Rencana Ekspor Pasir Laut Rawan Mengulang Mimpi Buruk Nelayan Kepri
Rencana pemerintah membuka lagi keran ekspor pasir laut mengulang mimpi buruk nelayan di Kepulauan Riau. Hingga 20 tahun setelah dihentikan, nelayan masih merasakan dampak kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Sebuah kapal tunda dan kapal tongkang pengangkut pasir dari Pulau Citlim, Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, disita Gugus Keamanan Laut Komando Armada I untuk selanjutnya dibawa ke Pangkalan TNI AL di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (25/7/2019).
BATAM, KOMPAS — Rencana pemerintah membuka lagi keran ekspor pasir laut rawan mengulang mimpi buruk nelayan Kepulauan Riau. Dampak rusaknya pesisir akibat penambangan pasir laut yang pernah marak puluhan tahun lalu masih terasa hingga kini.
Sejak 1976, pasir dari perairan Batam dan Karimun, Kepri, dikeruk secara ugal-ugalan untuk mereklamasi Singapura. Volume pasir yang diekspor ke Singapura lebih kurang 250 juta meter kubik per tahun (Kompas, 16/2/2003).
Tambang pasir laut mengakibatkan ekosistem laut dan pesisir rusak. Ikan menghilang dan nelayan merana.
Selain itu, pulau-pulau kecil mengalami abrasi. Pasir laut di sekitarnya dikeruk terus-menerus.
Akhirnya, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Mulai saat itu, ekspor pasir laut dihentikan secara bertahap.
Tokoh nelayan di Karimun, Amirullah (59), Senin (29/5/2023), mengatakan, meskipun telah dihentikan 20 tahun lalu, dampak kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut masih terasa sampai sekarang.
Nelayan kini harus melaut lebih jauh. Habitat ikan di terumbu karang yang berjarak 0-5 mil dari pantai sudah musnah.
”Dulu dayung sampan sedikit saja sudah bisa dapat ikan banyak sekali. Sekarang, kalau cuma modal sampan, nelayan enggak akan bisa hidup,” kata Amirullah.
Hal senada diungkapkan warga di Pulau Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Batam. Amdan (34) mengatakan, tambang pasir laut tidak hanya membuat habitat ikan hancur, tetapi juga mengancam pulau-pulau kecil tempat warga bermukim.
Ia menuturkan, pengerukan pasir laut membuat tanah di pulau-pulau kecil merosot ke laut. ”Dulu, tiang rumah-rumah panggung warga di Pemping sudah gantung di laut karena pulau kami abrasi parah,” ujarnya.
Petugas kelurahan berkeliling kampung untuk mengajak warga ikut vaksinasi di Pulau Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Selasa (29/6/2021).
Mimpi buruk
Mimpi buruk nelayan dan warga pulau kecil, seperti Amirullah dan Amdan, rawan terulang dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Lewat PP itu, pemerintah membuka lagi ekspor pasir laut.
Menurut Amdan, rencana pemerintah membuka lagi ekspor pasir laut itu tidak berwawasan maritim dan tidak memihak rakyat kecil. Ia menilai, peraturan tersebut hanya menguntungkan pengusaha besar.
Pada 2019, warga Pulau Pemping menolak rencana tambang pasir laut di Kecamatan Belakang Padang. Mereka menolak kompensasi Rp 600.000 yang ditawarkan perusahaan tambang.
”Laut di sini bagus dan kami sudah sejahtera. Laut yang membesarkan kami, laut yang menyekolahkan kami. Kami tak butuh tambang pasir laut,” ucap Amdan.
Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin, PP No 26/2023 diterbitkan pemerintah utamanya untuk melayani kebutuhan reklamasi. Kajian Walhi terhadap dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) 28 provinsi menunjukkan, hingga 2040 akan ada 3,5 juta hektar lahan yang direklamasi di Indonesia.
Berdasarkan data Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC), setiap tahun muka air laut naik 0,8 meter-1 meter akibat krisis iklim. Parid khawatir, di tengah kondisi itu, eksploitasi pasir laut secara besar-besaran bakal mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia.
”Presiden sering mengatakan di forum internasional bahwa Indonesia punya komitmen untuk menciptakan laut yang sehat dengan terus memperluas wilayah konservasi. Namun, kebijakan yang dikeluarkan, seperti soal tambang pasir laut, ini membuktikan komitmen pemerintah menjaga lingkungan laut yang sehat hanya retorika di atas mimbar,” ujar Parid, Minggu (28/5/2023).
Warga berwisata di Pantai Tanjung Pinggir, Batam, Kepulauan Riau, Minggu (28/5/2023). Di lokasi itu, gedung-gedung pencakar langit Singapura tampak dari kejauhan.
Sanksi tegas
Sebelum ekspor pasir laut dihentikan pada 2002, banyak pengusaha merekayasa data volume ekspor pasir laut. Tujuannya agar bisa mengekspor atau menjual sebanyak mungkin pasir laut berapa pun harganya tanpa memperhatikan dampak bagi lingkungan. Akibatnya, Indonesia rugi sekitar 540 juta dollar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun (Kompas, 7/3/2002).
Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura.
Ketua Komisi II DPRD Kepri Wahyu Wahyudin menyesalkan PP No 26/2023 hanya mengatur sanksi administrasi kepada pelanggar. Tanpa sanksi tegas, rekayasa volume ekspor pasir dan tenggelamnya pulau kecil akibat abrasi yang terjadi pada awal 2000-an bisa terulang lagi.
”Harus ada hukuman pidana bagi pengusaha yang melanggar, dan upaya pemulihan lingkungan pascatambang juga harus jelas. Kalau dua hal itu tidak ada, semua balik seperti zaman dulu lagi, lingkungan rusak dan nelayan merana,” kata Wahyu.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kepri Muhammad Darwin mengatakan, Pemerintah Provinsi Kepri masih mempelajari PP No 26/2023 mengenai seberapa besar pengelolaan hasil sedimentasi laut bakal menambah pemasukan daerah. Pemprov Kepri masih menunggu peraturan turunan dari PP No 26/2023 mengenai kewenangan daerah dalam hal pemberian izin pengelolaan hasil sedimentasi laut.
”Untuk saat ini, yang kami tahu soal pengelolaan sedimentasi laut ini kewenangannya lebih banyak di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Gubernur hanya sebatas mengeluarkan izin pengangkutan dan penjualan yang sifatnya mandatori,” ucap Darwin.