Guru SMA dan SMK Manado Didorong Kreatif Ajarkan Toleransi
Guru-guru sekolah menengah atas serta kejuruan di Manado didorong menemukan cara-cara kreatif dalam mengajarkan siswa bertoleransi. Manado dinilai dapat menjadi contoh untuk kota-kota lain karena relatif toleran.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Guru-guru dari sembilan sekolah mengikuti pelatihan mengelola dan memaknai perbedaan untuk siswa SMA dan SMK yang digelar Institut Dialog Antariman di Indonesia (Dian) atau Interfidei, Senin (29/5/2023), di Manado, Sulawesi Utara. Latihan ini diberikan kepada 28 guru yang berasal dari sembilan sekolah.
MANADO, KOMPAS — Guru-guru sekolah menengah atas serta kejuruan di Manado, Sulawesi Utara, didorong menemukan cara-cara kreatif dalam mengajarkan siswa bertoleransi. Kehidupan di Manado yang kini sudah relatif toleran diharapkan juga dapat menjadi inspirasi bagi kota-kota lain.
Upaya ini dipelopori Institut Dialog Antariman di Indonesia (Dian) atau yang lebih dikenal sebagai Interfidei. Wujudnya, program Pelatihan Mengelola dan Memaknai Perbedaan di Tingkat SMA dan SMK yang telah berlangsung sejak 2022 dan akan berakhir pada 2024.
Sebuah diskusi kelompok terpumpun (FGD) dilaksanakan pada Senin (29/5/2023) di SMA Negeri 2 Manado sebagai bentuk pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan hasil pelatihan. Acara ini diikuti 28 guru dari sembilan SMA dan SMK yang tersebar di Manado dan dipandu Sekretaris Institut Dian, Noorhalis Majid.
Noorhalis mengatakan, para guru telah mengikuti latihan dengan metode partisipatif dalam berbagai bentuk, seperti FGD, berbagi pengalaman, dan kerja kelompok.
Guru-guru yang mengikuti pelatihan ini pun tidak berganti-ganti sehingga mereka memiliki pemahaman dalam upaya membangun toleransi antarumat beragama.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Sekretaris Insitut Dialog Antariman di Indonesia (Dian) atau Interfidei, Noorhalis Majid, memandu diskusi dalam latihan mengelola dan memaknai perbedaan untuk siswa SMA dan SMK yang digelar Institut Dialog Antariman di Indonesia (Dian) atau Interfidei, Senin (29/5/2023), di Manado, Sulawesi Utara. Latihan ini diberikan kepada 28 guru yang berasal dari sembilan sekolah.
Salah satu contoh pelatihan adalah membongkar prasangka terhadap umat agama lain. ”Kami mendalami, apa prasangka di antara peserta terhadap agama orang lain? Dari mana prasangka itu lahir? Apakah dari pemahaman soal teks (kitab)? Itu kami bongkar bersama dengan penjelasan langsung dari ahli agama tersebut,” kata Noorhalis.
Di samping itu, para guru dilatih tentang teologi dan membina hubungan antarumat beragama. Di tataran sekolah, hal ini bisa dilakukan dengan membuat kegiatan, seperti pentas seni atau kompetisi olahraga antarsekolah yang mempertemukan murid-murid dengan kepercayaan berbeda-beda.
”Toleransi itu dibangun dengan dialog. Kalau ada interaksi dan komunikasi yang kuat di antara mereka (guru-guru berbeda agama), mereka saling mengenal, toleransi itu akan terbangun,” katanya.
Noorhalis yakin, sekolah adalah lembaga yang sangat strategis untuk memupuk toleransi, dan peran para guru begitu krusial. Karena itu, tenggang rasa antarumat beragama harus lebih dulu dipahami para guru sebelum mereka mengajar para murid.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Guru-guru dari sembilan sekolah menyaksikan penampilan grup kolintang siswa-siswa SMA Negeri 2 Manado di sela-sela pelatihan mengelola dan memaknai perbedaan untuk siswa SMA dan SMK yang digelar Institut Dialog Antariman di Indonesia (Dian) atau Interfidei, Senin (29/5/2023), di Manado, Sulawesi Utara. Latihan ini diberikan kepada 28 guru yang berasal dari sembilan sekolah.
Harapannya, pluralisme nantinya akan menjadi gaya hidup para siswa. ”Nantinya mereka tidak enggan hidup dan bahkan bekerja sama dengan yang berbeda agama, tidak risih datang ke acara hari besar keagamaan kawannya,” katanya.
Salah satu sekolah yang telah mengimplementasikan pelatihan tersebut adalah SMA Katolik Rex Mundi, Manado. Marsela Pettri, guru konseling, mengatakan, ia dan dua kawannya telah mengajak para pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intrasekolah) untuk bekerja bakti di sebuah masjid yang tak jauh dari sekolah.
”Hambatan kami cuma masalah pengaturan waktu saja. Dari pihak masjid saat itu sama sekali tidak keberatan. Mereka justru senang dan bangga, ada kepedulian dari siswa-siswa yang bukan Muslim,” katanya.
Silvanna Samaliwu, guru SMA Kristen Eben Haezar Manado, mengatakan, guru-guru telah mengajak siswa mengunjungi rumah-rumah ibadah pada 2023, tetapi hal itu tak cukup.
Ia pun mengusulkan agar Institut Dian bisa turut memfasilitasi para siswa untuk menghadiri pelaksanaan ibadah agama lain.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Polisi wanita dari Direktorat Pengamanan Objek Vital Polda Sulut Brigadir Polisi Dua Meily Poli berjabat tangan dengan seorang suster selepas misa Malam Natal, Selasa (24/12/2019), di Katedral Hati Tersuci Maria, Manado, Sulawesi Utara.
”Kami ingin siswa melihat, apa yang dilakukan, misalnya, umat Islam ketika beribadah, dan juga sebaliknya. Di luar itu, kami punya program, seperti sharing love, yaitu siswa mengumpulkan uang atau pakaian bekas, lalu kami berikan kepada orang yang membutuhkan tanpa melihat agama dan sukunya,” kata Silvanna.
Sementara itu, Deivi Marentek, guru SMA Negeri 1 Manado, menyebut sudah ada program-program yang diinisiasi Dinas Pendidikan Sulut, yaitu lomba membaca puisi tentang toleransi.
Pihak sekolah pun mengirimkan lima siswa yang berbeda-beda agamanya, yaitu Kristen, Katolik, Hindu, dan Islam.
Sementara itu, Lance Jacob dari SMK Negeri 3 Manado menyatakan, Kurikulum Merdeka yang diberlakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mewajibkan adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Kegiatan belajar lebih banyak mengarah ke proyek sehingga ini dapat dimaksimalkan untuk implementasi latihan dari Institut Dian.
”Ada sembilan tema dalam P5, dan yang baru kami laksanakan adalah gaya hidup berkelanjutan, kemudian pemilihan pengurus OSIS sehingga kami mengangkat tema demokrasi. Tahun ajaran berikutnya, kami akan angkat tema Bhinneka Tungal Ika, di mana peserta didik mengunjungi rumah-rumah ibadah. Kami beri tahu siswa, apa-apa saja yang bisa mereka tanyakan kepada tokoh-tokoh agama tentang bertoleransi,” katanya.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Patung sepasang siswa berdiri di SMA Negeri 7 Manado, Sulawesi Utara, Kamis (4/6/2020). Segala kegiatan belajar dan ekstrakurikuler di sekolah itu telah dihentikan selama dua bulan terakhir akibat wabah Covid-19 merebak.
Sementara itu, sekolah-sekolah lain lebih banyak berfokus pada sosialisasi. SMK Cokroaminoto, misalnya, baru menyisipkan materi tentang toleransi. Ridwan Pombaile, perwakilan sekolah itu, menyebut, sikap skeptis sempat muncul di kalangan orangtua siswa, terutama setelah mereka melihat unggahan Ridwan kala mengunjungi wihara dan kelenteng semasa pelatihan bersama guru-guru sekolah lain.
”Banyak orangtua siswa yang mengira itu sama seperti menyalahi akidah. Ada juga komentar negatif saat saya unggah foto menjaga ibadah Natal dan Tahun Baru. Tetapi, sudah kami sampaikan pencerahan di berbagai kesempatan, dan mereka bisa menerima itu,” kata Ridwan.
Terkait dengan keadaan ini, Noorhalis menilai, Manado masih tergolong toleran dibandingkan dengan kota-kota lain yang telah dikunjungi Institut Dian. Hanya saja, kurangnya komunikasi antarumat beragama dapat menjadi bara dalam sekam.
”Masih ada sentimen antaragama dalam hubungan interpersonal, tetapi Manado bisa jadi contoh bagi kota lainnya,” katanya.
Dalam laporan Indeks Kota Toleran 2022 yang dibuat SETARA Institute, Manado menempati posisi kedelapan dari 10 kota paling toleran di Indonesia.
Dengan delapan indikator yang mencakup, antara lain, kebijakan pemerintah, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, pernyataan pejabat pemerintah, dan inklusi sosial keagamaan, Manado mencatatkan skor 5,767, tertinggal dari Singkawang di posisi pertama dengan skor 6,583.
Skor toleransi di Manado lebih tinggi daripada rerata nasional, yaitu 5,03. Menurut laporan IKT, Manado termasuk kota tanpa peristiwa diskriminatif.
Masyarakat dinilai mampu saling berkomunikasi dan terbuka satu sama lain. Pemkot juga turut menjaga ruang-ruang terbuka dan memberi pelayanan inklusif kepada seluruh masyarakat.