Menanti Tuah Reforma Agraria di Malin Deman
Puluhan tahun sebagian masyarakat adat Pekal di Malin Deman berkutat dengan konflik lahan menghadapi perusahaan perkebunan. Program reforma agraria diharapkan menghasilkan solusi.
Selama puluhan tahun, sebagian masyarakat adat Pekal di Malin Deman masih terusik oleh konflik lahan dengan perusahaan perkebunan. Tuah program reforma agraria dinanti untuk menghadirkan solusi.
Herman (48) masih ingat dua pria berperawakan tinggi kekar mendatanginya saat mengurus kebun suatu siang tahun 2007. Kedua pria bergaya preman itu membentak-bentak dan menuding Herman menyerobot lahan yang masuk dalam izin hak guna usaha (HGU) PT Bina Bumi Sejahtera (BBS).
Kebun karet Herman yang mulai ia tanami sawit diancam digusur oleh dua pria yang ia duga orang suruhan PT Daria Dharma Pratama (DDP). Perusahaan itu menguasai lahan izin HGU PT BBS sejak 2005. Walakin, Herman tidak tinggal diam. Ia kukuh mempertahankan lahan yang ia garap sejak 2004 itu.
”Saya tantang, siapa yang tegak di situ, saya lawan. Kalau tidak bisa pakai (golok) ini, cara apa pun saya lakukan. Kalau tidak kamu mati, saya yang mati. Saya ngomong begitu,” kata Herman, ketika dijumpai di kebun sawitnya di Desa Talang Arah, Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, Sabtu (3/6/2023).
Sejak kejadian itu, lahan Herman relatif aman dari perusahaan. Lahan seluas empat hektar sudah berganti sawit sepenuhnya. Komoditas baru itu mulai ia tanam sejak 2007 hingga 2010 menggantikan pohon karet. Lahan berkontur bukit dan lembah yang digarap bapak tiga anak ini berada di tengah-tengah perkebunan sawit milik PT DDP.
Nasib berbeda dialami oleh Zarkawi (53), warga lainnya. Ia tak bisa mempertahankan lahan yang ia kelola saat diambil alih tanpa mendapat ganti rugi oleh PT DDP pada 2005. Zarkawi sedang tidak berada di tempat saat alat berat masuk ke kebunnya di Desa Talang Arah, yang juga masuk kawasan izin HGU PT BBS.
Lahan Zarkawi seluas 4 hektar yang ia tanami jengkol, karet, dan nilam sejak 1998 itu diduduki perusahaan dan ditanami sawit. “Kami masyarakat biasa, apalah daya,” kata bapak empat anak itu di rumahnya, Desa Air Merah, Kecamatan Malin Deman.
Demikian sekilas cerita Herman dan Zarkawi, dua dari 58 petani anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (P3BS) yang masih berkonflik dengan perusahaan perkebunan di Malin Deman.
Zarkawi masih berjuang menguasai kembali lahan kelolanya yang diambil alih perusahaan. Sementara itu, Herman tengah berjuang mendapat legalitas atas lahannya yang masih masuk dalam izin HGU PT BBS. Dokumen lahan Herman baru sekadar surat keterangan tanah (SKT) dari desa.
Dalam proses perjuangan itu sempat terjadi beberapa kali gesekan antara petani dan perusahaan. Pada 12 Mei 2022, misalnya, 40 petani di Malin Deman, termasuk Herman dan Zarkawi, ditangkap polisi dan ditahan 12 hari di Polres Mukomuko. Mereka dituding mencuri tandan buah segar (TBS) yang ditanam PT DDP di lahan izin HGU PT BBS.
Mula konflik
Tahun 1995, PT BBS mendapat izin HGU seluas 1.889 hektar untuk komoditas kakao dan kelapa hibrida di Afdeling 7 yang sebelumnya merupakan lahan garapan masyarakat di Malin Deman. Malin Deman waktu itu bagian Kecamatan Ipuh (Malin Deman mekar 2006) dan Kabupaten Bengkulu Utara (Mukomuko mekar tahun 2003).
Sekretaris Jenderal P3BS Lobian Anggrianto, Jumat (2/6/2023), mengatakan, sebagian besar atau hampir 80 persen, kawasan izin HGU itu sekarang berada di Desa Talang Arah. Sisanya tersebar di desa lain, seperti Air Merah, Serami Baru, dan Lubuk Talang. Talang Arah, sebagai pusat kecamatan berjarak sekitar 166 kilometer dari Kota Bengkulu, ibu kota Provinsi Bengkulu.
Sebelum izin HGU keluar, proses pengambilalihan lahan garapan masyarakat sejak 1988 oleh perusahaan itu sebagiannya diduga bermasalah. Sebagian masyarakat penggarap lahan tidak mendapat ganti rugi. Sebaliknya, justru yang mendapat ganti orang lain yang tidak punya lahan di lokasi tersebut.
Dari luasan izin HGU itu, PT BBS menanam kakao seluas 350 hektar dan kelapa hibrida seluas 28 hektar. Lahan sisa masih menjadi lahan garapan masyarakat.
Tahun 1997 terjadi kebakaran di perkebunan karet masyarakat yang diduga akibat operasi PT BBS yang membuka lahan dengan cara membakar. Masyarakat, tokoh adat, dan pemerintah desa berdemonstrasi menuntut kompensasi, tetapi tidak dihiraukan perusahaan. PT BBS yang diduga bangkrut menghentikan pengelolaan lahan di Afdeling 7 dan meninggalkan tanaman kakao dan kelapa hibrida tersebut.
“Tahun 1997, PT BBS meninggalkan lahan izin HGU-nya. Lahan 378 hektar (kakao 350 hektar dan kelapa hibrida 28 hektar) yang berhasil dibuka perusahaan, kembali jadi lahan dan kebun masyarakat,” kata Lobian.
Sepeninggal PT BBS itulah, para petani di Malin Deman, termasuk Herman dan Zarkawi, kembali menggarap lahan di kawasan izin HGU tersebut.
Dasar warga menggarap lahan tersebut karena lokasi itu dulunya merupakan lahan garapan orangtua-tua masyarakat adat Pekal. Pada masa lampau, masyarakat adat Pekal menerapkan sistem tani berpindah untuk komoditas padi ladang, jagung, dan lainnya. Usai satu-dua kali panen, petani pindah dan membuka lahan baru.
Herman menjelaskan, ia mulai menggarap lahan terlantar di lokasi itu sejak 2004. Saat pertama kali ia buka, kondisinya penuh belukar. Lahan yang ia buka mulanya ditanami padi ladang dan karet. Saat sawit jadi tren seiring masuknya perusahaan, Herman juga berangsur beralih ke komoditas itu tahun 2007.
Adapun Zarkawi mulai menggarap lahan tersebut sejak 1998. Saat membuka lahan itu, kondisinya juga berupa hutan belukar. Dalam rentang 1998-2000, ia menanami lahan itu dengan nilam, karet, dan jengkol yang menjadi penopang ekonomi keluarga.
Namun, tahun 2005, PT DDP menguasai lahan izin HGU PT BBS dan melakukan penggusuran terhadap lahan yang digarap warga, termasuk lahan Zarkawi. Dasar PT DDP menguasai lahan izin HGU tersebut adalah akta pinjam pakai dan pembelian saham PT BBS.
Sepanjang 2006-2011, PT DDP menanami lahan yang mereka ambil alih dengan sawit. Total lahan yang dapat dikuasai perusahaan sekitar 935,73 hektar dari total 1.889 hektar. Sisanya, yang tidak dapat mereka kuasai, tetap digarap oleh masyarakat.
“Di sepanjang proses itu, perusahaan masih bermasalah dengan masyarakat soal sistem ganti rugi. Ada warga yang lahannya diambil, tetapi yang dapat ganti rugi orang lain,” kata Lobian.
Penelantaran
Selama proses penguasaan lahan oleh PT DDP, kata Lobian, konflik terus berlangsung. Warga yang tidak terima lahannya diambil paksa, kerap mengganggu sawit yang ditanam perusahaan. Sejumlah warga dipenjara karena itu. Karena terus-terusan ribut dengan warga, perusahaan meninggalkan lahan izin HGU pada 2012. Sawit yang ditanam perusahaan terlantar.
Pada 2016, masyarakat dan forum kepala desa di Malin Deman melayangkan somasi kepada PT DDP yang menguasai izin HGU PT BBS, tetapi tak ditanggapi. Sejak tahun itu pula, warga mulai merawat tanaman sawit yang ditelantarkan perusahaan hingga kembali bagus dan berbuah beberapa tahun kemudian.
“Saya rawat sawit yang ditanam di lahan garapan saya sebelumnya. Karet dan jengkol yang saya tanam sebelumnya sudah tidak ada lagi, kalah sama tanaman perusahaan. Karena ada sawit, itu yang saya rawat sampai berbuah,” ujar Zarkawi.
Saat warga mulai menikmati hasil kebun sawit itu, PT DDP kembali ke lokasi pada November 2019. Perusahaan memanen hasil sawit yang dirawat warga, termasuk yang dirawat Zarkawi. Konflik antarperusahaan dan masyarakat kembali memanas hingga tahun-tahun berikutnya.
Selama konflik itu, para petani yang tergabung dalam P3BS itu didampingi oleh Akar Foundation berupaya menyelesaikan konflik melalui pemerintah daerah dan DPRD setempat. Sejak 2017, DPRD Mukomuko juga membentuk panitia khusus menangani persoalan ini. Walakin, progres penyelesaian konflik terkesan lambat.
Puncaknya terjadi insiden 12 Mei 2022. Polisi menangkap 40 petani anggota P3BS, termasuk Lobian, Zarkawi, dan Herman, saat beraktivitas menyiang dan memanen sawit di kebun yang dirawat Zarkawi. Mereka dituding mencuri hasil sawit perusahaan.
“Kami langsung disergap. Lebih dari 100 personel sabhara dan brimob turun ke lokasi. Kami tidak diberi ruang untuk membela,” ujar Lobian.
Para petani itu disusun ke dalam dua baris tanpa mengenakan baju. Tangan mereka diikat tali panjang yang berkaitan satu sama lain, kemudian diangkut dengan truk bak ke Polres Mukomuko. Setelah mereka diperiksa dan ditahan 12 hari, persoalan hukum ini berakhir dengan keadilan restoratif (restorative justice).
Zarkawi menuturkan, ia yang mengajak rekan-rekannya untuk panen di kebun sawit yang ia rawat. Ia nyaris putus asa karena kehilangan mata pencarian akibat lahan yang ia garap dan sawit yang ia rawat diambil perusahaan.
“Kami jadi korban. Hak kami hilang, kami dipenjara. Sampai sekarang kami merasa belum dapat keadilan. Lahan yang kami garap itu dulu hutan tua, tempat orangtua-tua kami dulu mencari gaharu, manau, dan damar,” ujar Zarkawi, yang saat ini bekerja serabutan di kebun sawit milik orang.
Penyelesaian
Sejak insiden penangkapan 40 petani itu, proses penyelesaian konflik menunjukkan tanda positif. Pemerintah Kabupaten Mukomuko pun membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Sejumlah pertemuan antara pihak berkepentingan, dari unsur masyarakat, perusahaan, hingga pemerintah, digelar untuk mencari jalan keluar. Para petani berkonflik, termasuk Zarkawi, juga menahan diri tidak memasuki lahan sengketa.
Menurut Lobian, dalam rapat terakhir 8 Mei 2023, semua pihak menyepakati dua poin. Pertama, lahan 953,25 hektar yang dikuasai warga dari total 1.889 hektar izin HGU PT BBS dikeluarkan saat PT DDP hendak memperpanjang izin HGU yang berakhir 2025. Lahan tersebut akan dilegalisasi dengan skema pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).
Kedua, dari 935,73 hektar lahan izin HGU tersisa yang hendak diperpanjang oleh PT DDP wajib dikeluarkan 20 persen atau 187 hektar untuk masyarakat. Dari lahan 187 hektar itu, 150 hektar dikembalikan ke Desa Talang Arah, sisanya 37 hektar dibagi ke desa-desa penyangga, seperti Lubuk Talang, Serami Baru, dan Air Merah.
P3BS juga tengah memperjuangkan skema tanah objek reforma agraria (TORA) untuk 177 hektar lahan garapan 58 petani, termasuk Herman dan Zarkawi, yang masih jadi bagian dari 935,73 hektar lahan izin HGU yang hendak diperpanjang perusahaan. Dokumennya sedang disusun dan segera dikirimkan ke GTRA Mukomuko untuk diteruskan ke pemerintah provinsi dan kementerian.
Zarkawi terus berharap lahan garapannya bisa kembali. "Kalau lahan tidak kembali, saya tidak tahu akan berbuat apa. Tapi di dalam benak saya, lahan itu tetap akan saya pertahankan dengan cara apa pun," katanya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Mukomuko Abdiyanto, Senin (5/6/2023), mengatakan, pihaknya tengah berupaya menuntaskan persoalan lahan di Malin Deman. “Upaya ini intensif kami lakukan setahun terakhir,” katanya.
Abdiyanto membenarkan dua poin yang disepakati, yaitu dikeluarkannya 953,25 hektar lahan garapan warga dari izin HGU dan kewajiban perusahaan mengeluarkan 20 persen dari 935,73 hektar lahan HGU yang hendak diperpanjang.
“Kata BPN, selama ini masih berkonflik, perpanjangan izin (HGU) tidak akan keluar,” ujarnya.
Ketua DPRD Mukomuko M Ali Saftaini, Senin (5/6/2023), juga membenarkan dua poin yang disepakati itu. Lahan 953,25 hektar di-enclave-kan, sedangkan dari 935,73 hektar lahan HGU yang akan diperpanjang wajib dikeluarkan 20 persen.
“Desa yang menentukan penerima manfaat (20 persen) itu,” katanya.
Panitia khusus DPRD, kata Ali, juga sedang menyusun rekomendasi untuk penyelesaian kasus di Malin Deman. Mereka juga memberitahukan ke pemerintah kabupaten dan provinsi, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Negara (BPN), Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar rekomendasi pansus tepat dan ditaati semua pihak.
Kuasa Direksi PT DDP Anwar Jibe, Selasa (13/6/2023), mengatakan, pihaknya menyerahkan proses penyelesaian kasus di Malin Deman kepada panitia khusus DPRD Mukomuko. “Kami mengikuti rekomendasi dari panitia khusus itu nanti,” katanya.
Anwar juga menegaskan, proses peralihan izin HGU PT BBS ke PT DDP sudah sesuai prosedur. Proses itu sudah dijelaskan kepada DPRD, pemerintah kabupaten, dan lainnya. Peralihan tersebut, katanya, bukan berdasarkan akta pinjam pakai melainkan penguasaan saham PT BBS. “Kami memiliki 99 persen saham PT BBS,” ujarnya.
Sistem administrasi
Direktur Eksekutif Akar Foundation Erwin Basrin, Selasa (13/6/2023), mengatakan, konflik yang terjadi di Malin Deman sebenarnya tidak sebatas konflik tanah, tetapi juga masalah sistem administrasi dan hukum. Secara de jure, izin HGU adalah punya PT BBS, bukan punya PT DDP. Namun, secara de facto di lapangan, lahan dikuasai PT DDP.
“Sekarang masyarakat dibenturkan dengan PT DDP, pihak yang secara legitimasi bukan pemilik hak. Ini kan jadi soal. Itu disebabkan oleh sistem administrasi. Jadi, tidak bisa dikatakan itu sekadar konflik atas tanah, tetapi juga ada konflik soal hukum dan administrasi, sehingga memang agak susah menyelesaikan itu. Apakah menyelesaikan klaim hak itu dulu atau soal administrasinya dulu,” katanya.
Erwin melanjutkan, meskipun ada klaim soal pengalihan saham ataupun perjanjian pinjam pakai dari PT BBS ke PT DDP, hal itu tidak otomatis mengalihkan izin HGU PT BBS ke PT DDP. Selain itu, komoditasnya juga mesti sesuai dengan peruntukan saat izin HGU itu diterbitkan. Pengelola mesti melapor ke BPN sebagai pemberi hak.
Salah satu poin pada perjanjian pinjam pakai kedua perusahaan itu, kata Erwin, juga ditemukan kejanggalan. Dalam perjanjian disebutkan, lahan yang dipinjam pakai oleh PT DDP adalah lahan yang belum ditanam kelapa sawit oleh PT BBS. Padahal, HGU PT BBS adalah untuk kakao dan kelapa hibrida, bukan sawit.
“Namun, secara administrasi, Pemkab Mukomuko mengeluarkan izin komoditas sawit untuk BBS dan DDP atas lahan yang sama. Ini kan agak susah. Pertama, ada rezim HGU, kedua ada rezim perizinan perkebunan,” ujar Erwin.
Meskipun demikian, kata Erwin, beberapa waktu belakangan, konflik ini mulai menemukan titik terang. Pemerintah daerah dan perusahaan berkomitmen segera menyelesaikan persoalan ini. Ia juga membenarkan tentang dua poin yang disepakati para pihak. “Terkait usulan skema TORA, kami harap ada percepatan,” ujarnya.
Reforma agraria
Ahli hukum agraria sekaligus Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas Kurnia Warman, Selasa (6/6/2023), menyarankan agar konflik agraria antara warga dan perusahaan perkebunan di Malin Deman diselesaikan melalui jalur nonyudisial melalui pemerintah. Ada dua cara dapat ditempuh melalui jalur tersebut, yaitu penyelesaian kasus pertanahan melalui BPN dan program reforma agraria.
Di antara kedua cara itu, kata Kurnia, cara paling efektif dan aman mengembalikan tanah ke tangan masyarakat adalah melalui program reforma agraria. Sebab, program itu tidak mempersoalkan apa dasar klaim masyarakat. Yang penting masyarakat itu adalah orang yang secara faktual adalah warga yang disasar reforma agraria, yaitu tidak punya tanah atau bertani tetapi tidak punya tanah.
Selain itu, penerapan program reforma agraria pada kasus ini juga momentum untuk menyelesaikan sengketa. “Jadi, kalau GTRA-nya berhasil menyelesaikan sengketa di Malin Deman itu, dua hasil capaiannya, yaitu meredistribusi tanah kepada orang berhak dan menyelesaikan konflik agraria,” katanya.
Menurut Kurnia, penyelesaian konflik di Malin Deman dengan reforma agraria terbuka lebar. Apalagi kondisi politik hukum pemerintah saat ini sangat mendukung. Program reforma agraria merupakan program strategis nasional sejak 2018 sehingga akan jadi perhatian khusus pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Oleh sebab itu, kata Kurnia, keberhasilan program reforma agraria pada kasus Malin Deman nanti tidak hanya untuk kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pemerintah untuk membuktikan kinerja kepada rakyat. Percepatan penyelesaian kasus ini bisa dilaporkan sebagai keberhasilan kinerja pemerintahan yang akan segera berakhir pada 2024.
Sejauh ini, lanjut Kurnia, hasil reforma agraria yang dilaporkan pemerintah baru sekadar presiden turun membagi-bagikan sertifikat tanah. Belum ada contoh bahwa program reforma agraria bisa menyelesaikan konflik yang diajukan sebagai kinerja pemerintah.
“Malin Deman adalah calon terkuat bagi pemerintah untuk membuktikan kinerjanya bahwa program reforma agraria bisa sekaligus menyelesaikan konflik agraria. Saya berharap Malin Deman adalah tempat pemerintah membuat kisah sukses untuk reforma agraria dan penyelesaian konflik,” ujarnya.
Peliputan “Menanti Tuah Reforma Agraria di Malin Deman” di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, ini mendapat dukungan dari Adatpedia Journalist Fellowship.
Data tambahan tentang Kecamatan Malin Deman:
Kecamatan Malin Deman terletak di bagian selatan Kabupaten Mukomuko dengan luas 861,79 km (BPS, Kabupaten Mukomuko dalam Angka 2023). Pusat kecamatannya berada di Desa Talang Arah sekitar 166 km dari Kota Bengkulu, Ibu Kota Provinsi Bengkulu. Ada tujuh desa di kecamatan ini, yaitu Talang Arah, Serami Baru, Lubuk Talang, Talang Baru, Air Merah, Semambang Makmur, Gajah Makmur. Selain itu, ada pula Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Lapindo yang disiapkan jadi desa. Masyarakat adat Pekal, suku asli, tersebar di lima desa, yaitu Talang Arah, Serami Baru, Lubuk Talang, Talang Baru, dan Air Merah. Adapun Semambang Makmur, Gajah Makmur, dan UPT Lapindo didominasi masyarakat transmigrasi dari Pulau Jawa. Jumlah penduduk di Malin Deman pada 2022 sebanyak 6.967 orang, yaitu 3.697 laki-laki dan 3.270 perempuan.
Data grafis tambahan: