Seni Ornamen, Bukti Aceh Sangat Beragam dan Jaga Toleransi
Ornamen Aceh banyak dipengaruhi oleh seni dari luar, Arab, India, dan Eropa. Ini menandakan dulu kita sangat terbuka bagi dunia luar, sangat beragam, dan toleransi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Ragam seni rupa ornamen Aceh peninggalan masa lampau harus direvitalisasi dalam media modern agar tidak hilang ditelan zaman. Selain menjadi karya seni, ornamen itu juga menjadi bukti Aceh sangat beragam dan menjunjung toleransi.
Pada Sabtu-Rabu (10-14/6/2023), ratusan ornamen Aceh masa lampau dipamerkan dalam Festival Ornamen Aceh di pelataran Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh. Festival itu digagas para seniman di Laboratorium Seni Aceh Rakitan didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Ketua Laboratorium Seni Aceh Rakitan Iskandar menuturkan, acara ini baru pertama kali digelar. Sebagai penggagas, Iskandar memandang perlu ada upaya revitalisasi agar ornamen Aceh tidak hilang digerus zaman.
”Melalui festival ini, ornamen yang menjadi simbol estetik Aceh kita hidupkan kembali. Saat ini, ornamen Aceh hampir punah. Padahal ornamen adalah obyek utama seni rupa di Aceh,” kata Iskandar.
Dalam beberapa tahun terakhir, para seniman yang tergabung dalam Laboratorium Seni Aceh Rakitan mengumpulkan ornamen yang berserakan pada artefak peninggalan masa lalu. Beberapa di antaranya seperti pada kayu bangunan masjid tua, baju rompi, tas anyaman, dan batu nisan.
Ornamen pada artefak tersebut dilukis atau disketsa ulang pada media kertas untuk dipamerkan kepada publik. Ornamen yang dipamerkan adalah peninggalan abad ke-17 hingga ke-20.
Beberapa batu nisan berisi ornamen peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Malikussaleh, dan Kerajaan Lamuri juga ikut dipamerkan. Setiap batu nisan itu terdapat ornamen sebagai identitas kerajaan.
”Saya memperkirakan Aceh punya ribuan ornamen, tetapi baru ratusan yang kami kumpulkan. Hasilnya akan dirangkum dalam buku yang akan didistribusikan ke kampus ataupun usaha furnitur,” kata Iskandar.
Menurut Iskandar, ornamen adalah bagian dari kekayaan seni rupa Aceh masa lampau dan bagian dari aktualisasi kebudayaan. Beberapa ornamen hingga kini masih populer, seperti pucuk rebung atau bentuk anyaman.
Iskandar mengatakan, sebuah kerugian jika masyarakat Aceh melupakan kekayaan seni ornamen peninggalan masa lalu. Sebab, dalam setiap ornamen itu menyimpan peradaban dan nilai-nilai kehidupan.
Kurator festival Masykur Syafruddin menuturkan, pameran ornamen seperti lorong waktu yang mengembalikan ingatan ke beberapa abad lalu. Ornamen menjadi jembatan penghubung antara saat ini dan masa lalu.
Pada masa kolonialisme Belanda, artefak berisi ornamen Aceh banyak yang hilang. Bahkan tidak sedikit seniman yang meninggal karena perang.
Konflik berkepanjangan membuat Aceh kehilangan banyak momen untuk merawat kesenian peninggalan masa lampau. Padahal dalam ornamen itu terdapat bukti peradaban bangsa.
”Ornamen Aceh banyak dipengaruhi seni dari luar, Arab, India, dan Eropa. Ini menandakan dulu kita sangat terbuka bagi dunia luar, sangat beragam, dan toleransi,” kata Masykur.
Masykur berharap pameran ornamen Aceh memberikan pengetahuan dan semangat menjadi kesenian Aceh masa lampau. Tujuannya agar nilai-nilai di dalamnya dapat diterapkan dalam kehidupan sekarang.
Kepala Subbagian Umum Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 1 Aceh Ahmad Hariri menuturkan, ornamen itu harus dihidupkan kembali melalui ragam media modern. Harapannya agar kehadirannya tidak semakin jauh dari generasi muda.
Menurut Hariri, ornamen dapat diterapkan ke dalam motif pakaian, bangunan kota, hingga fasilitas publik. ”Kami berharap generasi muda terinspirasi dan terlibat dalam pelestarian kebudayaan,” kata Hariri.
Hariri mengatakan, Festival Ornamen Aceh digelar atas dukungan program Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Melalui Indonesiana, pemerintah membiayai program kebudayaan yang dilakukan secara individu ataupun komunitas yang konsen pada isu kebudayaan.
Hariri mengatakan, pada tahun 2023 dari 6.000 pelamar, tim memilih 300 orang/kelompok penerima, 11 orang di antaranya dari Aceh. Program tersebut bagian dari upaya pemerintah mendukung pelestarian kebudayaan.