Harga Tandan Buah Segar Sawit di Sumsel Diprediksi Anjlok Bulan Ini
Harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumatera Selatan diprediksi bakal anjlok pada awal Mei ini. Penurunan itu antara lain karena sejumlah negara mulai beralih dari minyak kelapa sawit ke minyak nabati lain.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumatera Selatan diprediksi bakal anjlok pada awal Mei ini. Penurunan itu antara lain terjadi karena sejumlah negara mulai mengganti penggunaan minyak kelapa sawit dengan minyak nabati jenis lain. Pemerintah pusat diminta segera mengambil langkah agar harga sawit tidak kian anjlok.
Analis Madya Dinas Perkebunan Sumatera Selatan, Rudi Arpian, Rabu (3/5/2023), mengatakan, harga tandan buah segar (TBS) sawit pada 18 April 2023 untuk usia tanaman 10 tahun adalah Rp 2.524 per kilogram. ”Harga ini masih melampaui harga produksi kelapa sawit, yakni sekitar Rp 2.100 per kg,” ujarnya.
Rudi memaparkan, harga TBS di Sumsel ditetapkan setiap dua minggu sekali. Oleh karena itu, pada awal Mei ini, akan ada penetapan harga baru. Jika melihat kecenderungan beberapa waktu terakhir, dia memperkirakan, harga TBS di Sumsel kemungkinan akan menurun.
Harga TBS dari petani sawit plasma kemungkinan akan menurun menjadi Rp 2.100-Rp 2.300 per kg. Sementara itu, harga TBS dari petani swadaya kemungkinan bakal menurun lebih signifikan. ”Ada kemungkinan harga TBS di tingkat petani swadaya di bawah Rp 2.000 per kg,” ungkapnya.
Rudi menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat harga TBS kelapa sawit terus merosot. Salah satunya adalah adanya beberapa negara yang mencoba beralih dari minyak kelapa sawit ke minyak nabati jenis lain.
Sejumlah negara yang mencoba melakukan peralihan itu misalnya India dan beberapa negara di Eropa. ”Itu karena di pasar global, harga minyak kelapa sawit dengan minyak nabati jenis lain tidak jauh berbeda,” tutur Rudi.
Rudi menambahkan, saat ini juga ada persyaratan ekspor yang menyulitkan petani swadaya. Salah satu yang dinilai memberatkan adalah kebijakan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan (RSPO). Persyaratan itu sulit dipenuhi oleh petani swadaya karena kurangnya sosialisasi dan modal.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Rudi meminta pemerintah pusat turun tangan dengan mendorong penyerapan sawit untuk kebutuhan dalam negeri. Salah satunya dengan memperbanyak produk turunan kelapa sawit serta pemanfaatan produk kelapa sawit untuk bahan baku pembuatan bahan bakar.
”Tujuannya agar industri sawit di Indonesia tidak terlalu bergantung dengan pasar global. Kondisi ini tentu akan membuat nilai tawar Indonesia akan lebih kuat di kancah internasional,” ujar Rudi.
Rudi juga memandang perlu adanya penetapan harga eceran tertinggi untuk TBS sawit milik petani swadaya agar mereka tidak dirugikan. ”Apalagi saat ini, sawit tidak termasuk dalam jenis komoditas yang mendapatkan pupuk bersubsidi,” tuturnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Alex Sugiarto juga berpendapat, turunnya harga TBS tak bisa dilepaskan dari masih lesunya pasar sawit. Apalagi, sejumlah negara importir masih memiliki stok minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang berlimpah.
”Kondisi tersebut membuat persaingan harga minyak nabati kian ketat. Banyak negara importir yang beralih ke minyak kedelai dan biji bunga matahari,” ungkap Alex.
Ada kemungkinan harga TBS di tingkat petani swadaya di bawah Rp 2.000 per kg.
Di sisi lain, distribusi CPO juga masih belum stabil setelah Idul Fitri. Banyak petani yang belum bekerja seperti biasa dan proses distribusi juga terhambat cuaca buruk. Kondisi ini membuat beberapa pabrik kelapa sawit kesulitan memperoleh bahan baku. ”Jadi, tidak ada pembatasan, malah kami kesulitan mendapatkan TBS,” tutur Alex.
Alex menilai, saat ini, pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis agar harga TBS tidak terus anjlok. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mengurangi kuota kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) minyak goreng dari semula 450.000 ton per bulan menjadi 300.000 ton per bulan.
Langkah lain adalah dengan menurunkan rasio ekspor atas pemenuhan DMO dari 1:6 menjadi 1:4. Namun, Alex mengingatkan, langkah terpenting adalah mengawasi distribusi minyak goreng agar tidak terjadi penyelewengan.
Dengan cara ini, diharapkan kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi sehingga dapat berdampak pada membaiknya harga TBS di tingkat petani.
Kepala Badan Pusat Statistik Sumsel M Wahyu Yulianto memaparkan, ekspor komoditas nonmigas di Sumsel mengalami penurunan jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada Maret 2023, ekspor komoditas nonmigas di Sumsel turun 3,17 persen dibandingkan Maret 2022.
Penurunan ini disebabkan oleh anjloknya ekspor lemak dan minyak hewani atau nabati sebesar 43,6 persen, komoditas karet dan barang-barang dari karet turun 27,24 persen, serta komoditas bubur kertas (pulp) dari kayu yang turun 5,9 persen.
”Kondisi ini juga menjadi penyebab penurunan ekspor di sektor industri pengolahan sebesar 20,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” kata Wahyu.
Padahal, jika dilihat dari segi harga, harga CPO pada Maret 2023 masih sebesar 972,06 dollar per metrik ton atau naik 2,32 persen dibandingkan Februari 2023. Kondisi ini menunjukkan terjadinya pengurangan permintaan di pasar global, terutama di sejumlah komoditas unggulan nonmigas seperti karet dan CPO.