Gagasan ”Bersemi” di Warung Kopi
Warung kopi di Pontianak tidak sekadar memenuhi kerinduan pada secangkir kopi, tetapi juga ruang perjumpaan gagasan-gagasan. Bagi sebagian kalangan, warung kopi juga menjadi ruang yang turut mewarnai proses kreatif.
Warung kopi di Pontianak, Kalimantan Barat, tidak sekadar memenuhi kerinduan pada secangkir kopi, tetapi juga ruang perjumpaan gagasan-gagasan. Bagi sebagian kalangan, warung kopi juga menjadi ruang yang turut mewarnai proses-proses kreatif.
Sungai Kapuas di Pontianak pernah menjadi jalur utama yang sibuk. Di tepian Kapuas, tumbuh pusat ekonomi dan pelabuhan. Dari sanalah budaya minum kopi di warung kopi bermula. Kini, warung kopi menjamur ke berbagai sudut kota.
Warung kopi pun menjadi ruang publik. Sebagian kalangan memanfaatkan ruang publik tersebut secara lebih konstruktif. Para penempuh ”jalan sunyi” pada bidang sastra dan literasi di Pontianak, misalnya, menjadikan warung kopi rahim inspirasi dan perjumpaan gagasan.
Kopi susu terhidang di atas meja salah satu warung kopi di Kota Pontianak, Minggu (18/6/2023) sore. Sembari menikmati kopi susu, E Widiantoro, cerpenis Kalbar, mengemukakan rencananya untuk membuat kegiatan bertajuk ”Arus Sastra Kapuas” di bulan Oktober mendatang.
Baca juga: Geliat Kampung Caping di Tepian Kapuas
Ia mengemukakan rencana tersebut pada beberapa mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Tanjungpura. Di situ juga ada penulis muda. Para generasi muda itu akan dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan agar ada generasi penerus yang menjaga keberlanjutan kegiatan Arus Sastra Kapuas ke depan.
”Arus Sastra Kapuas ini nanti menjadi temu pengarang sastra Kalbar. Nanti akan ada pameran buku untuk memperkenalkan karya penulis Kalbar. Kemudian peluncuran antologi cerpen dari penulis yang ingin menyumbang tulisan,” tutur E Widiantoro, sore itu.
Obrolan pun diselingi cerita pengalaman E Widiantoro ketika ia masih berada di pedalaman salah satu kabupaten di Kalbar, sulitnya mencari ruang perjumpaan untuk berdiskusi tentang karya. Akhirnya, buku menjadi guru imajiner baginya kala itu. Ia ingin menekankan perlunya ruang-ruang perjumpaan yang konsisten bagi para pengarang.
Lalu muncul gagasan saat itu mengapa ini tidak dijadikan suatu judul karya Republik Warung Kopi saja. Itu suatu bukti warung kopi tempat melahirkan karya.
Beberapa saat kemudian, penyair Kalbar, Nano L Basuki, pun datang berdiskusi sembari ngopi. Obrolan pun berlanjut. Nano menceritakan bagaimana membangun sebuah proses dalam melahirkan karya. Di hadapan generasi muda itu ia menekankan pentingnya psikologi sastra.
”Sastra menyimpan banyak nilai yang bisa dipetik. Saya meyakini sastra menyimpan harta karun di balik karya si penulis. Temukan nilai dan terapkan dalam hidup kita. Seorang penulis bukan dilahirkan tetapi berproses, merenung, mengamati, dan berdiskusi. Selain bagian dari estetika, juga menjadi kontrol sosial,” tuturnya.
Obrolan pun berlanjut hingga membahas warung kopi Pontianak. Orang ke warung kopi di Pontianak tidak hanya sekadar minum kopi, tetapi tempat bertemunya gagasan-gagasan. Warung kopi menjadi suatu bagian dari proses kreatif menulis dalam dunia literasi termasuk dalam melahirkan karya sastra.
Rahim inspirasi
Bahkan, Nano dan beberapa rekannya pernah menerbitkan antologi puisi berjudul Republik Warung Kopi antologi delapan penyair Kalbar pada tahun 2011 yang terinspirasi dari warung kopi Pontianak. Hal itu muncul pada mulanya dari gagasan yang bertemu di warung kopi Pontianak.
Melalui Republik Warung Kopi menggambarkan keseriusan diskusi di warung kopi seperti membangun negara. Sering kali merencanakan sesuatu dan rapat di warung kopi. Di sana menentukan siapa ketua, pelaksana suatu kegiatan, bak sebuah republik.
”Lalu muncul gagasan saat itu mengapa ini tidak dijadikan suatu judul karya Republik Warung Kopi saja. Itu suatu bukti warung kopi tempat melahirkan karya,” ujarnya.
Baca juga: Ikhtiar Membuat Kopi Sumsel Naik Kelas
Ketika kita duduk di warung kopi juga tidak pernah memandang strata dan jabatan seseorang. Kita sama-sama minum kopi. Formalitas-formalitas ketika di kantor tidak terjadi di situ. Duduk dengan kursi dan cita rasa kopi yang sama.
”Dalam karya itu juga kami memotret keberagaman. Kita membangun hal-hal positif yang ada di dalam kehidupan ini salah satunya memotret keberagaman,” ujarnya lagi.
Para penulis cerita pendek (cerpen) dan juga pegiat literasi di Pontianak kerap mewarnai warung kopi dengan aktivitas bersama dalam komunitas. E Widiantoro, melalui kegiatan bertajuk ”Sastra Minggu Sore (SMS)” yang digagasnya, membuka ruang dialog untuk membedah cerpen yang dilakukan di warung kopi. Dengan demikian, ada ruang bagi penulis saling memberi masukan sehingga bisa terus belajar dan berkembang.
Baca juga: Revolusi Dimulai dari Kedai Kopi
Pegiat literasi Kalbar dan penulis Ahmad Sofian, juga menjadikan warung kopi sebagai ruang perjumpaan kegiatan literasi. Di warung kopi bersama grup membaca yang ia bentuk memperkenalkan karya penulis Kalbar dengan membaca buku para penulis Kalbar tempo dulu, kemudian mendiskusikannya untuk menggali kedalaman dan nilai, misalnya novel Kapal Terbang Sembilan karya M Yanis, kisah pendudukan Jepang di Kalbar.
”Diharapkan ada regenerasi kepenulisan di Kalbar,” ujar Sofian.
Secara fisik sudah tidak bisa berjumpa dengan penulis-penulis tempo dulu. Namun, generasi sekarang bisa berjumpa dengan gagasan-gagasan mereka di dalam buku ataupun novel dalam kegiatan grub membaca di warung kopi.
Di warung kopi yang penting juga menjadi ruang perjumpaan ide dan semangat. Beberapa individu ketika berjumpa di ruang publik warung kopi, semangatnya bertambahan, muncul ide-ide kreatif.
Baca juga: Jatuh Bangun Warung Kopi di Pontianak Meniti Pandemi
Warung kopi kerap dipilih para pegiat literasi karena selain suasananya lebih egaliter juga ekonomis. Jika menyewa gedung atau hotel, biayanya besar. Namun, ketika di warung kopi, harganya terjangkau, dengan memesan kopi dan pisang goreng sudah bisa ngobrol banyak hal.
Anderi Purnomo (43), pemilik warung kopi Siti di Jalan Putri Dara Nante, Pontianak, menuturkan, sejak buka pada 2017, warung kopi miliknya kerap menjadi tempat diskusi berbagai komunitas, termasuk komunitas literasi dan juga sastra. Pernah juga komunitas film membedah film-film lokal.
Buku pegiat literasi yang merupakan penulis Kalbar pun ia pajang di warung kopi miliknya. Ada juga buku dari rekan-rekan komunitas fotografi. Komunitas-komunitas tersebut yang biasanya menggelar diskusi di warung kopi milik Anderi.
Ketika ada pengunjung datang dan membaca karya-karya tersebut serta tertarik mendalami kepenulisan, fotografi, dan terkait film, Anderi bisa mengarahkan langsung ke komunitas-komunitas tersebut yang pernah melakukan kegiatan di warung kopi miliknya. Ia senang warung kopi miliknya bisa bermanfaat bagi aktivitas komunitasi.
Diskusi di warung kopi juga adakalanya melahirkan ide sebuah gerakan untuk membangun desa. Rudi Hartono (28), pemuda asal Kabupaten Kubu Raya, penerima penghargaan Kalpataru tahun 2022 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pernah memiliki pengalaman melahirkan ide berawal dari obrolan di warung kopi kala masih menjadi mahasiswa di Pontianak.
Ide mengembangkan Ekowisata Sungai Kupah di kampung halamannya di Kabupaten Kubu Raya, berawal dari obrolan di warung kopi Pontianak bersama rekannya. Dari diskusi di warung kopi itu muncul ide mengangkat potensi desa berupa mangrove yang kini menjadi Ekowisata Sungai Kupah di Kabupaten Kubu Raya.
Banyak sekali ide dan gagasan tumbuh di warung kopi. Ide-ide itulah yang membuat hidup kian berkembang. Jadi sudahkah Anda mengawali hari dengan ngopi?