Salah Kaprah ”Keamanan” Rokok Elektrik
Miskonsepsi rokok elektrik aman terus berkembang. Negara perlu mengatur penggunaan rokok elektrik di masyarakat.
Sekitar satu setengah dekade lalu, rokok elektrik mulai masuk ke Indonesia. Seiring berjalannya waktu, rokok jenis baru tersebut menjadi kian populer dan banyak digandrungi, tak terkecuali oleh anak-anak. Sebagian pengguna di Kota Semarang, Jawa Tengah, meyakini, rokok elektrik lebih aman dan lebih ”sehat” dibandingkan rokok konvensional. Benarkah demikian?
Rokok elektrik adalah salah satu hasil produksi tembakau lain (HPTL) dengan atau tanpa nikotin dan penambah rasa. Pengguna mengonsumsi rokok elektrik dengan cara mengisap cairan yang telah dipanaskan menggunakan pemanas elektrik berbasis baterai. Jika rokok konvensional menghasilkan asap, rokok elektrik menghasilkan uap atau aerosol.
Di pasaran, rokok elektrik dikenal dengan berbagai sebutan, antara lain vapour, vape, e-cigarette, e-juice, e-liquid, personal vaporizer, e-cigaro, electrosmoke, green cig, smartsmoke, smart cigarette, tanks, mods, dan pods.
Beberapa tahun terakhir, iklan atau konten terkait rokok elektrik kian marak, terutama di media sosial. Sejumlah pesohor hingga pejabat publik dengan jutaan pengikut turut mengiklankan atau membuat koten media sosial yang di dalamnya menampilkan produk rokok elektrik maupun aktivitas mereka mengonsumsi rokok elektrik.
Sejalan dengan masifnya iklan atau konten tentang rokok elektrik di media sosial, jumlah pengguna rokok elektrik terus meroket. Berdasarkan laporan Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada tahun 2021, ada sekitar 6,6 juta perokok elektrik berusia di atas 15 tahun di Indonesia. Angka itu 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah perokok elektrik berusia di atas 15 tahun pada 10 tahun sebelumnya, yakni 480.000 orang.
Dalam survei yang sama juga disebutkan, 2,8 persen atau sekitar 184.800 orang dari total 6,6 juta pengguna rokok elektrik pada tahun 2021 merupakan pelajar.
Sebagian dari mereka tertarik mencoba rokok elektrik untuk pertama kalinya karena penasaran. Setelah mengonsumsi dalam jangka panjang, mereka jadi kecanduan. ASH (16), pelajar laki-laki di sebuah sekolah menengah kejuruan di Kota Semarang, salah satunya.
”Saya pertama kali tahu rokok elektrik dari salah satu gamers idola saya. Di konten Instagram dan Youtube-nya, dia selalu nge-games sambil mengonsumsi rokok elektrik, tampaknya seru, jadi saya ingin mencoba,” tutur ASH, Selasa (23/5/2023).
ASH lantas mencari tahu bagaimana dirinya bisa mendapatkan rokok elektrik. Kebetulan, banyak kakak kelas ASH yang mengonsumsi rokok elektrik. Mulanya, ASH mencoba rokok elektrik milik salah satu kakak kelasnya. Sepekan kemudian, ASH memutuskan untuk membeli rokok elektrik supaya tidak terus-terusan meminjam.
Baca juga: Di Balik Rokok Elektrik
Produk rokok elektrik yang pertama kali dibelinya adalah pods dengan harga Rp 100.000. ASH membelinya di minimarket yang berjarak sekitar 400 meter dari sekolahnya.
Selama dua tahun terakhir, ASH mencoba berbagai jenis rokok elektrik dan puluhan botol likuid aneka rasa. Dalam satu bulan, ASH mengeluarkan setidaknya Rp 300.000 untuk membeli likuid. Adapun, untuk membeli rokok elektrik, ASH butuh uang hingga Rp 1 juta setiap dua-tiga bulan sekali.
ASH meyakini, rokok elektrik tidak berbahaya. Menurut ASH, dirinya tidak pernah mengalami gangguan kesehatan berat selama mengonsumsi rokok elektrik. Kendati demikian, ASH juga tidak pernah memeriksakan kesehatannya secara menyeluruh.
”Setahu saya, rokok elektrik itu aman. Paling cuma menimbulkan kecanduan, tidak seperti rokok biasa yang sampai menyebabkan kanker atau penyakit jantung,” katanya.
Klaim terkait rokok elektrik lebih aman untuk tubuh juga dipercaya oleh Yusuf (30), warga Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Yusuf yang selama 17 tahun terakhir mengonsumsi rokok konvensional beralih ke rokok elektrik sejak tiga bulan terakhir.
”Saya beralih karena istri saya sedang hamil. Saya tidak mau janin di kandungan istri saya terpengaruh oleh dampak buruk rokok, terutama asapnya. Kalau rokok elektrik, kan, tidak ada asapnya, hanya uap, jadi aman,” ujar Yusuf.
Tanpa nikotin
Sejumlah orang memilih untuk mengonsumsi rokok elektrik dengan likuid yang diklaim tidak mengandung nikotin. ”Rokok elektrik dengan likuid tanpa nikotin cocok bagi pemula seperti saya. Dengan itu, saya bisa mendapatkan manfaat berupa perasaan rileks tanpa harus menanggung dampak buruknya, yakni gangguan kesehatan,” ucap Klara (18), pelajar di salah satu SMA di Kota Semarang.
Meski mengonsumsi likuid tanpa nikotin, Klara mengaku tetap merasa kecanduan. Sejak pertama kali mencoba rokok elektrik, sekitar 10 bulan lalu, Klara tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa mengonsumsi rokok elektrik. Orangtuanya tidak melarang meskipun mereka tahu Klara mengonsumsi rokok elektrik. Hal itu karena mereka memiliki keyakinan yang sama dengan Klara bahwa rokok elektrik dengan likuid tanpa nikotin tidak berbahaya.
Sebulan terakhir, Klara mengaku kesulitan mendapatkan likuid tanpa nikotin di toko-toko perlengkapan rokok elektrik langgangannya. Menurut pihak toko, suplai likuid tanpa nikotin macet karena produksinya menurun. Klara lalu memutuskan untuk membelinya secara daring di lokapasar.
Sejumlah pekerja di toko rokok elektrik menawari Klara untuk beralih ke likuid yang kandungan nikotinnya 3 miligram. Tawaran itu diterima Klara. ”Tidak masalah karena cuma sekali ini. Nanti kalau likuid tanpa nikotin yang saya beli secara daring sudah datang, likuid yang ada nikotinnya tidak dipakai lagi,” imbuhnya.
Dampak rokok elektrik
Dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, rokok elektrik umumnya menggunakan likuid yang mengandung nikotin, bahan karsinogenik, dan bahan toksik lainnya. Kandungan nikotin, baik dalam jumlah kecil maupun besar sama-sama memiliki potensi bahaya bagi tubuh.
Adapun, rokok elektrik dengan likuid yang diklaim bebas nikotin pun tetap tidak aman bagi tubuh. Sebab, likuid pada umumnya mengandung propylene glycol, gliserol, formaldehid, dan nitrosamin yang juga tidak ramah pada kesehatan.
Menurut Agus, kandungan karsinogen memang tidak langsung menimbulkan efek samping bagi para pemakainya. Dampak negatif baru akan dirasakan dalam kurun waktu 15-20 tahun setelahnya. Risiko kanker jauh lebih tinggi apabila rokok elektrik dikonsumsi sejak dini atau saat masih dalam masa anak-anak.
”Berbagai penelitian menunjukkan, rokok elektrik berdampak buruk pada sistem paru dan pernapasan, seperti meningkatkan peradangan atau inflamasi, berisiko merusak epitel, kerusakan sel, menurunkan sistem imunitas lokal paru, dan saluran napas. Rokok elektrik juga meningkatkan hipersensitif saluran napas, risiko asma dan emfisema, serta meningkatkan risiko kanker paru,” kata Agus.
Selain membawa dampak buruk bagi paru-paru dan saluran pernapasan, rokok elektrik juga mengganggu kesehatan gigi. Peneliti dari Fakultas Kedokteran Gigi Tuft University, Amerika Serikat, menemukan peningkatan risiko gigi berlubang pada pasien yang kerap menggunakan rokok elektrik. Temuan ini dinilai sebagai petunjuk atas kerusakan gigi akibat rokok elektrik (Kompas.id, 29/11/2022).
Dalam studi tersebut, peneliti menganalisis lebih dari 13.000 data pasien berusia di atas 16 tahun yang dirawat di klinik gigi Tufts selama 2019-2022. Mereka menemukan perbedaan yang signifikan antara pasien pengguna dan non-pengguna rokok elektrik. Sebanyak 79 persen pasien yang merokok elektrik dikategorikan memiliki risiko karies tinggi.
Penggunaan rokok elektrik dapat berkontribusi pada peningkatan risiko gigi berlubang. Kandungan gula pada likuid ketika aerosol dan kemudian dihirup melalui mulut akan menempel pada gigi.
Selain dampak kesehatan, ada dampak lain yang mesti ditanggung akibat penggunaan rokok, baik rokok elektrik maupun rokok konvensional, yakni dampak ekonomi. Spesialis Kebijakan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Daniel Grafton, mengatakan, negara harus menanggung dua dampak ekonomi akibat penggunaan rokok, yakni dampak langsung dan tak langsung.
”Dampak langsungnya adalah pengeluaran anggaran negara untuk fasilitas kesehatan. Sementara itu, dampak tidak langsungnya dari konsumsi produk tembakau, yakni meningkatkan risiko kematian, menambah panjang daftar cuti sakit, hingga menurunkan produktivitas kerja masyarakat karena penyakit,” tutur Grafton.
Bukan hanya negara, pengguna rokok elektrik juga tak luput dari dampak ekonomi. Hidayatullah (43), warga Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, misalnya, harus mengeluarkan biaya lebih setiap bulan karena dirinya menjadi pengguna ganda dari rokok konvensional dan rokok elektrik.
Hidayatullah, yang sudah puluhan tahun menjadi perokok konvensional, berharap bisa berhenti. Berdasarkan informasi yang diperoleh Hidayatullah dari media sosial, rokok elektrik disebut bisa membantu penggunanya berhenti. Alih-alih berhenti, Hidayatullah malah terperangkap dalam adiksi baru, yakni kecanduan rokok elektrik.
”Jadinya saya malah rugi karena pengeluarannya dobel, untuk beli rokok biasa sama rokok elektrik. Biasanya cuma keluar Rp 1,8 juta per bulan untuk beli rokok biasa. Sekarang, (pengeluaran) jadi bertambah karena harus beli ikuid dan vape yang membutuhkan biaya Rp 300.000-Rp 1,5 juta,” tuturnya.
Hidayatullah tidak sendiri. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, jumlah perokok elektrik yang juga menggunakan rokok konvensional sebesar 96,7 persen. Artinya, sebagian besar masyarakat yang merokok elektrik juga merokok secara konvensional.
Faizal Rahmanto Moeis, dari Tim Riset dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, mengatakan, rokok elektrik terbukti bukan menjadi pengganti rokok konvensional karena sebagian besar perokok elektrik adalah pengguna ganda dari rokok konvensional. Dengan begitu, dampak yang ditimbulkan pun menjadi semakin berat (Kompas.id, 7/8/2020).
Menurut Faizal, perokok ganda memiliki risiko kesehatan yang sangat besar, terutama risiko menderita penyakit tidak menular seperti asma, stroke, gagal ginjal, dan rematik. Selain itu, pada perokok ganda usia di atas 40 tahun juga lebih rentan mengalami diabetes, jantung, dan kanker.
Indonesia belum punya rencana strategis yang jelas mengenai pengendalian tembakau, termasuk penggunaan rokok elektrik. Jika ingin lebih serius, Pemerintah Indonesia bisa menerapkan sejumlah strategi, mulai dari melarang impor, melarang produksi, melarang distribusi, melarang penjualan, dan melarang penggunaan rokok elektrik. (Ulysses Dorotheo)
Dampak buruk lainnya adalah pada penurunan produktivitas. Pada perokok ganda ditemukan memiliki produktivitas yang lebih rendah sekitar 0,69 jam per minggu dari perokok tunggal.
Sementara itu, pengeluaran kesehatan perokok ganda lebih tinggi Rp 269 per kapita per bulan dibandingkan perokok konvensional. Bahkan, pada orang yang hanya merokok elektrik memiliki pengeluaran kesehatan lebih besar sekitar Rp 15.635 per kapita per bulan dibandingkan perokok konvensional.
Regulasi
Di tengah ancaman dampak yang tidak ringan, 40 negara di dunia sudah melarang rokok elektrik. Larangan yang terapkan bervariasi, tetapi seluruhnya melarang penggunaan rokok elektrik di tempat publik.
Di Asia Tenggara, larangan penggunaan rokok elektrik diberlakukan di Brunei Darussalam sejak tahun 2005, Laos pada 2018, dan Singapura, Kamboja, serta Thailand sejak 2014. Sementara itu, di Indonesia, belum ada regulasi yang mengatur soal rokok elektrik.
”Indonesia belum punya rencana strategis yang jelas mengenai pengendalian tembakau, termasuk penggunaan rokok elektrik. Jika ingin lebih serius, Pemerintah Indonesia bisa menerapkan sejumlah strategi, mulai dari melarang impor, melarang produksi, melarang distribusi, melarang penjualan, dan melarang penggunaan rokok elektrik,” ucap Direktur Eksekutif Southeast Asia Tobacco Control Alliance (Seatca) Ulysses Dorotheo.
Sementara itu, anggota Staf Kebijakan dan Legislasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia, Dina Kania, mengatakan, Pemerintah Indonesia seharusnya segera meregulasi penggunaan rokok eletrik. Supaya efektif, regulasi terkait rokok elektrik harus diterapkan sama ketatnya dengan regulasi rokok konvensional.
Baca juga: Aneka Upaya dan Tantangan Menumpas Rokok Elektrik di Asia Tenggara
”Pemerintah Indonesia seharusnya melarang penggunaan rokok elektrik di tempat-tempat publik, seperti halnya melarang penggunaan rokok konvensional. Kewajiban pencantuman gambar peringatan dampak kesehatan seperti pada bungkus rokok harusnya juga diberlakukan pada rokok elektrik,” ujar Dina.
Selain itu, penetapan standar yang sama untuk seluruh rokok elektrik juga disebut Dina perlu dilakukan. Produk rokok elektrik harus sama dan tidak boleh menggunakan bentuk-bentuk yang besar atau menggoda.
Pembatasan umur pada pengguna rokok elektrik, menurut Dina, juga mendesak. Hal itu untuk menekan prevalensi anak-anak yang merokok. Tak hanya itu, ia juga menyarankan ada larangan memasang iklan rokok elektrik dan larangan penyebaran disinformasi tentang rokok elektronik, salah satunya terkait rokok elektrik yang dinilai ”tidak berbahaya”.
Kendati belum ada regulasi khusus terkait rokok elektronik, sejumlah pelaku usaha produk rokok elektrik memiliki inisiatif untuk memasang label peringatan kesehatan. ”Kami sadar diri untuk memasang label peringatan. Arahan terkait pemasangan label ini juga sudah kami sampaikan kepada anggota,” kata Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo Andrianto dalam laman www.apvi.id.
Baca juga: Mengupas Rokok Elektrik
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengakui Indonesia belum meregulasi rokok elektrik. Pengaturan tentang rokok elektrik sudah diusulkan dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
”Pengaturan tentang rokok elektrik diusulkan bersama dengan revisi aturan rokok konvensional, antara lain ukuran pesan bergambar diperbesar, pengetatan terkait iklan, promosi, dan sponsorship yang berkaitan dengan produk rokok, larangan penjualan rokok batangan, serta peningkatan fungsi pengawasan pengendalian konsumsi tembakau,” ucap Nadia.