Komoditas kakao mulai dilirik Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk dikembangkan. Kualitas kakao di Kalteng bahkan dinilai bisa bersaing dengan kakao dari Amerika Latin.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melirik kakao menjadi komoditas unggulan menyaingi popularitas karet dan kelapa sawit. Selain menghasilkan nilai ekonomi, keberadaannya efektif menjaga kelestarian lingkungan.
Kini, setidaknya ada 2.957 hektar lahan kakao di Kalteng. Produksi mencapai 530 ton kakao. Tahun ini, pemerintah berencana menambah 600 hektar lahan kakao.
Hal itu terungkap dalam Pelatihan Penanaman Kakao dalam Program Kalteng Kakao di Kota Palangkaraya, Rabu (7/6/2023). Kegiatan itu adalah salah satu bentuk kerja sama Pemprov Kalteng bersama Fairventures Worldwide asal Jerman.
Yayasan itu bergerak di bidang pemulihan hutan dan kesejahteraan masyarakat. Pelatihan itu diikuti beberapa kelompok tani dari Kabupaten Barito Timur, Katingan, Barito Utara, dan Kabupaten Gunung Mas.
Marsono (43) asal Desa Tampa, Kecamatan Paku, Kabupaten Barito Timur, hadir menjadi salah satu peserta. Dia ikut membagikan ilmunya kepada peserta lain. Marsono telah membudidayakan kakao sejak 2017.
Marsono kini memiliki kebun kakao seluas 1,5 hektar. Ia menanam kakao dengan teknik tumpang sari, yakni menanam di sela-sela pohon karet dan sawitnya yang sudah lebih dahulu ditanam selama belasan tahun.
Kini, dari 800 pohon, ia biasa menghasilkan 100-150 kilogram per panen dengan harga Rp 21.000-Rp 22.000 per kilogram untuk harga saat ini.
Jumlah itu, ia nilai belum maksimal. Alasannya, Marsono merendah masih harus banyak belajar dengan teknik tanam tumpang sari.
”Harusnya bisa 400 kg sekali panen, tetapi memang harus belajar banyak. Ini kan baru bagi saya dan kelompok tani di sana,” ungkap Marsono.
Meski belum maksimal dari sisi jumlah produksi, buah cokelat milik Marsono sudah dibawa ke Jerman. Direktur Fairventures Worldwide di Indonesia Rayanansi Siman mengungkapkan, kualitas kakao di Barito Timur dan wilayah lainnya di Kalteng masuk kategori excellent.
”Artinya dari sisi kualitas itu tidak kalah dengan negara penghasil kakao seperti di Amerika Latin,” ujarnya.
Rayanansi menjelaskan, pihaknya dalam dua tahun terakhir berkomitmen mendampingi petani kakao di Kalteng. Kakao menjadi pilihan karena tanah di Kalteng dinilai cocok dan memiliki harga yang bersaing.
”Tujuan utamanya pemulihan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui praktik tumpang sari tentunya dengan pilihan tanaman cepat tumbuh,” ungkap Rayanansi.
Sebelum fokus pada kakao, lembaga asal Jerman itu memiliki program menanam 1 juta pohon dengan pilihan tanaman sengon. Kini, di antara pohon sengon itu akan ditanami kakao. Bibit yang dibagikan pun gratis.
”Syaratnya adalah petani bisa membuktikan lahan yang digunakan adalah miliknya bukan di kawasan hutan,” katanya.
Di Kabupaten Barito Timur, Fairventures Worldwide telah mendampingi 19 kelompok tani dengan total 400 orang dari tujuh kecamatan. Sementara di Kabupaten Gunung Mas, lembaga tersebut mendampingi lima kelompok tani dari empat kecamatan di kabupaten tersebut. Total yang terlibat lebih kurang 200 orang.
”Sampai tahun depan akan ditambah ke daerah lain seperti Katingan, Barito Utara, dan wilayah lain,” kata Rayanansi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rizky Badjuri menjelaskan, dengan adanya legitimasi kualitas kakao, nantinya akan membantu proses hilirisasi. Pihaknya kini telah membentuk UMKM Kakao melalui program Kalteng Kakao yang diisi oleh pengusaha-pengusaha muda. Mereka bisa ambil bagian dalam program dan mengontrol harga agar selalu menguntungkan.
”Kalau hulu sudah oke, sekarang kami urus hilirnya. Hulunya perlu dipastikan soal kualitas produksi, jumlah, hingga tanah sehingga pasarnya bisa yakin,” ungkap Rizky.
”Pemerintah tahun ini juga bakal bekerja sama dengan perkebunan sawit besar agar plasma atau pola kemitraan dengan masyarakat bisa diarahkan ke kakao sehingga produksi dan luas lahannya menjadi lebih pasti,” ungkap Rizky.