Keniscayaan Ekonomi Hijau Kalteng
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan adalah penopang utama perekonomian Kalimantan Tengah. Untuk itu, pengembangan ekonomi hijau dan berkelanjutan menjadi sebuah keniscayaan.
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan adalah penopang utama perekonomian Kalimantan Tengah. Lapangan usaha bercorak ”hijau” ini selalu mendominasi struktur perekonomian Kalteng dan menjadi sumber pertumbuhan terbesar. Di sisi lain, ancamannya terhadap lingkungan juga besar. Maka, pengembangan ekonomi hijau dan berkelanjutan menjadi sebuah keniscayaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Kalteng pada triwulan I-2023 tumbuh sebesar 3,22 persen secara tahunan. Struktur perekonomian pada periode ini masih didominasi oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 20,87 persen; diikuti oleh industri pengolahan sebesar 16,56 persen, lalu pertambangan dan penggalian sebesar 15,50 persen.
Jika dilihat dari penciptaan sumber pertumbuhan ekonomi Kalteng pada triwulan I-2023, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi sumber pertumbuhan terbesar. Kontribusinya sebesar 1,42 persen untuk pertumbuhan ekonomi Kalteng periode ini.
Baca juga: Sedap Pangan Dayak di Rimba Riam Tinggi
Kalteng memiliki luas wilayah mencapai 153.564 kilometer persegi, atau 232 kali luas wilayah DKI Jakarta. Total penduduk Kalteng 2,74 juta jiwa, tersebar di 13 kabupaten dan satu kota. Berdasarkan data BPS Provinsi Kalteng, setengah dari total penduduk Kalteng mengandalkan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai kontributor utama perekonomian daerahnya.
Wilayah pertanian tersebar di bagian tengah dan barat Kalteng. Pertanian di wilayah barat didominasi oleh perkebunan kelapa sawit, sedangkan di wilayah tengah didominasi perkebunan karet dan tanaman pangan. Luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 1,9 juta hektar (2022), perkebunan karet 439.071 hektar (2022), dan luas lahan sawah tanaman pangan 390.273 hektar (2021).
Kita menginginkan pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan sehingga tidak lain dan tidak bukan konsepnya adalah ekonomi hijau.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Palangka Raya (UPR), Fitria Husnatarina, mengatakan, secara faktual pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi primadona karena kondisi geografis Kalteng secara spesifik memang mendukung pengembangannya. Sektor itu kemudian menjadi pengungkit utama perekonomian Kalteng.
”Potensi sektor primadona itu sangat besar. Namun, pengembangannya belum optimal karena masih dilakukan secara konvensional, parsial, tidak masif dan berkelanjutan, serta tanpa perencanaan holistik untuk jangka panjang,” katanya di Palangkaraya, Rabu (17/5/2023).
Menurut Fitria, semestinya ada rancangan besar (grand design) pengembangan ekonomi Kalteng dari sektor utamanya, yang kemudian terdiferensiasi membentuk sektor baru. Apa yang dihasilkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi bahan baku sektor perindustrian. Kemudian, apa yang dihasilkan sektor perindustrian menjadi menjadi barang utama sektor perdagangan.
”Pengembangannya harus dari hulu ke hilir, membentuk ekosistem ekonomi yang terpadu. Kalau tidak begitu, Kalteng tidak akan pernah memiliki infrastruktur ekonomi yang kuat,” ujar Direktur Galeri Investasi Bursa Efek Indonesia di UPR itu.
Baca juga: Beras Masih jadi Penyumbang Inflasi di Kalteng
Pengembangan sektor utama yang masih konvensional, misalnya dengan ekspansi lahan perkebunan atau lahan tanaman pangan, memunculkan dampak ikutan. Pada saat pertumbuhan ekonomi tinggi, risiko bencana juga tinggi. Ikhtiar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi akhirnya berdampak pada kerusakan alam, tidak terjaganya sebuah kawasan, dan konflik dengan masyarakat.
”Karena kita menginginkan pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan, sehingga tidak lain dan tidak bukan konsepnya adalah ekonomi hijau. Bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan membangun sumber daya manusia dan menjaga lingkungan. Ekonomi hijau dan berkelanjutan itu bukan pilihan, melainkan mandat dan wajib diterapkan,” tuturnya.
Mitigasi risiko
Penerapan ekonomi hijau, menurut Fitria, tecermin dari adanya penganggaran untuk memitigasi risiko-risiko kerusakan lingkungan dari sebuah kegiatan usaha. Mitigasi risiko itu tertuang dalam kebijakan, diimplementasikan, serta dievaluasi.
”Sudah semestinya suatu aktivitas usaha tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan,” katanya.
Dalam diseminasi ekonomi Kalteng dan outlook 2023, yang diselenggarakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Kalteng pada 13 Januari 2023, dipaparkan juga mengenai potensi ekonomi terbarukan di Kalteng, antara lain hilirisasi batubara serta perdagangan karbon (carbon trading) dalam kegiatan pengelolaan hutan gambut.
”Pengembangan sumber ekonomi terbarukan ini menjadi penting bagi kegiatan ekonomi Kalteng mengingat hanya 13 persen dari pangsa ekspor Kalteng yang dikategorikan sebagai ekonomi hijau,” demikian disampaikan BI Kalteng dalam Laporan Perekonomian Provinsi Kalteng Februari 2023.
Baca juga: Bertani Kita Teguh Tak Bertani Kita Runtuh
Menghadapi tantangan lingkungan serta tekanan dari luar negeri dalam transisi menuju energi hijau (green energy), BI mengharapkan Kalteng mampu menggali dan mendorong sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sasaran utamanya adalah mengupayakan dekarbonisasi dari berbagai kegiatan ekonomi yang memberikan polusi besar.
Lebih lanjut, dalam kuliah umum internasional mengenai ekonomi hijau, yang diadakan BI Kalteng di UPR pada 10 Februari 2023, Profesor Wing Thye Woo dari Universitas California menekankan pentingnya absorpsi atau penyerapan karbon dioksida (CO2) dengan program reforestasi (penghutanan kembali), sistem hutan mangrove, hingga rehabilitasi lahan bekas tambang.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kalteng Kaspinor mengatakan, arah dan kebijakan ekonomi hijau di Kalteng sejalan dengan visi misi dan gagasan pemerintah provinsi mempercepat pembangunan ekonomi yang produktif, kreatif, dan berwawasan lingkungan.
”Kami mendorong kemajuan ekonomi berbasis potensi sumber daya alam yang berkesinambungan, memperhatikan aspek sosial, kearifan lokal, dan kelestarian atau keseimbangan lingkungan,” katanya.
Baca juga: Lumbung Pangan Lokal Pertahanan Dayak Melawan Perubahan Iklim
Menurut dia, strategi untuk mencapai tujuan itu juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalteng 2021-2016 pada poin memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan, serta mengembangkan sektor pariwisata.
Kami mendorong kemajuan ekonomi berbasis potensi sumber daya alam yang berkesinambungan, memperhatikan aspek sosial, kearifan lokal, dan kelestarian atau keseimbangan lingkungan .
Kaspinor menyampaikan, ekonomi hijau di Kalteng diterapkan melalui pembangunan rendah karbon dalam berbagai sektor, misalnya pengelolaan lahan gambut, rehabilitasi hutan atau mangrove, pengukuran indeks kualitas lingkungan hidup, pertanian untuk lumbung pangan (food estate), serta pengelolaan sampah.
”Capaian makro pembangunan provinsi Kalteng dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemandirian masyarakat,” katanya.
Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi mengatakan, ekonomi hijau menitikberatkan pada proteksi lingkungan, mengedepankan pembangunan rendah karbon untuk mitigasi perubahan iklim, serta inklusif secara sosial. ”Ada komitmen pemerintah mengembangkan ekonomi hijau di dalam RPJMN maupun RPJMD. Namun, antara komitmen dan realitas tak sejalan,” katanya.
Perekonomian Kalteng secara faktual masih bergantung pada industri ekstraktif, terutama industri perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan kehutanan. Semuanya berpotensi mengakibatkan deforestasi dan merusak lingkungan sehingga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang serius. Begitu pula dengan program pertanian food estate yang dibuka dengan mengkonversi hutan dan lahan gambut.
Saat ini, ungkap Habibi, wilayah Kalteng seluas 11 juta hektar atau lebih dari 70 persen sudah dibebani izin industri ekstraktif. Luas perizinan kelapa sawit 4,06 juta hektar, izin pertambangan (batubara, zirkon, biji besi, emas) 2,3 juta hektar, serta izin kehutanan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 4 juta hektar dan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 700.000 hektar.
”Kalau perizinan itu dibuka semua, maka akan kacau. Saat ini saja, beberapa daerah di Kalteng bisa dua kali banjir dalam setahun, terutama di daerah yang sudah banyak industri ekstraktif,” katanya.
Habibi mendesak pemerintah menyetop ekspansi industri ekstraktif. Semua perizinan untuk industri itu harus dievaluasi. Perizinan yang mengganggu kawasan hutan daerah tangkapan air, ekosistem gambut, dan berkonflik dengan masyarakat adat harus dicabut.
”Kalau pemerintah masih tetap mengandalkan industri kelapa sawit, pemerintah harus menemukan dan membangun konsep bagaimana meningkatkan produktivitas kelapa sawit tanpa harus ekspansi lahan,” katanya.
Di samping itu, lanjut Habibi, pelibatan masyarakat sangat penting dalam pengembangan ekonomi hijau. Selama ini, masyarakat adat di Kalteng terbukti bisa menjaga hutan sehingga sangat mendukung pembangunan rendah karbon. ”Dalam pelaksanaannya masih minim sekali pelibatan masyarakat adat. Padahal, ini harusnya menjadi prioritas,” ujarnya.
Sebagai provinsi terluas di Indonesia, pengembangan ekonomi hijau menjadi keniscayaan bagi Kalteng. Komitmen untuk itu tentunya harus semakin mendekati realitas pada hari jadi ke-66 provinsi dengan julukan ”Bumi Tambun Bungai” ini.
Baca juga: Jalan Panjang Pangan Dayak