Seniman dari latar belakang berbeda dapat berkolaborasi menghasilkan karya dengan saling berinteraksi. Kolaborasi perupa Sujana Suklu dan sastrawan Mas Ruscitadewi menghasilkan buku berjudul ”Nawa Sena”.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Buku berjudul Nawa Sena, yang menjadi karya kolaborasi perupa I Wayan Sujana Suklu dan sastrawan Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi, membuktikan seniman dapat berinteraksi dan menghasilkan karya bersama tanpa saling meniadakan eksistensinya masing-masing. Sastrawan membangun penafsiran puitikanya secara mandiri terhadap karya perupa dan sebaliknya, perupa memvisualkan narasi, yang dibangun dari tafsir atas karya rupanya.
Visualisasi narasi itu menjadi proses kreatif dan eksistensi perupa dan saat bersamaan, tafsir puitika atas karya rupa menjadi proses kreatif dan eksistensi sastrawan. Demikian benang merah dari diskusi membedah buku berjudul Nawa Sena di Kantor Perwakilan Kompas Bali di Denpasar, Jumat (23/6/2023). Diskusi membedah buku Nawa Sena diselenggarakan Bali Mangsi Foundation bersama kedua seniman, Sujana Suklu dan Mas Ruscitadewi.
Diskusi yang dibuka Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Wayan Adnyana menghadirkan lima narasumber, yakni pakar hukum yang juga budayawan Bali, I Dewa Gede Palguna; akademisi yang juga kritikus sastra, I Nyoman Darma Putra; akademisi dan pegiat sastra I Made Sujaya; akademisi dan pengamat sosial I Gusti Agung Paramita; serta seniman yang juga pendiri Sawidji Art Gallery, Dian Dewi Reich.
Diskusi tersebut dipandu sastrawan dan jurnalis I Wayan Juniartha serta diikuti sejumlah seniman, sastrawan, dan pegiat budaya secara terbatas.
Nawa Sena adalah proyek seni multimatra Lawang Nawa Sena, yang dikerjakan Sujana Suklu, di area Yohana Mandala kompleks Pura Agung Besakih di Kabupaten Karangasem. Nawa Sena adalah nama berpasangan, yakni Nawa sebagai nama perempuan dan Sena sebagai nama laki-laki, yang mencerminkan bentuk lawang atau candi bentar, atau gapura kembar, menuju halaman Yohana Mandala itu.
Darma Putra berpandangan, dalam karya seni rupa tradisional di Bali, perupa merespons teks dari karya sastra, misalnya wiracarita Ramayana dan Mahabharata, menjadi sebentuk lukisan.
Selain sebagai intermingle, kolaborasi, atau lango (keindahan), ini juga menjadi semacam surup sumurup atau saling memasuki. (Agung Paramita)
Dalam seni modern, menurut Darma Putra, tidak jarang ditemukan novel yang divisualisasikan menjadi film, dan sebaliknya, berawal dari film yang kemudian dibuatkan novel lalu novel tersebut dijadikan film sekuelnya. ”Saya menganggap ini sebagai lingkaran genius. Tidak perlu lagi diperdebatkan siapa merespons siapa,” kata Darma Putra mengkritisi.
Adapun Sujaya mengatakan buku Nawa Sena menjadi hal baru dalam kerja kolaborasi antarseniman, khususnya Sujana Suklu dan Mas Ruscitadewi, yang masing-masing sudah dikenal dengan eksistensi mereka sebagai perupa dan sastrawan.
”Walaupun dikatakan tafsir puitika ini berangkat dari karya Sujana Suklu, namun Mas Ruscitadewi menafsirkannya secara bebas,” kata Sujaya dalam diskusi. ”Menurut saya, (buku) ini juga karya mandiri dari Mas Ruscitadewi dan Sujana Suklu,” ujar Sujaya lebih lanjut.
Pandangan Bali
Pengamat sosial Agung Paramita mengatakan, kolaborasi dua seniman berbeda, Sujana Suklu dan Mas Ruscitadewi, di dalam buku Nawa Sena mendirikan pandangan dunia orang Bali, di antaranya, mengenai sintesis realisme, dualisme, dan metakonseptual.
Menurut Agung Paramita, orang Bali mengenal konsep ”sakala (nyata)-niskala (nirnyata)” sehingga tidak pernah memisahkan realitas secara tajam, konsep ”rwa bhineda” bahwa keharmonisan dan keseimbangan hanya dapat diwujudkan dari tarik-menarik dua entitas berbeda, dan terbiasa menyembunyikan ide atau gagasan ke dalam simbol atau lambang.
”Pertemuan estetika kedua insan diawali kesepakatan untuk tidak saling meniadakan, tidak saling mengalahkan, dan membangun dunia estetikanya masing-masing,” katanya.
Menurut Agung Paramita, kolaborasi antara Sujana Suklu dan Mas Ruscitadewi melalui karya berjudul Nawa Sena memungkinkan kedua seniman itu mengeksplorasi diri mereka masing-masing melalui rasa.
”Selain sebagai intermingle, kolaborasi, atau lango (keindahan), ini juga menjadi semacam surup sumurup atau saling memasuki,” ujar dosen filsafat itu.
Budayawan Dewa Palguna mengatakan, kedua seniman saling menggugat eksistensi mereka masing-masing sekaligus menghadirkan kediriannya. Situasi itu, menurut mantan hakim Mahkamah Konstitusi itu, seolah menjadi cermin bagi pembaca buku Nawa Sena.
”Saya merasa isi Nawa Sena ini sebuah gugatan walaupun pada ujungnya memberikan harapan,” ujar Dewa Palguna.
Adapun Rektor ISI Denpasar I Wayan ”Kun” Adnyana dalam pembukaan diskusi menyebutkan, kolaborasi antara perupa Sujana Suklu dan sastrawan Mas Ruscitadewi, seperti halnya kerja bersama dan interaksi antarseniman lainnya, adalah upaya menggali dan memahami kehidupan, yang penuh puitika dan penuh saling sapa.
”Fiksi sastra dan diksi rupa yang dikembangkan Sujana Suklu dan Mas Ruscitadewi mengajak kita untuk memaknai kehidupan dengan berbagai sudut pandang,” kata Kun Adnyana sembari menambahkan, hadirnya sastra dan rupa memungkinkan kita menghadirkan dialog untuk saling mematangkan.
Kun Adnyana juga mengapresiasi penyelenggaraan diskusi membedah buku di Kantor Perwakilan Kompas Bali itu sebagai upaya menjaga dan melanjutkan tradisi membaca di tengah derasnya perkembangan teknologi digital dan maraknya media sosial. Maka, dia berharap proses-proses kreatif, yang dijalankan seniman dan sastrawan, dapat terus diakses masyarakat secara luas.
Penerbit dari Bali Mangsi Foundation, Hartanto, mengatakan, diskusi membedah buku Nawa Sena digelar sebagai upaya menyerap pendapat publik tentang buku itu. Selanjutnya, rangkuman hasil diskusi itu akan dijadikan epilog buku tersebut.