Nuraga untuk Mereka yang Berbeda…
Sekolah harusnya adalah sebuah ”taman”. Bahwa kebutuhan pendidikan anak bisa sangat beragam dan tak bisa disamakan. Menjadi inklusif, sadar, dan menerima perbedaan harusnya ada di sekolah.
Sekolah itu tamannya siswa. Jadi jangan jadikan melati menjadi mawar. (KH Dewantara)
Sebuah pesan inklusif dari Ki Hajar Dewantara, yang diucapkan seorang narasumber, menjadi benang merah pada acara pameran ilustrasi, peluncuran, dan bedah buku Nuraga Sang Guru: Sebuah Kisah Kebhinekaan dalam Pendidikan Inklusif dan Menumbuh dan Membumi: Anakku, Anakmu, Anak Ibu Pertiwi, Kamis (11/05/2023), di Universitas Negeri Malang.
Pesan itu sejatinya mengajak kita untuk menyadari dan menerima perbedaan. Bahwa sebuah taman akan indah jika mawar, melati, tumbuh berdampingan dengan daun yang menghijau, serta tanah basah yang coklat menyegarkan. Dan sekolah, harusnya adalah sebuah ”taman”.
Bahwa sosok siswa beserta kebutuhan pendidikannya bisa sangat beragam dan tak bisa disamakan. Ada anak biasa dan ada anak berkebutuhan khusus. Menerima perbedaan dan hidup dengan kesadaran penuh bahwa banyak hal berbeda di sekitar kita harusnya ada di sekolah.
Baca juga: Lindungi Anak Berkebutuhan Khusus
Buku tersebut karya Ahsan Romadlon Junaidi, Setia Adi Purwanta, Pamitkasih, Galuh Sukmara, Diah Kartika Estie, Susanti Mayangsari dan Rosi Ponk Kristian. Proses penyusunan buku berlangsung selama dua tahun pada masa pandemi.
Diskusi di antara penulis dan narasumber yang terdiri dari orangtua anak berkebutuhan khusus, dokter, psikolog, psikiater, kepala sekolah dan guru dilakukan secara online. Buku ini melibatkan dua editor dan seorang ilustrator untuk memperindah tampilan konten. Nuraga sendiri adalah kata dalam bahasa Indonesia yang sudah jarang digunakan, di mana artinya berbagi rasa.
Lahirnya dua buku pegangan tersebut hasil kerja sama antara Program Kemitraan Indonesia dan Pemerintah Australia melalui Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi), dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia. Kedua buku disusun berdasarkan pengalaman penulis yang penyandang disabilitas (ada disabilitas netra, dengar, dan daksa) dan orang tua yang memiliki anak disabilitas.
Prosa
Dua buku itu berisi ilmu tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan inklusi. Buku ditulis dengan bentuk prosa ringan, yang sangat renyah dibaca dan dicerna.
Saking renyahnya, tanpa sadar, pembaca didorong untuk memahami dan sadar akan pentingnya pendidikan inklusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tanpa sadar, pembaca diajak memahami fenomena liku-liku penyelenggaraan pendidikan inklusi di Tanah Air. Tanpa menggurui dan tanpa paksaan.
Dikisahkan, bagaimana Sumardi atau disebut Mas Guru mendapat tugas mendirikan rintisan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI). Digambarkan, bagaimana Mas Guru yang awalnya ragu karena tidak memiliki bekal pendidikan inklusi selama menempuh pendidikan di PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar), akhirnya menerima tugas dari dinas tersebut.
Ia memulai langkah dengan konsultasi pada guru purnatugas di sekolah tempatnya mengajar. Dari guru senior tersebut, Sumardi mengetahui peta dan kondisi sekolahnya, mulai dari anak yang lambat belajar, anak yang dicap nakal, dan lainnya. Bahkan, ia mengetahui bagaimana ada guru yang terang-terangan menolak sekolah tersebut menjadi inklusi.
Alasannya, mereka khawatir menerima anak berkebutuhan khusus itu akan membuat prestasi sekolah turun. Bahkan, beberapa guru ada yang bersiasat untuk ”mengusir” siswa dengan prestasi kurang agar keluar dari sekolah. Tujuannya supaya lulusan sekolah bisa 100 persen dengan nilai bagus.
Perjuangan Sumardi pun tidak berhenti karena adanya sejumlah guru yang merespons negatif upaya mewujudkan pendidikan inklusif di sekolahnya. Perlahan ia mencari kawan sepemikiran, Bu Landri, dan berdiskusi aneka hal.
Pelatihan hal terkait pendidikan inklusif pun mereka ikuti dan seterusnya hingga pengawas sekolah bukannya merasa ”terancam” dengan akan dibuatnya sekolah inklusif, tetapi justru senang karena mendapat ilmu baru.
Dua buku di atas semacam panduan bagi guru dan orangtua, untuk mewujudkan sekolah inklusif. Di dalamya terdapat panduan menangani anak dengan beberapa gangguan fungsi seperti pengelihatan, pendengaran, gangguan emosi, dan intelektual. Buku setebal 319 dan 380 halaman itu sebenarnya berisi tata cara mewujudkan sekolah inklusif. Namun, penyajiannya sangat ringan hingga kita tidak akan merasa jika diarahkan.
Diskusi dan bedah buku tersebut dilakukan pada Kamis (11/5/2023) di Universitas Negeri Malang.
Hadir dalam acara ini adalah Felicity Lane (First Secretary for Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) Hub, Kedutaan Besar Australia di Jakarta), Mark Heyward (Direktur Program Inovasi), Cecep Suryana (Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Direktorat Jenderal PAUD dan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi).
Adapun pembedah bukunya adalah M Arief Taboer (dosen pendidikan luar biasa Universitas Negeri Jakarta) serta Sukinah (dosen pendidikan luar biasa Universitas Negeri Yogyakarta).
Baca juga: Pengasuhan Anak Berkebutuhan Khusus
Tantangan
Di Indonesia, pendidikan inklusif memang masih memiliki beberapa tantangan. Cecep Suryana, Widyaprada Ahli Madya di Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Direktorat Jenderal PAUD dan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Kemendikbudristek, mengatakan bahwa pendidikan inklusif di Tanah Air masih memiliki beberapa tantangan.
Tantangan itu misalnya adalah belum adanya data pasti jumlah anak berkebutuhan khusus (di dalam buku disebut anak dengan gangguan fungsi) di Indonesia. Pemerintah hanya tahu saat mereka terdata di sekolah secara resmi. ”Data di Kemendikbudristek, angka partisipasi kasar untuk pendidikan khusus baru 15 persen. Itu sangat jauh dari harapan kita. Masih ada sebagian besar ABK belum terlayani pendidikan,” katanya.
Dengan adanya data, menurut Cecep, pemerintah kesulitan untuk memberikan layanan pendidikan sesuai kebutuhan.
Perlu ada perubahan mindset kita sehingga tidak ada lagi anak yang tidak mendapatkan sekolah.
Selain data, Cecep juga menyadari bahwa jumlah dan kompetensi guru pendidikan inklusif masih kurang. ”Di Kota Malang, misalnya, tadi disebutkan bahwa sebenarnya sekolah mau untuk menerapkan pendidikan inklusif. Namun, karena keterbatasan kemampuan dan kompetensi, mereka khawatir bahwa mereka tidak akan mampu melayani dengan baik. Ini yang akan jadi PR ke depan,” katanya.
”Dengan buku ini, saya kira akan memberikan angin segar agar pendidikan inklusif bisa berkembang,” kata Cecep menanggapi peluncuran dua buku itu.
Tanggapan positif lain disampaikan oleh Felicity Lane. ”Ini buku bagus untuk menyukseskan pendidikan inklusi. Sebagaimana kita tahu, guru dan orangtua punya peran penting mendukung proses belajar ABK. Uuntuk itu, kedua buku dirancang khusus untuk orangtua dan guru yang tak punya latar belakang dan pendidikan inklusif. Kedua buku ini bertujuan agar ortu dan guru paham pendidikan inklusi,” katanya.
Dua buku tersebut, menurut Felicity, telah diujicobakan di Lombok Tengah pada sekolah dengan siswa disabilitas. ”Pemerintah Australia dan Indonesia berbagi komitmen sama untuk memacu pendidikan inklusi dan kesetaraan jender. Acara ini salah satu upaya mewujudkan komitmen tersebut. Semoga buku panduan dan diskusi ini bisa bermanfaat,” katanya.
Catatan penting disampaikan oleh Mark Heyward (Direktur Program INOVASI), program kemitraan Indonesia dan Australia. Menurut dia, pendidikan inklusif dilandasi semangat terbuka menerima dan menghargai orang lain yang berbeda sehingga sistem pendidikan inklusi hanya bisa dijalankan bila semua pihak menerima keragaman peserta didik.
”Jadi, kita harus lebih terbuka lagi dengan menerima semua anak. Perlu ada perubahan mindset kita sehingga tidak ada lagi anak yang tidak mendapatkan sekolah. Jadi, sekolah harus disesuaikan untuk anak-anak, bukan sebaliknya. Ini transformasi yang cukup lamban dan kita perlu mengubah pola pikir agar bisa berjalan. Kalau pendidikan ini bisa terjadi, ini akan jadi peluang untuk Indonesia ke depannya. Menjadi lebih kompetitif, sejahtera, dan bagus untuk kita semua,” kata Mark.
Baca juga: Penerimaan Terbelah pada Anak Berkebutuhan Khusus
Refleksi
Adapun Rektor Universitas Negeri Malang Hariyono mengisahkan ketapa pentingnya inklusivitas pendidikan. Ini berkaca pada era kolonial, di mana pendidikan sangat diskriminatif di mana bangsa Eropa, Asia Timur, dan pribumi dipisah-pisahkan dalam hal pendidikan. Hal itu menciptakan ekslusivisme dan berdampak pada segregasi sosial yang memicu konflik dan kebencian.
”Hakikat pendidikan itu tidak akan bermakna jika tidak kita refleksikan. Bagaimana kita merefleksikan pendidikan era kolonila yang berdampak segregasi sosial. Bukan menjembatani, membumi, dan menumbuh, tetapi justru memisahkan anak manusia satu dan lainnya,” kata Haryono.
Anehnya, menurut Haryono, sekarang banyak pendidikan justru kembali menjadi eksklusif, baik berlatar agama maupun kelompok tertentu. ”Oleh karena itu, ke depan jadi tugas kita semua bagaimana anak-anak kita dari beragam latar belakang ini bisa mengalami perjumpaan. Di mana bukan hanya mengenal kebinekaan dalam tataran global, tetapi kebinekaan di tataran lokal dan nasional,” katanya.
Pada akhirnya, setelah peluncuran buku tentang pendidikan inklusi, akan lahir aksi-aksi nyata untuk mendorong pendidikan inklusif. Diharapkan, akan ada program lanjutan sebagai langkah lanjutan mewujudkan pendidikan inklusif di Tanah Air.
”Rencana setelah buku ini, kami akan menyusun kurikulum yang baik. Kami akan mencoba memberikan wawasan kami bagaimana mengajar anak, mengenalinya, dan mendampingi anak-anak tuli,” kata Galuh Sukmara, salah seorang dari tim penulis buku.
Ke depan, mereka akan buat kurikulum latihan. ”Kalau di saya, kurikulum untuk anak tuli. Ini bisa dibawa ke daerah-daerah yang mau diajar bagaimana cara yang proper mengajar anak tuli. Tidak perlu sekolah mengadakan fasilitas mewah, tetapi manfaatkan alam sebagai media pembelajaran. Kita perlu mengembalikan ke sana. Ini yang akan kami diskusikan ke depan terkait keberlangsungan program ini,” kata Galuh yang kebetulan memiliki gangguan fungsi dengar.
Galuh sempat bercerita tentang pengalamannya belajar S-1 psikologi di Tanah Air yang memakan waktu sepuluh tahun karena tidak mendapatkan bantuan akses bahasa isyarat. Berbeda dengan kuliah S-2 di Australia, di mana ia mendapat dukungan empat interpreter sehingga ia bisa bersaing dalam pendidikan dengan mahasiswa lain.
Baca juga: Hak Anak Berkebutuhan Khusus Belum Dipenuhi Optimal