Siklus Anjlok Harga Komoditas Perkebunan Unggulan
Harga komoditas sawit, karet, dan pinang terus tergerus belakangan ini. Petani menyebut kejatuhan harga yang rutin terjadi di masa Lebaran bagai tradisi yang merugikan.
Harga sejumlah komoditas unggulan perkebunan terus tergerus hampir sebulan terakhir. Kondisi itu disebut-sebut mengulang tradisi kejatuhan harga, yang kerap terjadi di masa Lebaran.
Harga sawit turun menjadi 1.800 per kilogram. Penurunan itu terjadi sejak dua pekan sebelum Lebaran.
Pada akhir Maret, harga jual buah sawit petani masih Rp 2.500 per kg. Harga mulai tergerus di awal April menjadi Rp 2.200 per kg. “Lalu, dua pekan menjelang Lebaran, harganya turun lagi menjadi Rp 1.800 per kg,” kata Rahman, petani sawit di wilayah Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Selasa (2/5/2023).
Harga komoditas yang jatuh di masa Lebaran terus berulang. Pada menjelang Lebaran tahun lalu, katanya, kondisi serupa terjadi. Bahkan, harga buah sawit jatuh lebih terpuruk. Dari Rp 3.600 menjadi Rp 1.100 per kg. Itu berlangsung cepat dalam waktu empat hari.
Soal harga yang rutin jatuh di masa Lebaran, disebut-sebut petani sebagai "potongan" yang dialokasikan pengusaha untuk tunjangan hari raya bagi para pekerjanya. "Tunjangan yang dibebankan kepada petani," ujar Rahman.
Baca juga : Ironi Petani Sawit Hadapi Panen Raya Tanpa Punya Pasar
Tidak hanya sawit, kondisi serupa dialami petani pinang. Harga biji pinang di awal tahun lalu masih di atas Rp 20.000 per kg, lalu turun menjadi Rp 9.000 di akhir 2022. Harga pinang terus tergerus hingga saat ini hanya dihargai Rp 3.500 per kg. “Jatuhnya harga kali ini yang paling parah,” kata Samsul, petani pinang di Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi.
Selain sawit dan pinang, komoditas getah karet turut mengelami hal serupa. Harga getah turun dari Rp 7.000 per kg menjadi Rp 6.800.
Baca juga : Menanti Terobosan Karet Rakyat
Ironisnya, jatuhnya harga getah karet terjadi di tengah kenaikan harga cuka getah. Cuka getah merupakan bahan baku pembekuan getah karet. Harga cuka getah sebelumnya Rp 13.000 per botol, kini naik menjadi Rp 14.000. “Inilah yang bikin kami bingung, harga cuka naik tetapi harga getah karet tidak ikut naik,” kata Sumiatun, petani karet di wilayah Pemayung, Kabupaten Batanghari.
Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi Agus Sudibyo mengatakan turunnya harga komoditas berjalan seiring dengan penurunan ekspor. Sawit dan karet merupakan dua komoditas perkebunan yang paling anjlok nilai ekspornya.
Nilai ekspor komoditas minyak nabati turun 21,5 persen, menjadi 22 juta dolar AS pada Maret dari bulan sebelumnya 28 juta dolar AS. Padahal, Jambi mengandalkan hasil olahan minyak sawit untuk diekspor.
Di Jambi, lebih dari 70 pabrik mengelola buah sawit menjadi minyak sawit mentah. Minyak sawit diekspor melalui Medan dan Batam.
Nilai ekspor karet olahan juga turun 22,5 persen menjadi 24,7 juta dolar AS dari bulan sebelumnya sebesar 31,9 juta dolar AS.
Agus juga menyebut tingkat kesejahteraan petani turun selama April. Hal itu terlihat dari indikator nilai tukar petani (NTP) yang turun 1,14 persen menjadi 142,71. Dan juga nilai tukar usaha rumah tangga pertanian (NTUP) turun 1,18 persen menjadi sebesar 141,03. Ia menganalisis penurunan terbesar terjadi pada subsektor perkebunan rakyat, hortikultura, dan peternakan.
Biaya produksi
Penurunan NTP, lanjutnya, disebabkan kenaikan biaya produksi dan penambahan barang modal, di antaranya kenaikan harga cuka getah karet, biaya sewa tanah ladang, harga bensin, upah bajak, serta ongkos angkut. “Kenaikan biaya produksi ini terus menggerus pendapatan petani,” katanya, dalam jumpa pers Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Jambi, Selasa.
Jika tren biaya produksi terus naik, pendapatan petani makin lama semakin tergerus. (Agus Sudibyo)
Penurunan juga disebabkan oleh turunnya indeks di kelompok tanaman perkebunan rakyat khususnya komoditas kelapa sawit, karet, kulit/kayu manis, pinang, dan kopi. Di saat yang sama, terjadi peningkatan indeks konsumsi rumah tangga (IKRT) yang terutama disebabkan oleh kenaikan indeks pada lima kelompok pengeluaran, seperti pakaian dan alas kaki, perlengkapan, peralatan rumah tangga, perawatan pribadi dan jasa lainnya, penyediaan makanan, minuman, serta kesehatan.
Padahal, hasil perkebunan merupakan komoditas strategis di Provinsi Jambi. Data BPS, kontribusi perkebunan dalam PDRB Jambi sebesar 21,3 persen di 2021 atau senilai Rp 50 triliun, yang merupakan kontributor terbesar terhadap pembentukan nilai tambah lapangan usaha.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian. Kemampuannya menghasilkan minyak nabati sangat dibutuhkan sektor industri. Persentase ekspor minyak nabati Januari – Juni 2022 di Jambi 11 persen yang merupakan terbesar keempat setelah minyak dan gas, karet olahan, dan batubara. Nilainya mencapai 38 juta dolar AS, Juni 2022.
Baca juga : Dari Biji Pinang Menjadi Permen yang Mendunia
Adapun, karet punya andil besar dalam produk utama ekspor Jambi. Volume ekspor karet selama 2021 sebesar 285.000 ton, bernilai 485 juta dolar AS. Begitu pula pinang, perannya dalam ekspor Jambi sangat strategis. Volume ekspor pinang selama 2021 sebesar 81.000 ton, dengan nilai 142 juta dolar AS.
Karena itu, komoditas perkebunan memerlukan perhatian serius agar dapat terus menyumbang pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Terkait dengan kenaikan biaya produksi, Agus juga mengingatkan perlunya mewaspadai kemungkinan trennya yang masih akan terus naik. Sejak Januari hingga April, tren biaya produksi terus naik.
Menurutnya, kondisi itu perlu diwaspadai dini dan cepat diantisipasi. “Jika tren biaya produksi terus naik, pendapatan petani makin lama semakin tergerus,” jelasnya.