Luka, Ketakutan, dan Rusaknya Benda Bersejarah akibat Bentrok di Yogyakarta
Bentrokan dua kelompok massa di Yogyakarta, Minggu (4/6/2023) malam, tak hanya menyebabkan korban luka, tetapi juga menebar ketakutan dan merusak benda bersejarah. Perlu upaya serius agar kasus serupa tak terulang.
Oleh
HARIS FIRDAUS, REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Bekas jejak sepatu masih terlihat di meja kayu kuno yang ada di Museum Dewantara Kirti Griya, Senin (5/6/2023) siang. Meja yang dulu dipakai sebagai meja makan oleh keluarga Ki Hadjar Dewantara itu diduga terinjak-injak saat terjadi bentrokan dua kelompok massa di Jalan Tamansiswa, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (4/6/2023) malam.
Saat itu, terjadi saling lempar batu di antara dua kelompok tersebut. Massa dari salah satu kelompok kemudian digiring masuk oleh polisi ke kompleks Perguruan Tamansiswa. Di kompleks tersebut, terdapat sejumlah bangunan, termasuk Museum Dewantara Kirti Griya yang merupakan bekas rumah Ki Hadjar Dewantara.
Sejumlah barang koleksi Museum Dewantara Kirti Griya pun ikut terimbas bentrokan tersebut. Selain meja kuno yang terinjak-injak, sebuah kursi kayu yang dulu dipakai oleh keluarga Ki Hadjar juga menjadi ”saksi” kericuhan tersebut.
Staf Museum Dewantara Kirti Griya, Agus Purwanto, mengatakan, saat datang ke museum pada Senin pagi, dirinya melihat kursi tersebut terlempar sekitar 3 meter dari tempatnya semula dengan posisi terbalik. ”Mungkin kursi itu sempat dipakai oleh massa di dalam kompleks untuk menghalau atau menakut-nakuti massa penyerangnya yang berada di luar,” katanya.
Setelah dicek, bagian sandaran kursi itu ternyata sedikit cekung dan alas kursi yang terbuat dari rotan juga hampir tercerabut. Selain itu, kursi tersebut juga tidak lagi stabil. Padahal, sebelum terjadinya bentrok, kondisi kursi tersebut masih baik.
Agus menyebut, setelah peristiwa itu, bagian depan museum juga terlihat berantakan. Sejumlah pot bunga di museum tersebut pecah dan tanaman-tanaman di dalamnya tercerabut. Selain itu, pintu belakang museum juga rusak.
Meskipun tidak banyak, kerusakan yang terjadi di museum tersebut tak bisa dianggap remeh. Apalagi, Museum Dewantara Kirti Griya memiliki 3.000 koleksi terkait kehidupan Ki Hadjar yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
”Semua benda koleksi museum memiliki nilai ekstrinsik sejarah dan cagar budaya yang tak tergantikan. Ketika benda-benda itu rusak, kerugian yang timbul tidak bisa dikalkulasi dengan angka karena kenangan di dalamnya tak ternilai harganya,” tutur Bagus Pujianto, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X DIY-Jawa Tengah.
Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia DIY Ki Bambang Widodo mengatakan, bentrokan yang berimbas pada kerusakan koleksi museum itu sangat disayangkan. “Museum dengan koleksi didalamnya adalah bagian dari aset bangsa berharga yang menjadi bagian dari pendidikan karakter bangsa,” katanya.
Selain menimbulkan kerusakan, bentrokan itu juga menebar ketakutan di kalangan masyarakat. Ny Widodo (60), salah seorang pemilik toko kelontong di Jalan Tamansiswa, mengaku terpaksa menutup tokonya lebih cepat karena takut terkena dampak bentrokan itu.
Saat bentrokan mulai terjadi sekitar pukul 18.30, Ny Widodo langsung menutup tokonya. Padahal, dalam kondisi normal, dia biasanya menutup toko pada pukul 21.00.
”Saya tutup toko lebih cepat untuk menghindari kerusakan akibat bentrokan,” ujarnya.
Bentrokan yang berimbas pada kerusakan koleksi museum itu sangat disayangkan.
Imbas penganiayaan
Kepala Bidang Humas Polda DIY Komisaris Besar Nugroho Arianto menyatakan, bentrokan pada Minggu malam itu berkait dengan kasus penganiayaan di kawasan Parangtritis, Kabupaten Bantul, DIY, pada 28 Mei 2023.
Penganiayaan itu mengakibatkan seorang simpatisan perguruan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) terluka. Adapun pelaku penganiayaan diduga merupakan simpatisan kelompok suporter klub sepakbola PSIM Yogyakarta, Brajamusti.
”Hal ini berkaitan dengan penganiayaan terhadap salah satu simpatisan dari PH (PSHT) yang dilakukan oleh simpatisan dari BI (Brajamusti)," ujar Nugroho.
Nugroho memaparkan, kasus penganiayaan di Bantul itu telah ditangani oleh Polres Bantul. Kepolisian telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka terkait penganiayaan itu.
”Sampai saat ini, masih dalam proses penyidikan,” katanya.
Namun, Nugroho menambahkan, pada Minggu kemarin, polisi mendapat informasi bahwa kelompok simpatisan PSHT berencana mendatangi salah satu tempat berkumpulnya simpatisan Brajamusti di Yogyakarta. Setelah mendapat informasi itu, polisi berupaya melakukan pengamanan agar tidak terjadi gesekan di antara dua kelompok. Meskipun begitu, bentrokan tetap tak bisa dicegah.
”Kejadian tadi malam itu, ada saling lempar batu antara kelompok PH (PSHT) dan kelompok BI (Brajamusti) sehingga kemudian mengakibatkan masyarakat sekitar juga ikut dalam hal tersebut,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Nuredy Irwansyah.
Nuredy menyatakan, sedikitnya ada sembilan orang yang terluka dalam peristiwa itu. Namun, dia menyebut, proses pendataan korban dan kerusakan akibat bentrokan itu masih dilakukan.
”Yang terdata pada saat ini ada sembilan yang luka-luka. Kami masih melakukan pendataan apakah ada masyarakat lain yang juga menderita luka-luka. Untuk kerusakan, kami juga masih melakukan pendataan,” kata Nuredy.
Nuredy menambahkan, penyelidikan terkait bentrokan itu masih dilakukan. Polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
Berdamai
Sementara itu, perwakilan PSHT dan Brajamusti telah menyatakan sepakat untuk berdamai. Ketua Cabang PSHT Bantul Tri Jaka Santosa pun menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya bentrokan itu.
”Kepada masyarakat Yogyakarta, saya betul-betul minta maaf karena ini di luar kemampuan kami. Saya sudah berusaha membendung, jangan sampai terjadi permasalahan di wilayah hukum Yogyakarta, tapi saya tidak kuasa,” kata Tri.
Selain itu, Tri juga mengimbau warga PSHT di mana pun untuk tidak masuk ke DIY dan melakukan aksi tercela. ”Karena situasi Yogyakarta sudah kondusif, saya mengimbau warga PSHT di manapun kalian berada, tidak boleh masuk ke Yogyakarta,” ujarnya.
Baskoro dari Biro Hukum Brajamusti juga meminta maaf kepada warga PSHT dan masyarakat Yogyakarta terkait bentrokan yang terjadi. Baskoro menyebut, Brajamusti dan PSHT telah sepakat berdamai dan menjalin persaudaraan.
”Kita semua sudah berdamai, kita semua sudah sepakat untuk seduluran saklawase (bersaudara selamanya),” ujar Baskoro.
Menanggapi bentrokan itu, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X meminta semua pihak untuk mengedepankan sikap sabar dan rasa persaudaraan. Dengan mengedepankan persaudaraan, masalah yang terjadi diharapkan dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat.
”Pemda DIY dan Polda DIY siap menjadi fasilitator bagi kelompok yang terlibat konflik agar segera tuntas melalui jalur mufakat dan kekeluargaan,” ujar Sultan.
Kepala Divisi Humas Jogja Police Watch Baharuddin Kamba mengatakan, setelah kejadian tersebut, perlu ada evaluasi dari kepolisian terkait pengamanan massa dalam jumlah besar. Sebab, sebelum bentrokan terjadi, ada massa dalam jumlah besar yang masuk ke Yogyakarta.
”Kenapa massa dengan jumlah yang cukup besar itu bisa masuk ke Yogyakarta? Ini harus dievaluasi secara total dan tuntas oleh pihak kepolisian agar insiden serupa tidak terulang kembali,” ujar Baharuddin.