generasi muda Osing harus bangga serta mau menjaga adat dan budaya Osing agar tidak tergerus zaman.
Tidak jauh berbeda adalah kedai kopi Sogok Ontong di Jalan MH Thamrin. Di tengah pusat kota Banyuwangi yang mulai disesaki bangunan, sekelompok pemuda membuka kedai kopi dengan konsep vintage (kuno). Mereka seolah ingin menghentikan waktu, menahannya dengan barang dan pernak-pernik di masa lalu.
”Konsepnya vintage. Ini sesuai dengan asal muasal warung ini sebelumnya, yaitu gudang supermarket yang tidak terpakai,” kata Vival, salah seorang pengelola kedai Sogok Ontong.
Mempertahankan suasana jadul di tengah perkembangan kota yang semakin cepat adalah pilihan dari sekelompok anak muda untuk tampil berbeda. Tampil dengan identitas dan pilihan mereka sendiri, tidak ikut-ikutan terbawa arus modernitas. ”Melambat” di tengah kecepatan zaman.
Baca juga: Pariwisata Banyuwangi (3): Bermodalkan Partisipasi Masyarakat
Meskipun pilihan mempertahankan kejadulan itu sebenarnya cukup mahal. Mereka harus mengolah kayu-kayu bekas kapal nelayan menjadi meja kayu panjang yang nyaman. Untuk biayanya, tentu saja mereka harus harus merogoh kocek cukup dalam.
Sebuah kedai kopi berkonsep lainnya di Banyuwangi adalah Omah Kopi Telemung. Lokasinya di Desa Telemung, Kota Banyuwangi. Meski secara administratif masuk wilayah kota Bayuwangi, untuk Omah Kopi Telemung, pengunjung harus menempuh jalan perdesaan menanjak hingga bisa jadi orang berpikir apakah lokasi itu benar atau salah.
Perdesaan
Lokasi kedai kopi sekaligus kebun kopi Telemung tersebut berada di ketinggian 400-500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Saat kami datang pekan lalu, tidak ada petunjuk sama sekali untuk menuju lokasi. Kami hanya mengandalkan Google Maps dan bertanya kepada orang sekitar. Akhirnya, meski beberapa kali harus berhenti atau memutar, kami sampai ke tujuan.
Omah kopi Telemung boleh dibilang sebagai tempat nongkrong di halaman rumah. Bangunannya dari kayu, menempati halaman luas dan di sekelilingnya adalah kebun kopi serta kebun buah-buahan seperti durian dan alpukat. Selain menjual kopi, Omah Kopi Telemung juga menjual buah-buahan hasil kebun mereka.
Baca juga: Banyuwangi dan Pasar Tematik
Ika (28), pengelola Omah Kopi Telemung sekaligus istri dari pendiri, mengatakan bahwa kedai tersebut dibangun pada 2015. Sebenarnya, kedai dibangun untuk mengenalkan kopi Telemung ke dunia luar. Selain kedai kopi, di sana pengunjung juga biasa mengikuti eduwisata kopi. Ika adalah keluarga keturunan Madura. Bisa jadi, dulu, nenek moyang Ika adalah bagian dari etnis Madura yang dibawa oleh Belanda untuk bekerja di perkebunan kopi Blambangan.
”Tadi baru saja ada beberapa turis asing datang untuk mengetahui proses membuat kopi yang baik. Jadi, saya jelaskan alurnya mulai dari petik merah, sortasi biji baik dan tidak baik, penjemuran, hingga akhirnya kopi diproses menjadi secangkir minuman nikmat,” kata Ika.
Imam Mukhlis (32), suami Ika, berusaha menjadikan Omah Kopi Telemung sebagai sarana mengenalkan kopi Telemung ke dunia luar. ”Kami mengajari mereka cara petik merah dan memproses kopi yang baik. Ada yang mau dan ada yang tidak. Yang mau, maka bisa menjual kopinya bersama kopi milik kami yang harganya jauh lebih tinggi,” kata Ika.
Omah Kopi Telemung mengajarkan bahwa kedai kopi tidak harus berkonsep modern. Konsep perdesaan dan tradisional pun akan dicari orang jika digarap dengan benar.
Mayoritas penduduk Desa Telemung adalah petani kopi. Rata-rata mereka adalah keturunan Madura. Kebun kopi milik rakyat di sana sekitar 330 hektar (ha). Adapun luas desa adalah 550 ha. Desa Telemung adalah penghasil kopi robusta dan exelsa. Disebutkan, salah satu kopi terkenal dari Telemung adalah robusta Telemung yang diproses honey. Proses ini dilakukan dengan mengupas biji kopi, lalu mengeringkannya. Dengan cara ini, rasa manis kopi akan keluar layaknya madu.
”Di sini memang jadi tempat ngopi sekaligus menenangkan diri. Biasanya banyak orang menyepi dan menghirup udara segar di sini. Meski tempatnya jauh, masih terjangkau dan menyuguhkan kesegaran alam perdesaan,” kata Ika.
Baca juga: Empati dari Secangkir Kopi
Di Omah Kopi Telemung, pengunjung tidak saja disuguhi kopi, tetapi juga keramahan perdesaan. Keluarga Ika yang tinggal di belakang, dengan ramah turut menyapa dan bicara dengan pengunjung. Obrolan soal kebun dan tanaman di halaman rumah mendekatkan hubungan antara tuan rumah dan pengunjung. Dan, paling menggembirakan, pengunjung juga bisa membeli hasil kebun yang saat itu telah matang.
Seperti pada saat itu, di tengah obrolan dengan keluarga keturunan Madura tersebut, tiba-tiba saja buah durian montong jatuh berdebam di atas tanah. Bukan hanya sekali, melainkan dua kali sekaligus dalam waktu tak terlalu lama. Alhasil, dua durian montong itu pun kami boyong pulang sebagai oleh-oleh. ”Boleh, boleh dibeli. Tapi, meski sudah matang, belum bisa langsung dimakan. Ditunggu sekitar dua harian dahulu baru bisa dimakan, ya,” kata Ika mengingatkan.
Begitulah, Omah Kopi Telemung menjadi oase di tengah hiruk pikuk perkotaan. Bukan saja tentang kopi, melainkan juga menyuguhkan persahabatan.
Tentu saja masih banyak kedai kopi di Banyuwangi yang mengusung konsep dan identitas masing-masing. Hal itu menunjukkan bahwa geliat identitas Banyuwangi terus berkembang merespons zaman.
Baca juga: Dari Korea, Beralih Melirik Buah Naga